Pada umumnya, kisah horor selalu membuat pembacanya ketakutan. Lalu, bagaimana dengan penulisnya? Misalnya R.L. Stine, si Penulis Goosebumps. Apakah dia sendiri juga bergidik ngeri ketika membuat plot cerita tengah malam yang membuat para pembacanya tidak bisa tidur dengan nyenyak?
Rupanya tidak bagi R.L. Stine. Menurutnya, “Saya sedikit aneh karena hal-hal menyeramkan tidak menakuti saya. Horor selalu membuat saya tertawa.” Mungkin karena inilah, Stine bisa menulis kisah horor dengan sudut pandang yang berbeda, tidak seperti kisah horor lainnya. Kenyataan yang unik; R.L. Stine adalah seorang pengarang pemberani (tidak takut apapun, dalam konteks horor) yang menjadi master cerita horor.
Stine mulai menulis sejak kecil. Ketika teman-temannya bermain di luar, dia hanya diam di rumah, mengetik cerita-cerita lucu menggunakan mesin ketik bibinya. Cerita horor pertamanya, novel Blind Date, terbit pada tahun 1986, kemudian disusul dengan cerita-cerita horor yang dikenal oleh banyak orang–terutama generasi 90-an. Fear Street, cerita horor untuk remaja-dewasa, terbit pada 1989. Kemudian disusul dengan cerita horor anak-anak Goosebumps, terbit pada 1992. Cerita-cerita Fear Street lebih ditujukan untuk pembaca sekitaran remaja dan dewasa, serialnya berisi tentang cerita menyeramkan tentang kutukan di sebuah jalan kota pinggiran. Sedangkan Goosebumps identik dengan monster atau ketakutan anak-anak. Misalnya, boneka yang bisa bicara dan mengacau, mobil hantu, darah monster, atau kutukan topeng yang tak bisa dilepas.
Tidak seperti cerita horor lainnya, biasanya Stine menuliskan akhir kisah di bagian depan. Kemudian disusul bagian awal plot, yang berisi tentang perkenalan karakter dan latar cerita. Hal itu dimaksudkan agar pembaca mau mengikuti kisahnya sampai akhir. Didukung dengan judul yang unik, tentunya pembaca penasaran bagaimana kisah yang sebenarnya.
Menurut Stine, kebanyakan pengarang akan memulai dengan sebuah ide dan kemudian menuliskannya menjadi sebuah buku. Judul dipikirkan kemudian. Namun, Stine sebaliknya. Dia menulis judul terlebih dulu. Baru kemudian menulis beberapa halaman berisi dialog dan plot. Selanjutnya, dia tinggal mengisi kekosongan yang ada. Dia juga membuat daftar karakter yang dibuatnya–bagaimana penampilannya maupun sifatnya. Menurutnya, hal ini berguna untuk lebih fokus kepada cerita. Hal ini juga membuatnya terhindar dari writer’s block; kebuntuan yang biasa dihadapi pengarang.
Di samping itu, hal lain yang tidak kalah penting yakni umur pembaca. Menurut Stine, cerita seramnya harus cocok untuk pembaca sesuai umur. Untuk Goosebumps, dia harus bisa membuat pembaca anak-anak berpikir bahwa itu bukanlah kenyataan; itu hanyalah khayalan. Kebalikannya, pembaca Fear Street harus dibuat percaya bahwa hal-hal dalam kisah itu bisa saja terjadi.
Lalu, bagaimana cara Stine membuat ketakutan pembacanya? Dia menjelaskan bahwa, pada dasarnya semua orang memiliki ketakutan yang sama. Misalnya kegelapan, sesuatu di toilet, atau sesuatu di bawah kasur yang bisa saja meraih kaki. Dari situlah, dia berhasil membuat cerita-cerita yang menakuti banyak orang. Misalnya saja mengenai kegelapan loteng atau ruang bawah tanah dengan tangga berderit yang biasa digunakan sebagai latar dalam cerita-cerita Goosebumps. Atau ketakutan-ketakutan yang menghantui orang dewasa; tentang pembuatan film yang gagal karena diganggu oleh roh penasaran atau sebuah pesta yang berakhir dengan mengerikan.
Selain menulis serial, Stine juga menulis beberapa cerita pendek seperti The Haunting Hour dan novel tentang vampir remaja. Karyanya banyak diangkat ke layar lebar dan menjadi tontonan anak-anak terkenal di seluruh dunia. Yang terakhir yakni film Goosebumps (2015). Bagaimanapun, kisah-kisah R.L. Stine selalu dikenang sepanjang masa.
Sumber:
Belum ada tanggapan.