Tidak jadi masalah jika sengat matahari membakar wajah, yang penting kita bisa membawa pulang handphone mewah. Mungkin monolog singkat itu mewarnai lintasan alam bawah sadar sebagian masyarakat kita yang selalu saja antri untuk membeli sebuah telpon seluler berlabel termutakhir.
Masyarakat kita memang sudah terkenal dengan tingkat konsumsi yang gila-gilaan. Besar pasak daripada tiang. Ingin selalu membeli segala sesatu yang baru tapi enggan memproduksi sendiri. Andaipun pemerintah kita berusaha memproduksi sendiri, masyarakat kita belum tentu tertarik untuk membeli produk itu. Cap ketinggalan zaman dan kampungan melekat pada produk-produk dalam negeri. Begitulah gejala-gejala umum dari masyarakat konsumsi kita.
Dalam budaya konsumtif, peristiwa kerumunan massal untuk membeli suatu barang adalah suatu pemandangan yang wajar. Adalah suatu hal yang dianggap “biasa” jika setiap hari minggu di sekitar stadion Manahan Solo dan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi Surakarta, kita bisa menyaksikan, sekitar seribuan warga kota tumpah ruah. Masyarakat datang bukan hanya untuk bergembira dan berolahraga saja, namun sebagian dari mereka datang untuk satu tujuan, belanja!
Belanja adalah kewajaran yang terus dipompa di negeri ini. Tanpa belanja, pertumbuhan ekonomi kita bisa macet. Investasi kita juga akan menurun dan kita akan terjebak dalam krisis ekonomi yang tanpa ujung. Konsumsi dan belanja adalah ritual enigmatik yang terus diserukan oleh ekonom pembangunan untuk memenuhi ambisi mereka; membentuk Negara maju dan terkesan modern.
Teknologi informasi dan konsumerisme
Budaya konsumtif yang menjangkiti masyarakat kita tidak muncul secara tiba-tiba. Kebudayaan konsumtif bukanlah tuyul, jin atau syetan yang goib, mistis dan sulit diterka. Kebudayaan konsumtif adalah sesuatu yang empiris, nyata dan bisa ditelusuri jejaknya.
Anthony Giddens mengidentifikasi awal mula kebudayaan konsumtif yang melanda masyarakat dunia. Giddens menilai revolusi dalam bidang teknologi informasi sebagai penyebab konsumerisme masyarakat modern. Dikatakan oleh Giddens (1999) bahwa “teknologi komunikasi elektronik yang serba-segera ini bukan hanya sekedar alat untuk menyampaikan berita dan informasi secara cepat saja. Ia juga mengubah seluruh hidup kita sampai yang sekecil-kecilnya”.
Jika kemajuan teknologi informasi adalah kunci pembuka bagi terciptanya masyarakat konsumtif, seperti bisa dikatakan Giddens, lalu apakah ada buktinya? Apakah masyarakat yang belum tersentuh kemajuan teknologi informasi relatif lebih bersahaja dan kurang konsumtif?
Masyarakat-masyarakat tradisional yang kurang memiliki akses pada kemajuan teknologi informasi, seperti masyarakat suku Baduy Dalam di propinsi Banten, atau suku Anak Dalam di Sumatra, memang memiliki pola hidup yang lebih sederhana dari kebanyakan masyarakat kota yang melek teknologi informasi. Kebanyakan masyarakat suku Baduy Dalam dan Suku Anak Dalam memiliki pola hidup yang harmonis. Mereka masih berusaha hidup menyatu dengan alam. Mereka sering mendaku diri sebagai bagian dari semesta yang hirarkis sekaligus harmonis.
Konsumsi berlebih dalam masyarakat tradisional seperti ini dianggap tabu dan menyalahi aturan alam. Mereka sering menyebutnya pamali. Maka, masyarakat akan melakukan konsumsi hanya pada sesuatu yang benar-benar diperlukan dan berguna saja. Prinsip ini dijadikan suatu patokan bersama bagi masyarakat adat. Masyarakat adat dalam budaya tradisional seperti ini adalah masyarakat yang mampu bertahan dari pengaruh budaya konsumtif dan eksploitatif.
