Human trafficking (perdagangan orang) seakan menjadi habitus baru dalam pergerakan perdagangan pada era globalisasi. Kaum kapitalis, beserta manusia yang haus akan harta (uang) seakan tidak cukup mengeksploitasi barang dagangan yang sebenarnya. Manusia yang adalah mahkota ciptaan, makhluk yang berakal budi, berharkat, dan bermartabat serentak dibabtis menjadi “barang dagangan” oleh aktor perdagangan global.
Dalam persoalan kemanusiaan ini, manusia tidak lagi memandang sesamanya sebagai “sesama manusia” yang mesti dihargai. Yang satu mensubordinasikan yang lain. Negara yang sejatinya terlahir untuk menciptakan kedamaian dan situasi manusiawi dalam relasi antar-manusia seakan terkapar di bawah telapak kaki pelaku human trafficking. Eksistensi negara yang diidealkan untuk menciptakan situasi harmonis, adil, damai dan manusiawi patut dipertanyakan di tengah geliatnya persoalan kemanusiaan perdagangan orang ini. Karena itu, tulisan ini mengulas perihal tanggung jawab negara terhadap persoalan kemanusiaan.
Human Trafficking Menegasikan Kemanusiaan
Pemahaman tentang Human Traficking dalam konteks Indonesia tersurat dalam UU RI No. 21 tahun 2007 yang secara eksplisit berbicara tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”.
Dalam UU RI No. 21 tahun 2007, perdagangan orang dijelaskan sebagai “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, ada tiga substansi yang menyertai actus perdagangan orang yakni, pertama, keragaman tindakan yang diekspresikan dalam aksi perdagangan orang, seperti perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan, dan penerimaan seseorang.
Kedua, modus penjaringan atau perekrutan, seperti ancaman, kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, memanfaatkan posisi rentan, dan penjeratan utang.
Ketiga, berkaitan dengan tujuan perdagangan orang, yakni prostitusi, eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, praktik mirip perbudakan, perhambaan, dan penghilangan organ (Jurnal Ledalero, Juni 2014: 10).
Secara eksplisit, pengertian yuridis di atas menegaskan bahwa pemahaman perdagangan orang tidak terlimitasi pada actus jual-beli, sebagaimana pengertian riil perdagangan. Praktik perdagangan orang menyangkuti keseluruhan tindakan, mulai dari proses perekrutan sampai pada realitas yang terjadi di lapangan.
Dalam upaya penjaringan, para penjaring atau mafia perdagangan menargetkan orang-orang yang “lemah” secara ekonomis dan intelek, seperti kaum miskin dan anak-anak putus sekolah. Di hadapan calon korban atau “target mans”, para mafia perdagangan menghadirkan dirinya sebagai pembebas, dengan menghembuskan janji manis perihal pekerjaan yang ditawarkannya.
Calon-calon korban perdagangan diiming-iming dengan penghasilan yang menggiurkan yang serentak bertolak belakang dengan realitas yang terjadi di lapangan. Di lapangan para korban dimanfaatkan oleh mafia perdagangan untuk kepentingan mereka. Para korban dieksploitasi secara tak manusiawi, diperbudak, bahkan mereka tidak diupah sesuai standar upah buruh, dan waktu kerjanya melampaui waktu normal.
Actus perdagangan orang menihilkan nilai kemanusiaan manusia. Kenihilan kemanusiaan manusia yang dimaksud adalah “dari padanya, manusia yang satu mengeksploitasi manusia yang lain secara tidak manusiawi untuk kepentingan sepihak”. Pada titik ini “manusia menjadi Serigala bagi yang lain”. Sisi ke-serigala-an manusia terlihat dari upaya mendeterminasi secara ekstrim manusia lain.
Dari keseluruhan deskripsi perihal pengertian perdagangan orang terdapat satu konklusi singkat, bahwa aktus perdagangan orang merupakan aktus pengingkaran terhadap Hak Asasi Manusia.
Dalam deklarasi universal Hak-hak Asasi Manusia melalui Majelis Umum, sebagaimana tertera dalam pasal tiga, dijelaskan bahwa “setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi” (F. Ceunfin [ed]; 2004: 29). Ketiganya merupakan hak-hak dasar yang terpatri secara kodrati dalam diri manusia. Ketiganya serentak diingkari dan tidak dihargai dalam aktus perdagangan orang, mulai dari proses perekrutan sampai pada lapangan kerja.
Kebebasan mereka dipasung oleh mafia perdagangan dan majikan, keamanan pribadi mereka tidak dilindungi, sehingga kehidupan mereka secara umum dihantui oleh ketakutan dan ketidaknyamanan. Mereka terus dideterminasi secara ekstrim.
Mengatasi Human Trafficking: Tugas Mutlak Negara
Melindungi segenap rakyat Indonesia dengan ekspresi pelayanan yang berdasar pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tersurat dalam pembukaaan UUD 1945 merupakan tanggung jawab mutlak sekaligus imperatif kategoris kehadiran negara Republik Indonesia. Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat, yakni “hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi” (F. Ceunfin [ed]; 2004: 29).
Jaminan akan hak-hak dasar itu memungkinkan kesejahtraan rakyat. Singkat kata, “Hak-hak yang dimiliki oleh manusia perseorangan harus dihormati oleh semua orang, khususnya oleh petugas-petugas negara. Negara harus bertanggung jawab secara khusus untuk melindungi dan menegakan hak-hak tersebut” (K. Bertens; 2001: 40).
Dalam actus human trafficking hak dasariah manusia yang bersifat universal itu tidak dihargai. Para korban dideterminasi secara ekstrim. Mereka diperlakukan secara tidak adil, seperti diupah di bawah standar UMR, dipelacuri, penghilangan organ tubuh, dan lain-lain. Mengapa ini terjadi?
Secara dialektis, tragedi perdagangan orang berawal dari belenggu ekonomi dan keterbelakangan pendidikan. Inilah factum primum (fakta induk) yang mendorong orang-masyarakat untuk membiarkan diri dijual dan dieksploitasi. Para korban trafficking rela dieksploitasi (digaji dibawa UMR, dipelacuri, dll) pada tempat kerja mereka karena tidak ada sandaran lain untuk menafkahi hidup.
Lebih lanjut, para majikan dan mafia perdagangan orang bergerak liar melakukan aksi perdagangan manusia karena negara tidak menegakkan UU (Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang) secara tegas. Bahkan negara ikut ambil bagian dalam actus tak manusiawi ini.
Untuk itu, demi menekan aksi trafficking ini, negara berkewajiban melakukan beberapa hal. Pertama, negara wajib mereduksi kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan rakyatnya.Usaha emansipasi ini diwujudkan melalui pendidikan ketrampilan, pembukaan lapangan pekerjaan, sosialisasi mengenai ancaman trafficking dan perihal pengembangan profesi rakyat kecil, seperti berkebun, bertani, dan lain-lain.
Kedua, menegakan keadilan melalui pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi. Hukuman berat wajib ditegakkan secara aktif pada pelaku trafficking. Proses penegakan hukum dijalankan secara transparan dan adil.
Sekali lagi, pada akhir tulisan ini, “memutus pergerakan perdagangan orang merupakan tugas mutlak bagi negara”. Negara harus menyadari latar belakang dan tujuan kehadirannya. Negara hadir tidak lain untuk menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, dengan melindungi setiap warga negara. Mengutip J. Locke, negara hadir untuk melindungi hak-hak dasar (rakyat).
Belum ada tanggapan.