Dunia kini tak lagi seperti dulu. Jarak yang jauh, waktu yang lambat kini sudah berubah sepenuhnya. Apa yang terjadi saat ini bisa dilihat dan diikuti oleh mereka yang ada di belahan dunia barat. Begitupun apa yang terjadi di barat, kini bisa kita ikuti dalam layar kaca kita. Kecepatan, ketepatan, dan waktu kini bukan lagi hambatan dalam hubungan dan relasi antar manusia.
Perubahan yang cepat, dinamis dan serba tak terhingga ini membawa implikasi dalam pelbagai hubungan kemanusiaan. Teknologi dan kemajuan informasi ikut serta membawa perubahan manusia dari sisi kebudayaan. Kebudayaan pun demikian cepat mengikuti arus global ini. Abad 20 telah ditandai dengan perubahan arus kebudayaan manusia secara besar-besaran.
Selera, pola dan tingkah laku manusia pun menjadi seragam. Barat yang dikenal sebagai penyuplai kebudayaan terus-menerus melakukan kampanye melalui berbagai actor kebudayaan yang beranekaragam. Baik dari sisi makanan, minuman, musik, mode sampai pada selera dan gaya hidup yang bersifat pleasure (kesenangan).
Perubahan-perubahan itu tak hanya nampak dalam sisi kebudayaan, dari sisi ekonomi, manusia kemudian memiliki kecenderungan yang sama dalam urusan selera mengatur perekonomian mereka. Kapitalisasi, dan komunisme yang sering diidentikkan sebagai ideologi yang tak pernah ketemu, kini memiliki wajah yang baru untuk saling berkolaborasi.
Sebut saja di China yang dikenal sebagai negara komunis, kini begitu membuka lebar keran hubungan internasional dan memegang peranan penting di dalamnya. Hal itu tak lain karena China kini mulai berkompromi dan melebarkan sayap dengan ideologi pasar bebasnya.
Begitu pula di negara-negara sosialis di Eropa, yang kini harus beralih untuk menjadi sosialisme bergaya moderat yang tak bisa melepaskan diri dari pengaruh ideologi pasar bebas. Kecenderungan melibatkan negara dan pasar dalam urusan ekonomi kini lebih dijadikan pilihan utama negara-negara dunia yang lebih dikenal sebagai ideology neoliberalisme.
Dalam aspek pendidikan, kita kini diajak dan dituntut untuk menjadi manusia yang tak bisa melepaskan diri dari komunitas dan bagian dari masyarakat global. Bahasa, disini menjadi dewa sekaligus menjadi keniscayaan bagi masyarakat yang semakin kosmopolitan.
Salah satu kesadaran kita sebagai manusia global kemudian tampak pula ketika orangtua mencari tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Bagi penduduk Jakarta, hal ini tentu sudah taka sing, mengingat di kota ini begitu banyak sekolah-sekolah berstandar internasional. Tetapi, kecenderungan ini mulai tampak dan menjalar di berbagai sekolah daerah di seluruh negeri ini.
Dari tingkat paling dasar pun, kini mulai tampak upaya untuk menjadikan bahasa sebagai sebuah jembatan globalisasi, tetapi di sisi lain, ada upaya juga untuk menjual trend dan menangkap peluang dari sifat masyarakat kita yang sudah tak lagi asing dengan globalisasi.
Dampak dari pembelajaran bahasa yang bilingual semenjak sekolah dasar akan terasa tatkala anak-anak kita begitu cepat sekali untuk mengucapkan kata-kata baru, penggunaan bahasa yang campur aduk tanpa tahu makna dan filosofinya. Akibatnya mereka merasa biasa dan fasih mengucapkan bahasa yang campur aduk.
Secara mentalitas, mereka sudah tak bisa lagi mengenali dan kembali kepada kebudayaan local mereka, sehingga bahasa jawa misalnya sebagai bahasa ibu cenderung tak lagi digunakan dalam masyarakat urban seperti sekarang ini. Terlebih lagi, tata krama, sopan-santun, dan etika cenderung semakin diabaikan dalam sekolah-sekolah kita.
Tantangan Guru
Di era seperti inilah, guru dituntut dan terus dihadapkan kepada dunia yang begitu cepat berubah. Bila guru tak mengikuti arus perubahan yang ada dalam dunia murid-murid dan masyarakatnya, maka guru tak bisa mendidik dan menuntun anak mereka dengan bijak.
Telah banyak fenomena bagaimana guru yang tak bisa mengikuti perkembangan ini, menjadi guru yang pasrah dan mengajar dengan apa adanya. Guru yang seperti ini akan ditinggalkan oleh murid dan masyarakatnya.
Kita bisa melongok pada apa yang ditulis oleh J.Krisnamurti di tahun 1979 dalam bukunya Surat Untuk Sekolah (1983). Ia menuliskan : “Guru atau pendidik itu manusia. Fungsi mereka ialah membantu siswa untuk belajar—bukan hanya tentang mata pelajaran ini atau itu—tetapi mengerti keseluruhan aktifitas belajar itu;tidak untuk hanya mengumpulkan keterangan tentang berbagai macam hal, tetapi terutama untuk menjadi manusia yang utuh. Sekolah-sekolah ini bukan sekadar pusat-pusat belajar, tetapi sekolah-sekolah ini harus menjadi pusat-pusat kebaikan dan mewujudkan batin yang religious”.
Apa yang diutarakan Khrisnamurti tentu saja bukan hal yang mudah di era sekarang. Hal ini bukan saja merupakan tugas guru dan pihak sekolah semata, tetapi berkait erat dengan pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan dan kesadaran pemimpin dunia.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang kini sudah berjalan bukan saja digaungkan sebagai momentum yang bersifat ekonomistik semata. Lebih dari itu, MEA merupakan momentum bersama dalam mengusahakan kerukunan, perdamaian dunia dan perang dalam memberantas persoalan global seperti kemiskinan, korupsi dan ketidakadilan sosial.
Pendidikan bisa dijadikan sebagai salah satu medium bagi terlaksananya cita-cita mulia ini. Melalui MEA, kita bisa melihat peluang dan tantangan bagi dunia pendidikan kita dalam menyelaraskan perannya dalam situasi dan tantangan global.
Kaum guru, tak boleh sekadar membekali murid-muridnya dalam urusan bahasa dan kecakapan, tetapi nilai-nilai, dan integritas yang berkait erat dengan khazanah dan kesadaran tradisi dan lokalitas perlu ditanamkan sejak dini.
Sekolah tak boleh meninggalkan kearifan lokal, justru kearifan lokal inilah sebagai modal dan dasar bagi murid-murid kita agar lebih memiliki prinsip dan mentalitas yang tangguh di dalam masyarakat internasional. Inilah tugas dan tantangan dunia pendidikan kita saat ini.
*) Penulis adalah Pengasuh MIM PK kartasura, Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Penulis buku Mendidik Anak-Anak Berbahaya (2014)
Belum ada tanggapan.