Bagi para pengaggumnya, Tjokroaminoto adalah sosok yang nyaris sempurnya. Ia memiliki karisma khas yang berasal dari suara baritonnya yang berat. Ia juga merupakan sosok yang cerdas. Berkat kepiawaianya dalam memimpin Sarekat Islam, membuat organisasi ini berkembang pesat. Sarekat Islam adalah organisasi pribumi pertama yang diikuti oleh ratusan ribu anggota. Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto bukan sekedar organisasi yang ngurusi dagang. Sarekat Islam juga organisasi yang bergerak dalam bidang politik dan sosial.
Urusan politik membuat Tjokroaminoto jadi bintang masyarakat. Ia menjelma jadi juru selamat buat wong cilik. Kepemimpinan, visi politik, dan namanya dikait-kaitkan dengan ramalan Prabu Jayabaya. Tjokroaminoto disebut-sebut sebagai titisan Prabu Erucakra. Seorang tokoh mistik jawa yang dipercaya sebagai ratu adil.
Segala puja dan sanjung membuat Tjokroaminoto lengah. Sosok yang disebut guru bangsa itu dituduh terlibat korupsi. Si penuduh bukan orang sembarangan. Si penuduh adalah Darsono salah seorang pimpinan Sarekat Islam cabang Semarang.
Pada surat kabar Sinar Hindia edisi 6, 7, dan 9 Oktober 1920, Darsono menulis Ikhwal korupsi yang dilakukan Tjokroaminoto. Dalam esai beruntun tersebut darsono menjelaskan: “karena kas CSI kosong, Tjokroaminoto meminjamkan uang 2.000 gulden untuk kas itu, tapi dengan jaminan mobil, yang sebenarnya dibeli oleh bendahara CSI untuk dipakai oleh ketua CSI. Baik bendahara maupun ketua CSI itu adalah Tjokroaminoto sendiri” (Hendri F. Isnaeni, 2015).
Kekosongan kas CSI membuat Darsono keheranan. Takashi Shiraisi dalam buku Zaman Bergerak (1997) menulis keheranan Darsono tersebut: mengapa kas CSI hampir kosong tapi Tjokroaminoto banyak uang. Rakyat kecil (kromo) memerlukan pemimpin yang jujur, berbudi, kukuh pendirian, tinggi cita-cita dan berprilaku tak tercela.
Gugatan dan tuduhan Darsono membuat posisi Tjokroaminoto goyah. Parakitri T. Simbolon dalam buku Menjadi Indonesia (2006) menulis usaha-usaha untuk melengserkan Tjokroaminoto. Dalam pertemuan pimpinan CSI di Yogyakarta pada 30 September 1920, jabatan Tjokroaminoto diturunkan dari Ketua Central Sarekat Islam menjadi ketua kehormatan yang tugasnya hanya memimpin propaganda umum.
Paska gugatan Darsono muncul pula sebuah istilah baru. Istilah itu begitu terkenal. Istilah men-Tjokro adalah istilah untuk menyebut kata menyeleweng. Istilah men-Tjokro adalah istilah untuk mengkritik para pemimpin yang berbuat curang.
Kisah gugatan Darsono pada korupsi yang dilakukan Tjokroaminoto mengingatkan saya pada kisah para pengurus OSIS SMAN 3 Solo yang menggugat guru-guru mereka yang terlibat korupsi. Para guru yang seharusnya menjadi pembimbing moral dan pemberi keteladanan berubah dari sosok terhormat dan berwibawa menjadi sosok nista yang penuh cela. Guru-guru tersebut digugat dengan jalan elegan. Para pengurus OSIS SMAN 3 Solo membuat sebuah film dokumenter berjudul Sekolah Kami, Hidup Kami yang di produksi tahun 2008.
Film dokumenter tersebut pun menjadi viral di media sosial. Para penguna internet sangat mengapresiasi film tersebut. Film tersebut merupakan bukti bahwa di sekolah masih banyak orang baik dan berani. Orang baik dan berani seperti pengurus OSIS SMAN 3 Solo itu memang sangat dibutuhkan. Para pengurus OSIS SMAN 3 Solo adalah Darsono-Darsono muda yang berani menggugat mentor dan guru-guru mereka. Saat guru-guru mereka terlibat korupsi, pengurus OSIS tidak diam. Mereka bergerak dan menuntut perbaikan. Hasilnya, lahirlah sekolah yang lebih bersih dan bermartabat.
Kesalahan Paradigma
Menurut Danhil Simanjuntak dalam kuliah pengantarnya terkait paradigma Anti korupsi di Madrasah Anti Korupsi Universitas Muhammadiyah Surakarta (MAK UMS), terdapat dua wilayah yang selalu bersinggungan dan bersitegang yaitu wilayah publik dan privat.
Wilayah publik berkaitan erat dengan asas pelayanan (maksimalilasi servis), kebaikan umum (public good) dan sifat altruisme, sedangkan wilayah privat berkaitan erat dengan aspek keuntungan (maksimalisasi profit), kepemilikan pribadi, dan sifat egostik. Menurut Danhil kedua wilayah tersebut harus diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk para guru.
Dunia pendidikan adalah dunia yang berkaitan dengan wilayah publik. Maka orientasi guru (pendidik) semestinya adalah pelayanan publik, bukan pencari untung. Saat guru terjebak pada nalar-nalar keuntungan dan kepemilikan pribadi, saat itu pula mereka telah menghianati asas kebaikan bersama (public good). Nalar mereka telah berubah dari pendidik masyarakat, yang bertugas melayani, menjadi pejabat tinggi, yang selalu ingin dilayani.
Saya membayangkan para guru kita mulai belajar membenahi diri. Mereka mulai menyadari bahwa nama baik lebih berarti daripada gelimang harta dan kuasa. Mereka juga mulai berani untuk hidup sederhana. Mereka mulai memaknai ujaran Agus Salim bahwa memimpin adalah menderita.
Selain itu calon-calon guru juga sadar bahwa profesi guru adalah profesi mulia yang tugasnya mencerdaskan bangsanya, bukan memperkaya diri atau keluarga. Jika prinsip ini telah tertanam dalam benak calon-calon guru, saya yakin praktek korupsi di sekolah bisa diberantas.
Saya juga yakin bahwa para guru adalah pelopor sesungguhnya bagi terwujudnya masyarakat adil dan bersih dari korupsi. Para guru adalah teladan hidup bagi mereka yang ingin mendapatkan kemuliaan dan kebaikan. Dengan tekad bulat dari para guru untuk melawan korupsi, negeri ini bisa bangkit dari jerat iblis prilaku korupsi.
*Penulis adalah peminat kajian sejarah, Sosial dan Budaya. Saat ini penulis adalah salah satu santri di Madrasah Anti Korupsi Surakarta
Belum ada tanggapan.