Kelompok pemuja setan, The Satanic Temple membawa patung perunggu Baphomet setinggi 8,5 kaki ke Little Rock di Arkansas, AS dalam aksi unjuk rasa pertama kalinya, Kamis, 16 Agustus 2018 (Tempo.co 18/8/2018). Kelompok The Stanic Temple ini mendukung amandemen pertama dan keberagaman di Amerika Serikat. Untuk itu, mereka menuntut perlakuan yang sama sebagai respons atas berdirinya monumen 10 perintah Tuhan di kota itu. Monumen 10 perintah Tuhan disetujui berdiri di Arkansas setelah rancangan Undang-Undang pendiriannya yang disponsori senator partai Republik, Jason Rapert (mengutip Independent.co.uk, 17 Agustus 2018).
The Satanic Temple bertemu Dewan Kota Arkansas untuk meminta patung Baphomet dibolehkan berdiri di Little Rock. Namun, tuntutan mereka tidak dikabulkan. Mengutip laporan Washington Post, kelompok Satanic Temple ini beranggotakan orang-orang ateis, kaum humanis, dan aktivis kemerdekaan berbicara. Mereka menuntut pemerintah agar tidak mencederai prinsip pemisahan agama dan negara (Tempo.co 18/8/2018).
Bagi kita yang hidup dalam ruang lingkup agama yang notebene percaya akan keberadaan Sang Pencipta (seturut ajaran agama kita masing-masing), peristiwa yang terjadi di Arkansas seperti yang dijelaskan di atas tentu merupakan suatu peristiwa yang aneh. Kita bisa mengatakan bahwa peristiwa itu sungguh mengherankan. Kita merasa heran karena ternyata di dunia ini masih ada orang yang memuja setan. Namun, kita tidak tahu bagaimana reaksi mereka jika kita menunjukan ekpresi keheranan dan kebingungan kita di hadapan mereka (pemuja setan). Bisa jadi mereka juga merasa heran dengan keheranan dan kebingungan kita. Bahkan, bisa jadi mereka menertawakan kekonyolan kita. Mereka tertawa karena dalam kenyataannya, kita yang mendaku diri sebagai orang yang beragama justru seringkali menggunakan nama agama bahkan Tuhan untuk melegitimasi segala macam kejahatan yang kita lakukan. Inilah realitas yang tak terbantahkan dalam kehidupan manusia saat ini.
Setan bukanlah sebuah kata yang asing lagi di telinga kita. Setan berasal dari kata bahasa ibrani ha-Satan yang berarti “sang penentang”. Dalam bahasa Arab setan biasa disebut dengan istilah asy-Syaiton yang berarti “sesat atau jauh”. Setan adalah perwujudan dari antagonisme yang bersumber dari agama-agama samawi, yang biasanya merujuk pada Lucifer di dalam kepercayaan Yahudi dan Kristen dan juga Iblis pada kepercayaan Islam. Pada ghalibnya, setan seringkali diidentikkan dengan kegelapan dan kejahatan. Setan seringkali dianggap sebagai penggoda dan pembawa manusia pada kehancuran.
Namun, konsep tentang setan itu tidak selalu dimaknai secara negatif. Setan, sesuai dengan makna etimologisnya “sang penentang” juga digunakan untuk merujuk pada sekelompok manusia yang selalu siap untuk menggangu dan menentang kemapanan sebuah kekuasaan. Salah satu filsuf yang memaknai adanya setan dalam kehidupan manusia adalah Imanuel Kant. Kant menggagas secara khusus tentang setan ini dalam salah satu tulisannya yang berjudul Zum ewigen Frieden (1975) (Menuju Perdamaian Abadi). Berbeda dengan kebanyakan teks filsafat lain, tulisan Kant ini berbentuk ‘perjanjian perdamaian’ seperti yang dapat kita jumpai pada teks-teks hubungan internasional pada zaman itu. Di dalamnya ada preambul, pasal-pasal pendahuluan, pasal-pasal definitif, jaminan perjanjian, pasal rahasia, pasal-pasal tambahan dan lampiran (Hardiman, 2018: 33).
Dalam tulisannya tersebut, salah satu hal yang menarik, sebagaimana dikutip Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Demokrasi dan Sentimentalitas (2018) adalah sebuah tesis yang ditulisnya dalam buku itu di bawah judul ‘Pasal Tambahan’: “Masalah pendirian Negara- betapa kerasnyapun pernyataan ini- dapat dipecahkan oleh suatu bangsa setan-setan (asalkan mereka memiliki akal).” Kita tentunya bertanya, “apakah maksud kalimat aneh ini?” coba kita bayangkan the founding fathers sebuah republik sebagai setan-setan yang serba egois bertekad mendirikan negara. Rakyatnya juga setan-setan. Kant yakin bahwa negara itu bisa berdiri. Bukankah ini sebuah tesis yang ganjil? Kita tentunya ingin mengetahui asas-asas mana yang kiranya akan diambil oleh mahluk-mahluk egois itu.