Jika saat ini kita mendapati banyak orang Indonesia yang tinggal di kota-kota besar, termasuk Surakarta dan Jogjakarta, memimpikan gaya hidup mahal, hal itu, bisa jadi, disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi membuat penduduk di kota menjadi kian konsumtif. Kebutuhan mereka, masyarakat kota, mengalami peningkatan dan pembengkakan. Mereka membutuhkan segala hal yang kiranya membuat mereka bahagia, betapapun mahal harganya.
Secara tidak sadar pola-pola komunikasi elektronik telah memaksa kita untuk selalu memimpikan kepuasaan dalam mengkonsumsi segala produk. Kita dijerat pada “kesadaran palsu” untuk terus mengkonsumsi. Kita, melalui iklan elektronik, dimanipulasi agar terus mengkonsumsi.
Jean P Baudrillard (2004) menyebut konsumsi modern melibatkan manipulasi tanda yang secara eksternal melibatkan nilai-nilai simbolis dalam penciptaan. Secara kasat mata simbol-simbol itu, secara elektronik, diciptakan dengan desain menarik agar mampu mengikat daya kritis manusia. Daya kritis kita ditekan sehingga kita mau membeli sesuatu yang tidak kita butuhkan.
Selain itu, media teknologi komunikasi kita juga menciptakan mitos tentang status sosial, prestise dan gengsi. Obsesi tentang status sosial, prestise, dan gengsi merupakan prasyarat mutlak bagi kelangsungan hidup masyarakat konsumsi. Tanpa adanya mitos tersebut bisnis gaya hidup di seluruh dunia akan ditutup.
Hidup Sederhana
Pola-pola konsumsi kita saat ini sepertinya lebih mirip dengan pola-pola konsumsi negara maju ketimbang negara berkembang. Kita lebih gampang melihat pola hidup hedonis ketimbang pola hidup sederhana. Padahal Soedjatmoko dalam buku Pembangunan dan Kebebasan (1984) menyerukan pola hidup sederhana bagi Negara yang sedang membangun.
Sebagai suatu negara yang masih memiliki jurang ketimpangan sosial yang lebar, sungguh tidak etis rasanya jika kita hidup dalam hedonisme dan kubangan budaya konsumsi. Terlebih jika yang melakukanya adalah para pemimpin negeri ini dan elit politiknya. Kita akan merasa sangat prihatin jika melihat elit politik kita mengumbar aneka ragam hidup mewah di tengah masyarakat yang kian susah. Kita akan sangat kecewa pada mereka yang berjuang atas nama kemiskinan tapi tidak memiliki solidaritas pada orang miskin.
Seharusnya kita juga malu pada pola hidup bangsa Jepang yang sederhana, padahal perekonomian mereka sudah sangat maju. Bangsa jepang memang telah melatih diri untuk giat bekerja dan sedikit mengkonsumsi. Bangsa Jepang telah berhasil mengembangkan etika komunal yang disiplin, kerja keras, dan sederhana.
Saya rasa, peranan teknologi informasi selain sebagai sarana promosi produk hendaknya juga dimanfaatkan untuk mengkampanyekan pola hidup sederhana . Kehidupan sederhana ala Haji Agus Salim harus kembali dipublikasikan pada masyarakat, agar masyarakat bisa belajar untuk hidup prihatin.
Cerita tentang bung Hatta yang tak mampu bayar listrik rumahnya mestinya juga dikisahkan kembali agar masyarakat kita tidak gengsi untuk hidup sederhana. Lha wong proklamator Indonesia yo ora gengsi urip sederhana, mosok rakyate malah gengsi urip sederhana. Rakyat Indonesia yo kudune iso nyonto bung hatta sing urip sederhana nganti ora iso mbayar listik. (Proklamator Indonesia saja tidak gengsi hidup sederhana, masak rakyatnya malah gengsi hidup sederhana. Rakyat Indonesia harusnya bisa mencontoh bung hatta yang bisa hidup sederhana, sampai tidak bisa bayar listrik – terjemahan bahasa jawa).
Ketika masyarakat kita tidak gengsi untuk hidup sederhana, kita telah selangkah lebih maju untuk menciptakan keadilan sosial. Jika teknologi informasi telah mampu dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan mental manusia, sepertinya harapan untuk menjadi Negara adidaya bukan sekedar harapan saja.
*)Penulis Adalah Pecinta buku dan Film. Penulis Aktif diberbagai kegiatan sosial seperti komunitas perpustakaan jalanan dan komunitas pegiat literasi
Belum ada tanggapan.