Berita Buku – Pada akhirnya, saya menyerah untuk tetap memakai kata “hantu” dalam tulisan ini. Padahal, saya sudah mencoba mencari kata lain yang maknanya mirip dengan hantu. Bahkan, pencarian saya hingga membuka pustaka lama karya Clifford Geertz, yaitu Religion of Java, yang membahas berbagai hantu dalam versi Jawa, seperti lelembut, dedemit, genderuwo, tuyul, dan sebagainya. Namun, saya tidak menemukan kata yang pas sehingga saya tetap mempertahankan kata hantu meskipun itu akan makin menguatkan pengaruh Hillis Miller pada tulisan saya ini. Akan tetapi, memang harus saya akui, tulisan ini justru dimaksudkan untuk menguak lebih jauh pendapat Miller (2002), tetapi dengan pengalaman pembacaan novel yang berbeda.
Miller (2002: 30) menceritakan pengalamannya setelah membaca novel di mana tokoh-tokoh utama novel itu terus hidup dalam imajinasinya, ibarat hantu yang tidak bisa diusir keluar dari pikirannya. Konon, kata Miller, hantu semacam itu tidak bermateri ataupun tanpa materi, yang berada dalam kata-kata yang tertera di halaman buku yang ada di rak dan menunggu dihidupkan kembali ketika buku itu diambil dari rak dan dibaca ulang. Dan, tidak selalu kalimat pertama pada novel yang membangkitkan hantu itu, tegas Miller. Artinya juga, kalimat pada bab-bab berikutnya bisa jadi justru yang bisa membangkitkan hantu tersebut pada pembaca yang berbeda meskipun novel yang dibacanya sama.
Soal “hantu” inilah perlu dikuak lebih jauh. Rasanya, “hantu” yang menggentayangi kita tidak persis merujuk pada tokoh utama, tetapi pada peristiiwa atau kejadian tertentu yang dialami oleh tokoh-tokohnya yang memaksa pembaca ingin terus menyelesaikan pembacaan novel itu sebab ada rasa kepanasaran yang ditimbulkan peristiwa atau kejadian tersebut. Bahkan, peristiwa atau kejadian itu sering kembali diceritakan kepada orang lain dengan di sana-sini diberi tambahan interpretasi sendiri.
Dalam novel Laskar Pelangi, misalnya, saya menemukan “hantu” itu adalah peristiwa berangkat sekolahnya Lintang dengan sepeda yang harus melewati rawa yang ada buayanya, bahkan hebatnya, selama bersekolah itu Lintang hanya sekali terlambat meskipun jarak yang ditempuhnya puluhan kilometer. Mengapa “hantu” seperti itu yang saya temukan dalam Laskar Pelangi? Asumsi saya adalah kemunculan “hantu” seperti itu pasti ada kaitannya dengan pekerjaan saya sebagai pendidik, yang pastinya mengharapkan mempunyai anak didik yang punya motivasi sekuat Lintang dalam bersekolah.
Tapi, dalam film Laskar Pelangi, “hantu” yang saya temukan berbeda, mungkin sebab saya sudah membaca novelnya. “Hantu” tersebut adalah peristiwa kecemasan atau kekahawatiran Kepala Sekolah dan salah satu gurunya, yaitu Bu Mus, akan nasib sekolahnya yang akan ditutup jika siswa yang mendaftar di sekolah mereka tidak sampai sepuluh orang. Peristiwa itu ditampilkan di awal film sehingga saya menganggap bahwa “peristiwa” itu semestinya menjadi catatan penting bagi penonton film. Tapi, anehnya, pada beberapa tahun ajaran berikutnya, sekolah itu tidak pernah ditutup meskipun pada tahun-tahun berikutnya tak ada lagi siswa yang mendaftar di sekolah tersebut.
Ketika membaca novel The Name of The Rose karya Umberto Eco, saya berhadapan dengan “hantu” yang berupa pendeskripsian aktivitas yang dilakukan pustakawan dan buku-buku yang menjadi koleksi perpustakaan gereja yang menjadi latar peristiwa dalam novel itu. Aktivitas dalam perpustakaan gereja itu luar biasa menghantui saya. Di perpustakaan itu berkumpul para pustakawan dari berbagai negara yang mencoba belajar berbagai disiplin ilmu. Bahkan, beberapa di antaranya bertugas menyalin karya-karya pinjaman untuk perpustakaan. Sebuah aktivitas keniscayaan mengingat latar waktunya menunjukkan belum ditemukannya mesin cetak. Karya yang disalin terdapat juga karya ilmuwan Islam, seperti Algebra buah pikiran Al-Khawarizmi. Tampaknya, bagian itu menjadi “hantu” dalam pikiran saya sebab hasrat saya atau hobi saya dalam membaca buku. Sering saya bayangkan seandainya saya bisa bekerja atau tinggal di perpustakaan tersebut, tentu akan sangat menyenangkan dikelilingi karya-karya bermutu yang tercatat dalam tonggak peradaban dunia.
Wallahu a’lam
Tambun Selatan, 3 Juni 2015
Kang Insan
Belum ada tanggapan.