Tiga Asas
Dalam karyanya itu, Kant memaparkan tiga asas yang dihidupi oleh bangsa setan-setan. Asas yang pertama berbunyi: Susunlah konstitusi negara yang netral dari agama dan moral sehingga tidak menjerumuskan rakyat pada konflik moral ataupun agama, melainkan memperhitungkan bagaimana mekanisme alam mengatur hubungan antarindividu. Setan-setan jelas tak bermoral tapi setan-setan Kantian bukan serigala-serigala yang melulu naluriah, melainkan egois-egois yang berpikir rasional-strategis. Frase “asal mereka memiliki akal”- yaitu tidak sentimental- sangat sentral. Mereka akan menyingkirkan segala sentimen yang bertolak dari nilai moral ataupun religius yang kontroversial agar mereka dapat menjamin kepentingan privat mereka dengan suatu konsensus rasional untuk tidak mengintervensi privasi masing-masing. Jika negara itu berdiri, negara itu akan melindungi setiap setan individual untuk menjalankan kebebasan privatnya masing-masing. Hukum mereka berlaku untuk semua setan dan diterima oleh segala setan bukan karena “seharusnya”, melainkan karena “nyatanya” cocok dengan kepentingan mereka.
Asas yang kedua: Pimpinlah negara tanpa memaksakan kebenaran salah satu agama atau moralitas rakyatmu sebagai alasan kekuasaanmu, melainkan setialah pada konstitusi kebebasan itu. Setan-setan itu memang tidak bermoral, tetapi mereka punya alasan moral untuk patuh pada konstitusi sebagai ‘moral’ mereka, yakni pemeliharaan diri. Moral di sini dapat dibagi menjadi dua yaitu moral partikular yang terkait dengan kelompok sosial dan moral universal yang mendasari konstitusi. Karena pemeliharaan diri itu universal, maka setan tidak mengalami dualisme loyalitas.
Asas ketiga: Periksalah terus kesesuaian konstitusi kebebasan itu dengan aspirasi publik di bawah tatapan mata publik. Dalam egoisme mereka, setan-setan Kantian itu berpikir (seperti manusia serigala Thomas Hobbes) bahwa jika mereka merugikan kebebasan pihak lain, misalnya dengan diam-diam merencanakan serangan, pihak lain itu akan membalas dengan cara dusta dan rahasia juga. Oleh karena itu, demi kepentingan diri mereka, mereka akan bersikap transparan tentang kepentingan-kepentingan diri mereka. Dalam hal ini, mereka sangat menekankan aspek “kepublikan”. Kepublikan berarti dapat diakses oleh publik. Mereka akan menyatakan kepentingan mereka lewat cara-cara yang terbuka terhadap kontrol publik.
Pelajaran
Tiga asas yang dihidup oleh “bangsa setan-setan” di atas sebetulnya merupakan kritik terhadap praksis politik di negara kita saat ini. Asas pertama merupakan kritik terhadap praksis politik sentimentalis. Negara kita ini terdiri dari beraneka ragam budaya, etnis, agama, orientasi moral dan politik yang berbeda-beda. Tentu bangsa kita ini berbeda dengan “bangsa setan-setan” Kant. Kita adalah mahluk yang bermoral, beragama dan berbudaya. Kita juga adalah mahluk sentimental. Tetapi persis inilah yang menurut Kant membuat kita sulit bersepakat untuk sebuah konstitusi negara yang mengatur kemajukan budaya itu. Masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas dan kulturnya. Mereka berpikir bahwa perdamaian dapat dicapai dengan mengkotbahi para warga negara. Tetapi kotbah atau nasihat moral tidak juga mengubah kebandelan mereka. Teganganpun terjadi di antara mayoritas dan minoritas. Pluralisme dianggap menguntungkan minoritas. Maka mayoritas menerapakan doktrin puritan untuk memberangus segala penyimpangan. Asas pertama setan Kantian dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara untuk lebih menghargai pluralitas. Negara tidak boleh memihak agama-agama tertentu dalam menjalankan praksis politiknya.
Tidak jauh berbeda dengan asas pertama, asas kedua merupakan kritik terhadap para pemimpin yang menyalahgunakan kepentingan moral partikular untuk kepentingan-kepentingan kekuasaanya. Pempimpin Machiavellian semacam itu disebut Kant “moralis politis” (politischer Moralist). Jika negara mau damai, pemimpin tidak hanya sekedar konsekuen dengan konstitusi kebebasan, melainkan juga terbuka untuk merevisi konstitusi itu agar makin sesuai dengan moral universal.
Sejalan dengan kedua asas sebelumnya, asas ketiga lebih menekankan pentingnya transparansi dalam penerapan hukum dan peraturan negara. Para pemimpin harus lebih terbuka dalam menjalankan hukum dan undang-undang negara. Dalam hal ini, hukum harus berada dalam kontrol publik dan berlaku adil terhadap seluruh warga negara.
Ketiga asas hidup bangsa setan-setan Kant ini tentunya dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara kita agar dapat menjalankan kehidupan berpolitik dengan baik. Untuk kita sebagai warga negara, asas-asas “setan Kantian” di atas menyadarkan kita untuk perlu juga menjadi seperti ‘setan’ dalam kehidupan bernegara. Setan yang dimaksudkan di sini tentunya bukan setan dalam arti sesungguhnya yang identik dengan kejahatan dan kegelapan. Setan yang dimaksudkan di sini adalah “setan Kantian” yang tidak sentimentalis, terbuka terhadap pluralitas dan siap untuk mengganggu dan menentang kemapanan hidup para elite politik di negara ini.
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.