Oleh Elvan De Porres
Dewasa ini, diskursus seputar keterlibatan agama bagi perkembangan dan kemajuan bangsa merupakan hal penting yang layak dibicarakan. Ini karena institusi agama itu ada dalam negara dan juga serentak mendapat jaminan konstitusionalnya. Eksistensi agama mestilah bersumbangsih konstruktif. Selain sebagai lembaga religius yang mengandung pelbagai ajaran moral, keberperanan para pemeluknya terasa penting dalam menjaga keharmonisan bagi bangsa yang plural seperti Indonesia. Ini juga untuk mencegah para anak bangsa larut dalam “keakuannya” di tengah pusaran arus perkembangan zaman yang semakin tak menentu. Keakuan di sini merujuk pada aspek egoisme diri, egosentrisme, dan juga primordialisme. Oleh karena itu, peranan agama mesti dibicarakan secara nyata.
Memang tak dapat dipungkiri, realitas bangsa ini seringkali menyajikan ketimpangan-ketimpangan yang mengatasnamakan agama. Agama sering dijadikan label penyokong berbagai macam distorsi dan de-eskalasi sosial itu, semisal penyelewengan-penyelewengan, konflik kepentingan, geret kekerasan, hingga pada terorisme dalam tataran yang lebih ekstensif. Tentang ini, orang bersembunyi di balik mantel agama dan “menjual” nama agamanya. Sungguh miris, ironis, bahkan tragis.
Dalam opininya pada Harian Kompas, 11 September 2013 berjudul Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik!, Anies Baswedan, sekarang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan bahwa salah satu sumber masalah berkembangnya kekerasan di negara ini ialah kegagalan melakukan distingsi antara “warga negara” dan “penganut agama”. Maksudnya, seolah-olah ada sekat yang dibuat antara “warga negara” dan “penganut agama”. “Warga negara’’ dan “penganut agama” dilihat sebagai dua kubu berseberangan yang tak punya titik temu. Padahal, dalam konteks kebangsaan, keberadaan warga negara dan penganut agama ber-esensi satu, yakni demi kemajuan peradaban bangsa. Sebab, setiap penganut agama adalah warga negara, dan segenap warga negara merupakan penganut agama. Melakukan distingsi seperti yang diutarakan Baswedan hanyalah menimbulkan ekstremisme dan lebih parah lagi menggiring para anak bangsa bercokol pada fundamentalisme.
Patut diingat bahwa semua agama itu baik adanya. Agama-agama selalu menegaskan dirinya sebagai yang unik dan universal. Dalam gagasannya mengenai pluralisme, John Hick (1922-2012), seorang teolog pluralis lulusan Edinburgh dan Oxford University, mengatakan bahwa eksistensi sebuah agama merupakan jalan yang sama validnya dengan agama lain dalam mencapai suatu kebenaran. Di sini, kebenaran dipandang sebagai sebuah nilai universal. Ya, hematnya, jika ditilik dalam kerangkeng metafisika, agama-agama tentunya bersumber pada suatu aspek transenden sebagai pendasarnya. Yang transenden itu merupakan sesuatu yang Ilahi dan dipahami secara unik oleh masing-masing keyakinan. Pada gatranya, Yang Ilahi itu mengandung suatu patokan kebenaran umum yang mana terejawantah dalam pelbagai praksis ajaran agama-agama.
Di sini, agama mesti dilihat sebagai medium historis dan sosial bagi manusia dalam menjawabi bisikan Yang Ilahi sebagai satu dan sama. Konsekuensinya, ia harus senantiasa bersedia meneropong diri pada apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Yang Ilahi itu. Hal ini niscaya juga berdampak bagi kehidupan negara. Dengan demikian, agama tidak hanya berada pada jalurnya sendiri, tetapi juga menjalari pelbagai dimensi kehidupan bangsa. Seruan seperti ini patut dikumandangkan sebab keberadaan agama sering mendapat mal-interpretasi negatif oleh para penganutnya.
