Politik memerlukan tokoh. Seorang politikus akan merasa hilang tatkala ketokohan dan perannya tak diakui. Karena itulah, seorang politikus sebisa mungkin akan berusaha mempertahankan kepopulerannya. Jalur untuk populer ini macam-macam. Bila Maman Suherman mencatat di buku Bokis (2012) kepopuleran seorang artis dibangun dari politik rente (uang) untuk membeli jalan untuk populer seperti media dan televisi.
Tak jauh berbeda dengan yang terjadi pada politikus kita. Selain mencari sensasi dan membuat pernyataan kontroversial, polititikus juga menempuh jalur politik rente (uang) agar membuat dirinya makin tenar. Maklum, dalam politik sekarang, kepopuleran dianggap sebagai yang utama, bukan visi atau tujuannya. Sebab, ada anggapan kalau visi bagus tapi tak populer, maka ia akan kalah dalam arena perpolitikan kita.
Ada tempat-tempat yang dianggap laris bagi para politikus untuk menjadi populer dan mendapat sorotan publik. Pasar, makam, dan pesantren. Ketiga tempat ini teramat sering dikunjungi politikus atau calon gubernur, sampai calon presiden. Pasar, dianggap sebagai representasi kepedulian, dan simpatik dari para calon politikus terhadap urusan ekonomi, rakyat kecil, sampai dengan politik simbolik tentang faham tidaknya calon pemimpin dengan kebijakan ekonomi.
Sedangkan makam dianggap sebagai simbol untuk merepresentasikan kepedulian seorang politikus pada leluhur yang telah tiada, yang dikunjungi adalah seorang mantan presiden, sampai dengan makam ulama.
Pesantren dianggap sebagai representasi simbolik bahwa politikus amat peduli terhadap restu kiai, dan juga sebagai simbol simpatik terhadap kalangan islam. Tak jarang para politikus meminta restu pada kiai atau pemimpin pondok pesantren yang sudah dipandang.
Media massa jelas sekali dipandang efektif untuk mengenalkan profil, dan siapa mereka. Kita bisa melihat bagaimana di saat pilpres 2014, televisi begitu intens saat menyiarkan profil calon presiden yang frekuensi iklannya begitu intens.
Hal ini nampak pula ketika para politikus atau calon gubernur yang ada di Jakarta. Mereka saling sikut, saling sindir, dan saling menampakkan diri untuk mengundang simpati publik dan partai politik.
Ahok, Sandiaga Uno, Yusril Ihza Mahendra sampai dengan Ahmad Dhani. Nama-nama itu sedari awal memang mencoba merayu publik dan partai politik untuk meyakinkan diri mereka untuk menjadi calon gubernur terbaik.
Ada kecenderungan yang kita lihat dari partai tak memiliki tokoh yang mumpuni untuk dicalonkan sebagai pemimpin. Partai politik cenderung hanya menimbang-nimbang calon pemimpin yang memiliki popularitas semata.
Bisa kita lihat tatkala di pemilu 2014, Jokowi adalah salah satu contoh bagaimana partai politik tak memiliki calon yang dididik dari awal dan memiliki visi dan terlatih untuk menjadi pemimpin. Maka ketika Jokowi muncul, calon-calon dari partai politik adalah wajah-wajah lama seperti Megawati, Prabowo, Abu Rizal Bakri, Jusuf Kalla, dan lain sebagainya.
Maka tak heran, ketika Amien Rais selaku tokoh lawas dari PAN, tiba-tiba mencalonkan Anis Baswedan, Risma, atau Sandiaga Uno. Sebab mereka seolah hanya menemukan dan melihat sisi popularitas semata dalam konteks demokrasi di negeri kita.
Kalau kita lihat sejarah politik kita di negeri ini, tokoh-tokoh yang ada di partai politik kita di masa setelah kemerdekaan, para tokoh-tokoh itu moncer karena berliterasi, dan berkontribusi dalam kemasyarakatan.
Soekarno, misalnya, ia menjadi populer karena gemar melakukan pidato politik yang menggugah rakyatnya di masa itu. Selain itu, ide-idenya begitu sampai di masyarakat di masa itu melalui majalah, koran, dan juga media yang populer di rakyat kita. Begitu pula Mohammad Hatta, ia terus-menerus menuangkan ide-idenya, hingga menjadi tokoh politik moncer.
Politik saat ini memang jarang dibangun dengan pemikiran dan ide. Politik lebih dekat dengan kepopuleran. Inilah yang saya kira menjadi tantangan partai politik kita. Partai politik tak boleh sekadar mengangkat tokoh hanya karena kepopuleran. Mereka perlu mengkader anggotanya untuk berjuang dan berkembang agar siap menjadi pemimpin di masa mendatang.
Bila menilik persoalan ini, kita bisa menengok analisis dari F.Budi Hardiman dalam bukunya Dalam Moncong Oligarki (2013) menilai, bahwa yang menyebabkan demokrasi kita tersandera adalah oligarki. Oligarki bukan sekadar kekuasaan segelintir orang, melainkan—meminjam pengertiasn dari Jeffrey A.Winters—“merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material”.
Inilah yang saya kira menjadi pekerjaan rumah partai politik kita. Oligarki tak boleh merampas kesempatan para tokoh atau calon pemimpin kita untuk mengaktualisasikan diri. Partai politik mesti membangun ketokohan anggotanya dari bawah, bukan sekadar mengandalkan mesin politik seperti media massa dan uang sebagai jalan pintas untuk mencapai tujuan (kekuasaan).
*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.