Berita Buku – Membaca tulisan-tulisan klasik masih tidak menjemukan dan lebih penting lagi masih tetap relevan dengan problem- problem di dunia saat ini. Mungkin demikianlah adanya, ketika sebuah karya tulis (sastra khususnya) tidak pernah kehilangan pijakan dan suaranya masih mengena hingga beberapa dekade bahkan abad, disitulah orang mengatakannya sebagai sesuatu yang klasik.
Mikhail Zoshchenko, penulis Rusia yang lahir pada 1894 di St. Petersburg punya beberapa tulisan yang bisa dianggap sebagai klasik. Salah satu cerita pendeknya yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Pelageya. Cerita ini termasuk sangat pendek dan menggelitik jika tidak dibilang sebagai sebuah satir. Cerita yang ditulis pada masa-masa pergolakan Uni Sovyet ini berbicara tentang revolusi dan buta huruf dengan cara yang sederhana.
Konon, katanya Pelageya adalah nama seorang wanita yang buta huruf. Dia tidak bisa menulis apa pun termasuk namanya sendiri. Pada waktu itu, di Sovyet angka buta huruf masih tinggi dalam masa revolusi mereka sehingga sebenarnya tidak masalah jika Pelageya menjadi salah satunya. Tetapi karena suaminya seorang pegawai pemerintah, maka Pelageya yang buta huruf adalah sebuah masalah.
Suami Pelageya semula seorang petani. Setelah mereka tinggal di kota, pria itu belajar banyak hal termasuk baca-tulis kemudian menjadi pegawai. Kini dia tengah membujuk Pelageya belajar menulis, setidaknya bisa menulis namanya sendiri, karena dia malu punya istri buta huruf. Tetapi wanita itu keras kepala, bahkan sampai suatu hari ketika suaminya membawa pulang sebuah buku panduan belajar menulis bermetode CBSA Pelageya malah menyimpannya di dalam lemari rias. Dia berpikir tidak perlu lagi belajar membaca dan karena sudah keburu tua. Satu waktu, kala sedang menambal lengan jaket suaminya, dia menemukan sepucuk surat di dalam saku jaket itu dengan wangi parfum. Hanya ada satu kemungkinan untuk sebuah surat dengan wangi parfum; surat cinta. Pelageya jadi cemburu, dia sangka suaminya telah selingkuh. Maka menangislah dia, meratapi takdirnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia baru tahu rasa sakit karena tidak bisa baca.
Dia istri yang tenang dan baik sebenarnya sekalipun buta huruf. Usai menemukan surat itu, dia tidak mencecar suaminya atau menuduhnya macam-macam. Hanya saja dalam hati yang terbakar cemburu, Pelageya kemudian bertekad harus bisa baca. Dia telah menemukan alasan mengapa dia hendak belajar baca-tulis. Dia ingin tahu isi surat dengan wangi parfum itu. Maka diberitahukan kepada suaminya kalau dia ingin belajar menulis dan membaca dengan berbohong bahwa dia sudah jenuh menjadi orang biasa yang buta huruf dan bodoh. Dengan didampingi suami, Pelageya mulai belajar menggunakan buku kecil dari lemari rias yang dulu itu. Butuh waktu tiga bulan untuk melatihnya, hingga pada akhirnya ketika suaminya pergi ke kantor pada suatu hari, Pelageya mengambil surat yang dia simpan lalu mulai membaca.
Isi suratnya pendek saja. Ditujukan memang kepada suaminya, Ivan Nikolaevich Kuchkin, dari seseorang bernama Maria Blokhina. Tetapi itu bukan surat cinta melainkan surat dengan ‘salam komunis’ di bagian akhir yang menyatakan bahwa dalam rangka perayaan HUT revolusi, semua buta huruf di seluruh pelosok negeri harus dihapuskan. Selain itu, isi surat juga memperingatkan Ivan Nikolaevich bahwa dia tidak boleh lupa kalau orang yang paling dekat dengannya adalah buta huruf; istrinya sendiri. Pelageya tertohok. Dia menangis. Mungkin karena terharu atau mungkin pula karena surat itu telah sangat kejam padanya. Cerita diakhiri.
Mikhail Zoshchenko, sebagaimana halnya penulis Rusia lainnya seperti Chekov atau Nikolai Gogol melahirkan karya mereka sebagai sebuah pernyataan politik terhadap negara mereka yang tengah bergolak. Dalam cerita tentang Pelageya, kritik itu bisa berupa kritik terhadap upaya penghapusan buta huruf yang bisa jadi akan terjadi pemaksaan bahkan kekerasan.
Sebagai sebuah cerita klasik, seperti di awal sudah disampaikan bahwa pengaruhnya tidak pernah pudar hingga hari ini, maka Pelageya bisa dilihat sebagai bayangan dari pendidikan di negeri ini. Pelageya adalah sebuah bayangan cermin cekung bagi pendidikan di Indonesia; sebuah kebalikan. Dalam proses belajar, Pelageya punya motif. Dia tahu dengan jelas mengapa dia harus belajar membaca, yakni karena sepucuk surat beraroma parfum yang tidak bisa dia baca. Di lain pihak dalam pendidikan Indonesia yang terlanjur tersistematis, orang tidak pernah tahu mengapa mereka harus ke sekolah. Tidak seperti Pelageya yang memegang kendali atas pendidikannya sendiri, kita hanya tahu bahwa tiap pagi dengan tas di punggung kita harus masuk gerbang sekolah.
Pada akhirnya, Pelageya dalam gaya bertutur yang sederhana akan bertahan dalam sifat klasiknya, terus dibaca dan dimaknai.
Sumber :
Mikhail Zoshchenko
Belum ada tanggapan.