Dunia sekolah kita saat ini memang semakin menjauh dari buku. Anak-anak memang belajar seharian, senyum mereka dan keceriaan mereka ketika bermain jauh melebihi keceriaan mereka ketika bertemu buku. Buku-buku semakin tak menggairahkan ditambah dengan ketidakluwesan guru dalam menyampaikan isi buku pelajaran. Murid-murid seringkali belajar dengan pola yang diam dan penurut. Simaklah ketika murid-murid berhadapan dengan buku pelajaran mereka, mereka akan menanyakan “halaman berapa pak Guru?”, sesudah itu, mereka mengikuti instruksi guru.
Buku pelajaran tidak lagi menjadi media yang membuat siswa semakin aktif membaca dan memahami isi buku. Tetapi sebaliknya, buku pelajaran menjadi media yang membuat siswa semakin patuh dan pasif, tunduk pada instruksi guru. Barangkali teori Paulo Freire tentang budaya bisu di sekolahan ada di sini. Buku-buku menjadi tak menarik justru ketika berada di ruang kelas. Ruang kelas kemudian menjadi satu sistem dan miniatur kecil sebuah struktur yang tertib dan dicipta dengan ketidaksadaran. Guru tidak sadar menciptakan struktur yang memasifkan dan menjauhkan buku, siswa juga semakin penurut dan pasif di dalam kelas. Siswa justru lebih menunjukkan keceriaan mereka berhadapan dengan buku ketika di perpustakaan. Di perpustakaan anak-anak ceria saling tertawa, dan bergairah menyentuhi buku. Buku pelajaran dan buku di perpustakaan menjadi berjarak dan terasa berbeda.
Anak-anak menemukan ruang bacanya sendiri, justru tanpa bimbingan guru. Guru seringkali sibuk dan terkuras tenaganya ketika di dalam kelas. Yang terjadi selama ini guru menguras hampir semua energinya di dalam kelas di saat pelajaran, tapi lupa bahwa anak-anak perlu dididik, ditemani, didampingi dan didukung penuh dalam urusan membaca buku. Itulah sebabnya guru-guru kita kemudian menjadi guru yang robotis dan teknis. Guru tak mengajak, memberikan imbauan dan saran untuk membaca buku.
Waktu
Di sekolah-sekolah kita sekarang ini, waktu yang dibutuhkan murid-murid untuk membaca buku seringkali tak ada. Murid-murid begitu disibukkan dengan jadwal pelajaran yang ada di sekolahan. Belajar di ruang kelas membuat murid tak sempat membuka buku-buku yang disukainya di perpustakaan. Begitupun waktu yang diberikan sekolah, istirahat yang mestinya bisa digunakan siswa untuk bercengkerama dengan buku seringkali begitu cepat berlalu. Mereka tak sempat menghabiskan buku di perpustakaan di waktu istirahat mereka. Karena itulah, sekolah yang semula dimaknai sebagai waktu luang, kemudian malah menghilangkan waktu luang anak-anak untuk membaca buku di perpustakaan. Tidak hanya itu, dengan alasan kesibukan administratif dan juga kesibukan teknis di sekolah, sekolah kemudian berkelit dan semakin tak peduli bagi pengembangan perpustakaan. Perpustakaan tak lagi menjadi pusat bagi sumber belajar siswa dan guru. Ia hanya ruang bagi merananya buku-buku.
Sekolah-sekolah sekarang tampaknya menyita waktu siswa dan guru begitu banyak, tapi akankah waktu dari pagi hingga sore tak menyisakan waktu bagi guru dan siswa untuk membaca buku? Barangkali ini kesalahan kita selama ini, kita menjadi abai dan meremehkan pusat pengetahuan yang membangun sekolah. Bila diibaratkan, perpustakaan adalah jantung sekolah, ketika perpustakaan tak terurus, maka sudah dipastikan sekolah menjadi semakin kurang mutunya.
Bagaimana perpustakaan berperan pada kemajuan sekolah bisa kita lihat sebagai contoh misalnya SD Muhammadiyah SAPEN yang ada di Yogyakarta. Sekolah ini sering menjuarai berbagai kompetisi nasional. Ia didukung dengan perpustakaan dan koleksi buku yang lumayan banyak. Tak hanya itu, perpustakaannya pun menjuarai desain perpustakaan yang cukup representatif di tingkat nasional. Penghormatan pun diberikan buat para siswa yang suka melahap dan mendekur di perpustakaan. Sekolah ini menyebut siswa-siswinya dengan “Ratu dan Raja buku”. Tidak berhenti sampai di sini, sekolah menumbuhkan kepercayaan diri murid-muridnya dan menumbuhkan budaya baca di perpustakaan. Ini semakin memahamkan bahwa mencintai ilmu pengetahuan mustahil dilakukan tanpa membaca buku. Selain itu, anak diapresiasi karena kegemarannya mencintai buku dan mencintai ilmu pengetahuan dengan mengikutkan mereka ke berbagai ajang kompetisi sesuai dengan minat yang dikuasai.
Pinggir
Julukan sang “kutu buku” bagi para siswa yang rajin melahap buku menjadi stigmatisasi yang sering meminggirkan ketimbang menghormati. Istilah “kutu buku” cenderung membuat jarak siswa yang suka membaca buku dengan siswa lainnya, menimbulkan kesan individualistis, dan sebagainya. Begitupun yang terjadi selama ini di sekolahan-sekolahan kita. Orang yang membaca buku kemudian dicap sebagai a-sosial, kurang pergaulan dan pemurung.
Stigmatisasi seperti itu tidak jarang muncul justru dari guru. Guru kemudian merasa tersaingi, tersisihkan dan diremehkan dengan siswanya yang melampauinya. Jangankan apresiasi, bertanya saja sering dianggap sebagai sesuatu yang haram. Karena itulah, murid yang membaca buku semakin pinggir dan menjadi orang asing. Pengetahuan dan keilmuan yang ia peroleh dari membaca buku kemudian tak menemukan ruang di dalam kelas sebab mereka tak diapresiasi dan dihargai.
Guru-guru seringkali mengenali mereka yang cukup pandai secara akademis dan secara kognitif semata, tapi melupakan mereka yang rajin dan paling banyak menyerap pengetahuan secara otodidak dari buku. Inilah yang menjadi ironi antara sekolah dan buku. Belum lagi dengan pendidikan kita yang ada di perguruan tinggi. Mahasiswa yang membaca buku di perpustakaan pun demikian halnya. Ia adalah mahasiswa pinggiran dan tersingkirkan. Ia seolah mengalienasikan diri dari hiruk-pikuk mahasiswa yang suka dengan dunia hiburan dan gaya.
Barangkali kesalahan pendidikan kita selama ini bisa dilacak dari semakin renggangnya hubungan sekolah dan buku. Sekolah semakin tak memikirkan bagaimana siswanya mencintai buku. Pentingnya buku dan kebudayaan membaca bagi siswa justru dianggap asing dari pembicaraan rapat-rapat guru-guru kita di sekolahan. Keadaan sekolah yang mengabaikan buku ini menjadikan murid-murid tak lagi merasai kenikmatan membaca buku. Mungkin, karena itulah pendidikan kita menjadi semakin terasa reduktif. Sekolah memang mampu memproduksi orang-orang yang mampu menjawab soal-soal, namun lebih dari itu, sekolah mestinya juga mendidik orang untuk mampu memilah persoalan mana yang paling penting untuk diselesaikan dalam kehidupannya.
*)Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat SOLO, Guru MIM Pk Kartasura
Belum ada tanggapan.