Berita Buku – Membicarakan perbedaan fiksi dan non-fiksi adalah sesuatu yang cukup rumit. Hal ini mengingat bahwa batasan keduanya tidak terlalu jelas. Di samping itu, seorang pengarang seringkali mengkategorikan karyanya ke dalam fiksi atau non-fiksi sekehendak hatinya, atau sekehendak hati penerbit. Sedangkan menurut sebagian pembaca, buku-buku yang lebih menyenangkan untuk dibaca disebut sebagai fiksi, dan yang membuat pusing adalah buku-buku non-fiksi. Meskipun ada perbedaan mendasar yang cukup jelas, yakni fiksi adalah cerita khayal, sedangkan non-fiksi biasanya berupa laporan-laporan sejarah ataupun biografi seorang tokoh, tetap saja: batasan keduanya terlalu kabur untuk dilihat menggunakan kacamata apapun.
Kategorisasi Fiksi dan Non-Fiksi secara Umum
Seperti yang sudah disebutkan di atas, fiksi adalah cerita khayal yang tidak terjadi. Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi, Nurgiyantoro menyatakan bahwa istilah fiksi adalah cerita rekaan atau cerita khayalan. Lebih lanjut lagi, Nurgiyantoro juga menyatakan bahwa karya fiksi, dengan demikian, menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Atas dasar ini, maka boleh disebut bahwa cerpen, novel, fiksi mini dan dongeng termasuk ke dalam kategori fiksi.
Bagaimana dengan kategorisasi non-fiksi? Selain seperti yang disebutkan di atas, yakni laporan-laporan sejarah atau biografi seorang tokoh, karya non-fiksi di era ini bisa ditemui dalam bentuk buku-buku inspiratif, tips untuk menciptakan atau mengerjakan sesuatu, dan buku-buku psikologi populer.
Fiksi dan Non-Fiksi: Perbedaan yang Tipis
Kate Colquhoun, pengarang buku The Thrifty Cookbook—buku tentang sejarah makanan dan masakan—mengatakan bahwa batasan antara fiksi dan non-fiksi adalah sangat tipis. Dia mencontohkan dengan novel-novel kriminal yang ada di pasaran. Colquhoun yang juga menulis novel kriminal berjudul Mr Brigg’s Hat ini menyinggung soal novel kriminal Truman Capote, In Cold Blood, yang terbit pada tahun 1966. Capote pernah menyatakan bahwa novel kriminalnya ini adalah novel non-fiksi; yang mana menurut Colquhoun, Capote tidak bisa menciptakan motif untuk tokoh para pembunuh di novelnya itu. Meskipun begitu, Capote menggambarkan beberapa kejadian dalam novelnya menggunakan cara-cara fiksi, seperti ketika salah satu tokohnya menginvestigasi seorang gadis muda atau bagaimana dia menggambarkan suara dari seorang tokoh bernama Perry Smith.
Di samping adanya perbedaan fiksi dan non-fiksi yang tipis, Colquhoun menyatakan bahwa baik fiksi maupun non-fiksi sebenarnya dapat memuaskan pembaca. Dalam novel kriminal fiksi, solusinya sering memuaskan pembaca, disamping adanya kemampuan detektif dari si tokoh yang memukau. Sedangkan dalam novel kriminal non-fiksi, para pembunuh yang ditangkap dan dihukum menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Motif-motif yang ada dalam cerita seringkali tidak bisa ditebak.
Nurgiyantoro, dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi, menyatakan bahwa secara teoritis sebenarnya karya fiksi dapat dibedakan dengan karya nonfiksi, walau tentu saja pembedaan itu tidak bersifat mutlak, baik yang menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data faktual, dunia realitas. Lebih lanjut, Nurgiyantoro juga mengutip pendapat Abrams sebagai berikut:
bagus