“Duh, malasnya kalau disuruh belajar!” Kalimat itu mungkin sering terucapkan waktu masih kecil kala orangtua menyuruh (bahkan memaksa) kita untuk belajar. Waktu itu, kita mungkin merasa jengkel karena waktu bermain terpaksa harus diberhentikan.
Banyak orang (mungkin) lebih suka bermain daripada belajar. Apakah sudah ada riset ilmiah yang menjelaskan fenomena ini? Entahlah, saya tidak tahu. Tapi bisa benar atau tidak, belajar memang bukan sesuatu yang digemari, khususnya oleh kita di Indonesia.
Ada banyak alasan kenapa kita bisa malas belajar. Salah satunya mungkin kita karena tidak tahu manfaatnya. Kita mungkin merasa belajar adalah sebuah kewajiban sekolah saja. Padahal belajar punya banyak manfaat. Dengan belajar, pengetahuan kita bertambah, wawasan kita diperluas, dan kita bisa berjumpa banyak hal baru lewat belajar.
Penyebab lain kita jadi malas belajar mungkin juga disebabkan kurangnya motivasi. Kita miskin orientasi sehingga lamban bergerak untuk belajar. Orientasi biasanya berhubungan dengan tujuan hidup kita pribadi. Dengan belajar, sebenarnya kita akan mengetahui hal-hal apa saja yang perlu kita perlengkapi agar tujuan hidup itu bisa tercapai.
Keringnya orientasi bisa juga menyebabkan kurangnya rasa ingin tahu kita pada hal-hal baru. Kita mungkin sudah terlanjur nyaman dengan situasi yang ada dan enggan untuk berbenah diri. Kita merasa tidak perlu memperbaiki diri karena merasa sudah mencapai segalanya. Padahal, itu hanya pertanda kaburnya orientasi hidup kita sendiri.
Jika sebelumnya sudah dipaparkan beberapa alasan kenapa seseorang malas belajar, maka ada juga beberapa orang, karena situasi-situasi tertentu, akhirnya tidak bisa belajar.
Ada saja memang orang-orang yang tidak berkesempatan untuk belajar dengan cara yang formal. Misalnya, banyak anak-anak di Indonesia, akhirnya memutuskan berhenti sekolah agar bisa membantu orangtua untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Ada juga yang tidak bisa belajar karena minimnya fasilitas. Di daerah sekitarnya, mungkin saja belum dibangun gedung sekolah, perpustakaan, atau fasilitas-fasilitas lain yang mendukung kegiatan belajar.
Walau demikian, ini tentu bukan alasan yang membuat kita menjadi berhenti untuk belajar. Belajar tentu saja tidak hanya dipahami sebagai kegiatan formal dalam lembaga sekolah saja. Kita bisa belajar dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.
Jika tidak punya buku, misalnya, kita bisa meminjam koran di warung terdekat untuk membaca informasi yang tersedia. Kita juga bisa belajar dengan melakukan eksperimen sendiri dengan peralatan yang seadanya untuk memuaskan rasa ingin tahu pada sesuatu. Kita juga bisa bertanya pada seseorang, yang kita anggap lebih tahu, untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang mengusik rasa ingin tahu. Ada tersedia banyak cara. Itu semua tergantung pada tekad kita.
Tekad menjadi bahan bakar utama untuk belajar. Seperti kisah Alijullah Hasan Yusuf (65) nan inspiratif seperti diceritakan Kompas dengan judul “Menyelundup ke Eropa demi Menuntut Ilmu” (17/10/2016). Ali, demikian biasa dia dipanggil, ketika meluncurkan bukunya “Paris Je Reviendrai, Aku Kan Kembali” menceritakan pengalaman hidupnya dengan rasa haru. Pada tanggal 18 Agustus 1968, Ali nekad pergi ke Prancis tanpa paspor, tiket, dan visa. Ia menumpang pesawat Qantas Boeing 707 secara ilegal dari Jakarta. Kenekadannya hanya didorong sebuah mimpi sederhana; dia ingin mengecap pendidikan di Eropa karena situasi politik Indonesia yang tidak kondusif.
Tentu saja usahanya ini gagal. Sesampainya di Paris, ia didepak oleh pemerintah setempat kembali ke Jakarta karena tidak memiliki paspor.
Namun, Ali tidak patah arang. Setibanya di Indonesia, Ali bekerja sebagai pesuruh kantor untuk menabung agar bisa kembali ke Paris dengan cara yang legal. Usaha yang didorong tekad kuat itu berhasil. Pertengahan Februari 1970, Ali terbang lagi ke Paris untuk mengambil studi budaya dan komersial di Universitas Sorbonne.
Belajar adalah sebuah proses. Dia membutuhkan kesabaran, keuletan, dan ketekunan. Memang, hasil dari belajar tidak dirasakan dalam seketika. Belajar hari ini, hasilnya mungkin akan kita tuai beberapa tahun yang akan datang. Belajar bisa dimisalkan dengan menabung; menabung bekal pengetahuan untuk masa depan.
Tidak bisa dipungkiri, dalam krisis yang kita hadapi sekarang ini; kita akan menemukan banyak sekali kesulitan untuk belajar menuntut ilmu. Tapi dari Alijullah Hasan Yusuf, kita belajar bahwa tekad yang kuat akan mengalahkan segala rintangan yang ada. Kita harus meningkatkan semangat belajar dan menuntut ilmu, walau kita tahu dihadapan kita terbentang ribuan aral melintang. Kita harus membulatkan tekad, bahwa rintangan itu bukanlah penghalang, tapi tantangan yang membuat kita tertantang!
Belum ada tanggapan.