Jika seekor burung diberikan kepada seorang bocah, maka dia akan menangkupkan satu tangan di atas tangannya yang lain agar burung itu tidak terbang pergi. Burung itu terkurung dalam genggaman pendekar kecil yang posesif, terkekang dan kehilangan tempat. Dan kebanyakan dalam sikap posesif bocah itu sering disertai sikap ‘cemburu berat’ bahkan kepada orang lain yang tidak tertarik pada apa yang ada dalam genggaman tangan mereka.
Sejak semula burung itu tak tersentuh. Kita hanya tahu dia duduk di pohon atau terbang di awan. Dan dia indah begitu saja.Tetapi manusia mempunyai keinginan berkuasa, sehingga burung yang terbang indah mesti dimiliki secara personal. Bocah sebagaimana kita pada umumnya setelah disentuh oleh keindahan sering dirasuk ambisi untuk menyentuh keindahan itu sendiri, bila perlu menjadikannya sebagai milik. Maka ketika mengetahui seekor burung begitu indah, si bocah menghendakinya, saat berikutnya menggenggamnya.
Merengkuh keindahan, mungkin demikianlah motif menangkap seekor burung. Sayangnya, yang ada dalam genggaman bisa jadi bukanlah sebuah keindahan. Burung adalah burung, dia bisa menjadi indah dan tidak. Keindahan berdiri sendiri, sebagai sebuah keadaan ketika burung berada pada posisi yang semestinya, yang mungkin tidak hadir lagi setelah dia digenggam.
Tetapi, saya tidak sedang berbicara tentang motif. Karena kekuasaan kadang tanpa motif. Saya jadi ingat orang edan ini; Nietzsche. Ubermensch-nya berbicara tentang manusia dan keinginan dasar kita untuk menguasai. Baik si bocah maupun kau dan saya yang sudah besar, menurut Nietzsche kemanusiaan kita didorong oleh kehendak untuk menguasai. Will to power. Si bocah dengan burungnya dalam genggaman boleh kita lihat sebagai contoh dari gagasan Nietzsche tentang kehendak berkuasa, dalam ekspresi yang masih murni; ekspresi yang paling primitif. Ketika si bocah bertumbuh dewasa, seperti kita sekarang, dia tetap membawa ambisi dasarnya yang konon menurut sang filsuf menjadi pendorong keinginan untuk bertahan hidup. Will to power dalam dirinya tumbuh lebih besar, bukan cuma memerangkap burung sekarang si bocah besar ingin menguasai dunia. Dan umumnya, dengan ekspresi yang telah disamarkan.
Di Jombang seorang pria tengah menjadi nabi bagi seratus orang pengikutnya. Hari ini beritanya berserakan; di televisi dan internet. Kita semua dibuat jengah, merasa konyol terhadapnya kemudian angkat bicara. Jari, -nama pria itu, berbohong, kita bilang, dia tidak lain adalah nabi palsu! Dia harus ditindak, diarahkan ke jalan yang benar. Jari, bagaimana pun telah mengguncang keberadaan pengetahuan kita tentang Tuhan. Dan kita mentah-mentah menyanggahnya, menjadikannya tertuduh bersalah.
Okelah, kita merasa benar dan dia sesat. Tuhan kita klaim; Dia ada di sini dan tidak di sana. Sementara di lain pihak, Jari punya klaim sendiri. Apa mau dikata, seperti seekor burung Tuhan kini berada dalam genggaman kita masing-masing.
Mengingat Nietzsche, saya tidak bisa melihatnya sedang membuktikan bahwa dia seorang atheis yang tidak mempunyai Tuhan dalam hidupnya, lebih dari itu dia seolah-olah tengah mengejek kita. Dengan keyakinannya bahwa ketika mengakui sebagai mahkluk yang berTuhan di saat bersamaan kita merengkuh Tuhan ke dalam genggaman tangan kita. Yang transenden menjadi bertendensi. Tuhan menjadi milik pribadi dan milik kelompok; Dia diklaim. Maka saya senang Nietszche telah membuat gaduh. Ibarat burung dalam genggaman, Tuhan dinyatakan telah mati dan siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan kita?
Belum ada tanggapan.