Cerpen Koran
Sastra, -seseorang pernah menulis, adalah sebuah seni. Bukan ilmu. Jika ilmu bisa dipetakan dan diberi metodologi maka sastra berkembang setiap hari, tidak bisa diikat, liat dan liar, meludah sana-sini, tertawa sana-sini. Sekalipun manusia ingin memberi bingkai terhadap kesusastraan, sastra tetap saja merembes keluar dari batasnya. Namun, ada masa-masa tertentu tatkala manusia membuat bingkai sedemikian rupa sehingga sastra pun terbendung di dalamnya lalu menjadi keruh, jenuh dan tidak punya napas lagi. Dalam keadaan begini, apa asyiknya lagi membaca sastra yang hampir mati?
Cerpen koran, semula disebutkan pada cerpen yang dimuat di koran tetapi lama-kelamaan telah menjadi sebuah istilah. Maka, istilah cerpen koran mempunyai arti sebagai cerpen yang memenuhi standarisasi untuk dapat diterbitkan oleh koran. Standarisasi merujuk pada tema, struktur, pola, gaya bahasa dan kandungan nilai moral yang membentuk sebuah rumusan tertentu supaya dapat diperhatikan oleh siapa pun yang mau mengirimkan cerpennya. Atau, lebih gampang memahami standar yang dipatok oleh ‘cerpen koran’ semacam begini; Pertama, tentukan tema yang mau diangkat. Setidaknya tema menyangkut kekacauan kehidupan di negara ini; koruptor, politikus kotor, suami yang berkhianat dan lain-lain asalkan mempunyai ‘nilai’. Kedua, gambarkan watak tokohnya dengan porsinya yang jelas; jika dia jahat maka dia harus jahat sejahatnya, penuh intrik, tipu daya, licik, yang bahkan Tuhan tidak tahu harus berkata apa. Ketiga, temukan seekor binatang atau sebuah benda yang nantinya karakter tokoh dilekatkan padanya, seekor anjing, tikus misalnya. Keempat, mulai menulis mengenai tikus tersebut; tikus yang mempunyai pikiran dan perasaan seorang manusia. Cerita semacam ini tidak menghabiskan banyak waktu, ketat dengan berbagai deskripsi mengenai tikus itu. Ketika cerita sudah selesai, penulis akan berharap kalau pembaca menikmati tulisannya dan mampu menerima pewartaannya tentang tikus yang mengambil cara hidup layaknya manusia.
Franz Kafka
Mengapa saya jadi berbicara tentang Franz Kafka adalah karena Kafka pernah menuliskan sebuah karya fenomenalnya yang mirip dengan cara penulisan cerpen koran di atas. Franz Kafka menulis The Metamorphosis dan dunia sastra terguncang oleh materinya yang mencengangkan, gelap, aneh dan memancing pembaca ke dalam sebuah dunia surealisme. Orang-orang yang pernah membacanya akan selalu ingat kisah mengenai seorang pria bernama Gregor Samsa yang suatu pagi terbangun dan menyadari kalau seluruh tubuhnya telah berubah menjadi seekor kecoa besar; kecoa dengan pikiran masih aktif sebagai manusia.
Melihat cerpen-cerpen kontemporer semacam ini di koran (‘Serigala dalam Kamar Ibu’ atau ‘Anjing Dalam Kepala Margaret) benar atau tidak telah mengikuti cara Kafka menggambar kemanusiaan. Sebenarnya naif membandingkan apa yang sering diterbitkan koran dengan apa yang telah ditulis Kafka. Surealisme Kafka sangat melekat pada setiap karyanya sehingga ketika dia menuliskan The Metamorphosis tulisan itu tidak garing, sudah matang. Kafka punya gaya dan napasnya sendiri. Dia tidak tersentuh. Dunia mengakui cerita itu telah mengguncang isi kepala mereka, menghantam sisi kemanusiaan dengan cara yang luar biasa.
Cerpen yang Asyik
Memilah mana cerpen yang asyik dan tidak, Amerika Latin mempunyai salah satu dari beberapa tokoh sastra besar mereka; Gabriel Marquez. Cerpennya yang sudah diterjemahkan ‘Sepasang Mata Anjing Biru’ dan ‘Putri Tidur dan Pesawat Terbang’ adalah contoh dua karyanya yang sangat enak dibaca. Sepasang Mata Anjing Biru merupakan karya surealismenya tentang seseorang yang menatap sepasang mata yang bukan miliknya dan menemukan ada ‘sesuatu’ di sana. Sementara itu, Putri Tidur dan Pesawat Terbang’ berkisah tentang seorang yang naik pesawat dan duduk di samping seorang gadis cantik. Cerita ini tidak berbeli-belit dan akan menjadi hambar bila bukan Marquez yang menulisnya. Si lelaki duduk sepanjang perjalanan dan berangan-angan si gadis yang tidur segera terbangun untuk diajaknya berkenalan. Tidak ada yang istimewa di sini, kecuali bahwa gaya Marquez menyampaikannya sangat elok dan membuat orang tidak habis pikir tentangnya.
Dari Israel ada Etgar Keret. Penulis cukup eksentrik untuk menulis cerpen dalam ukuran yang sangat pendek. Dia bisa menulis tentang dua orang lelaki yang mempunyai kemiripan berbicara di telepon kepada istri mereka di dalam perjalanan menggunakan pesawat (saat pesawat sudah mendarat), menulis tentang sebuah lem superlengket yang bisa melekatkan kaki manusia di langit-langit rumah.
Alice Munro punya tulisan yang sangat panjang sebagai sebuah cerpen, berkisah tentang kehidupan sehari-hari bisa tentang seorang istri yang rajin menjenguk suaminya di penjara yang telah membunuh kedua putri mereka, tentang seorang nenek yang baru saja kehilangan suami tercintanya di masa tua tentang gadis desa lugu yang jatuh cinta pada pemuda dari kota.
Itulah (menurut saya) mereka yang telah menulis cerpen dengan gaya yang asyik. Tetapi karena kata asyik sangatlah relatif, maka bisa jadi mereka yang menyukai istilah ‘cerpen koran’ akan menganggap tulisan-tulisan macam ini tidaklah seberapa asyik dengan apa yang sering dimuat.
Belum ada tanggapan.