Salah satu kiblat buruk yang menodai hakikat peranan agama ialah faham fundamentalisme seperti yang sempat disinggung sebelumnya. Berkenaan dengan ini, Karen Amstrong dalam bukunya The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000) melihat fundamentalisme sebagai gejala keagamaan yang sering muncul dan selalu ada hampir pada semua agama. Fundamentalisme juga disinyalir sebagai mekanisme pertahanan (defense mechanism), yang disepakati sebagai suatu instrumen gerakan yang memiliki misi dan tujuan untuk melakukan perlawanan terhadap siapa pun yang kebijakan dan kepercayaannya memusuhi agama. Di sini, terlihat bahwa seolah-olah ada ketakutan berlebihan (namun sebenarnya dangkal) bahwa ruang gerak agama nantinya terepresi atau bahkan hilang. Makanya, pada umumnya kaum fundamentalis tidak tertarik dengan jargon-jargon modernisme, seperti demokrasi, pluralisme, toleransi, dan semacamnya. Inilah ketakutan paling nyata bagi bangsa ini apabila lahir banyaknya figur fundamentalis.
Namun sejatinya, fundamentalisme hanyalah merupakan salah satu bentuk ganas dari penyalahartian substansi agama. Karena dalam kenyataan hidup sehari-hari, ternyata masih ada banyak hal kecil lain yang tersekap dalam distorsi penyalahartian tersebut. Agama dapat dijadikan tameng politik untuk menyelendupkan kepentingan segelintir orang, agama dimanfaatkan bukan untuk kemaslahatan kolektif melainkan untuk meraup keuntungan finansial, agama juga dijadikan wadah pembenaran diri dalam mengekang kebebasan orang lain, dan lain sebagainya. Sudah barang tentu ini bertentangan dengan cita-cita bersama sebagai bangsa yang menghendaki perdamaian, kesatuan, dan persatuan. Apalagi dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang plural, memelihara tenun kebangsaan adalah tanggung jawab segenap elemen bangsa ini tanpa terkecuali.
Dalam kaitannya dengan menjaga tenun kebangsaan itu, agama mesti lebih memainkan peranannya dalam dimensi integratif-sosial, yakni sebagai faktor pemantapan stabilitas (keseimbangan) ketahanan dan pembangunan nasional. Lanjutannya, ada empat penjabaran peranan agama ini. Pertama, agama mesti memberikan dasar emosional dalam keterciptaan rasa aman dan penguatan identitas di tengah arus perubahan zaman. Kedua, agama berperan menyucikan norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk serta mempertahankan tujuan kolektif di atas keinginan individu dan disiplin bersama di atas dorongan hati pribadi. Dengan demikian, agama memperkuat legitimasi (pembenaran menurut hukum) dalam pembagian fungsi, fasilitas, dan ganjaran yang merupakan ciri khas masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, agama juga menyucikan norma dan nilai yang membantu pengendalian sosial; mengesahkan alokasi pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas, serta menolong mendamaikan hati mereka yang tidak memperoleh kasih sayang. Keempat, agama berperan dalam membuka dialog dengan agama lainnya. Dialog lintas agama ini, atau dalam bahasa teolog Hans Kung sebagai bentuk kesadaran ekumene global, merupakan wujud nyata solidaritas kebangsaan kita. Jalinan dialog yang baik tentu mengerucut pada keselarasan tindakan untuk secara kolektif memerangi berbagai permasalahan bangsa.
Pada akhirnya, menjaga tenun kebangsaan berarti memelihara warisan dan tradisi nilai yang diturunkan oleh para pendahulu bangsa; mengayomi falsafah bangsa, entitas hukum negara ini beserta ragam nilai kebangsaan yang semuanya berujung pada pencapaian volonte generale (kehendak umum) dan cita-cita bersama. Agama perlu berbicara dan berbuat banyak tentang kebaikan bersama itu, sembari menyitir ujaran Thomas Banchoff dalam buku Religious Pluralism, Globalization, and World Politics (2008) bahwa “religious pluralism suggests to harmony, convergence or compatibility across religious traditions-in opposition to religious exclusivism”. Sebuah peranan yang cukup menantang.
*)Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur
Belum ada tanggapan.