Berita Buku – Nama Paula Hawkins tidaklah mentereng sebelumnya. Menggunakan nama samaran, dia memang pernah menulis beberapa novel fiksi romantis yang tidak terlalu sukses di pasaran. Kepada The Guardian, sebelum terbit novel anyarnya baru-baru ini, Paula Hawkins menyebut karir kepenulisannya hampir saja berakhir. Sebagaimana penulis kere umumnya, keadaan ekonomi yang carut marut membuat dia berpikir ulang apakah terus betah menulis atau banting stir. Untungnya, dia memilih bertahan.
Ketika Hawkins memutuskan untuk tetap menulis, setidaknya satu novel lagi, maka pilihan itu seperti sebuah perjudian sebagaimana dikatakannya; “Felt like as the last roll of the dice.” Terutama jika melihat krisis keuangan yang dialami olehnya, menulis lagi tanpa kepastian memang ibaratnya menunggu keberuntungan pada putaran dadu terakhir. Hawkins meminjam uang dari ayahnya bahkan, untuk bertahan (membayar hipotek dan biaya hidup) saat mulai menggarap novel itu.
Setelah enam bulan, novel tersebut kelar. Dan pada januari 2015, diterbitkan oleh Transworld Publishing dengan judul ‘The Girl On The Train’.
Paula Hawkins pun menemui keberuntungannya. Usai diterbitkan, novel ini langsung meledak di pasar. Terhitung di bulan januari 2015 saja penjualan buku mencapai 120 ribu eksemplar, -itu di luar yang dijual dalam bentuk e-book dan dikopi ke sejumlah negara yang jumlahnya mencapai 2 juta kopi. The New York Times bahkan merilis bahwa dalam 13 minggu, novel Paula Hawkins The Girl On The Train menempati puncak daftar New York Times Bestseller. Kepopuleran novel ini membuat DreamWork membeli hak filmya.
The Girl On The Train menyebabkan nama Paula Hawkins jadi perbincangan dalam dunia fiksi Amerika. Bagaimana tidak, namanya disandingkan dengan Gillian Flynn, seorang penulis wanita populer lainnya. Tak pelak, isu ini sejatinya mengarah pada kedua karya masing-masing penulis yang bisa disebut sebagai karya kembar. Baik Flynn maupun Hawkins sama-sama menerbitkan novel laris, sama-sama bermaterikan teror psikologis (sosiopat), dan sama-sama menggambarkan seorang wanita yang hilang. Tidak heran kemudian orang mengklaim bahwa Hawkins mengikuti jejak Flynn.
Tahun 2012 Gillian Flynn menulis sebuah novel thriller Gone Girl yang menuai sukses dan telah difilmkan dengan judul yang sama. Novel Gone Girl mengisahkan konflik rumah tangga sepasang suami istri; Nick dan Amy. Kehidupan rumah tangga mereka sementara terjebak dalam kepalsuan masing-masing dimana Nick ternyata punya teman main di luar sementara Amy yang datang dari keluarga penulis dimana ayahnya pernah menulis sebuah buku berjudul Amazing Amy, menjalani hidup untuk memenuhi citra buku tersebut. Di luar rumah, Amy dikenal semua orang sebagai sosok dalam buku tersebut sebagai gadis manis yang cerdas dan berbakat menjadi penulis. Suatu hari saat Nick pulang ke rumah, Amy telah hilang. Sewaktu polisi yang datang menyidik seisi rumah, mereka menemukan tanda-tanda yang mengarah pada pembunuhan Amy oleh Nick. Di sana ada bekas darah dan perabotan yang pecah. Amy sendiri pergi dari rumah setelah merencanakan dengan matang untuk membuat orang menyangka bahwa dia telah dibunuh.
‘Hilang’ dalam karya Flynn ditemukan juga dalam novel Hawkins. Novel The Girl On The Train menyoalkan kehilangan dengan cara yang sedikit berbeda. Diceritakan bahwa Rachel yang tengah limbung akibat alkohol dan kegagalan rumah tangganya mengalami peristiwa yang diluar penalarannya sendiri. Rachel yang sering berangkat ke tempat kerja menggunakan kereta seringkali melewati sebuah tempat dimana dia bisa melihat sebuah rumah yang tampaknya ditempati oleh sepasang suami istri. Beberapa kali, Rachel mulai berfantasi mengenai kehidupan keluarga kecil di rumah tersebut. Dia membayangkan wanita itu bernama Jess sementara suaminya bernama Jason; hidup bahagia sebagai sepasang istri. Fantasi tentang keluarga bahagia dalam sebuah perkawinan, dikhawatirkan lahir dari peristiwa bertolak belakang yang dialami Rachel dalam kehidupan nyata. Kejadian aneh terjadi beberapa hari kemudian ketika Jess yang bernama asli Megan diketahui hilang dari rumahnya. Dari titik inilah, sejumlah peristiwa triler dan intrik ditarik ulur.
Selain menyoal tentang peristiwa ‘hilang’ di atas, isu terkait juga mengupas hal-hal lain yang sama dari kedua novel. Tema tentang gangguan psikologi dari seorang wanita yang gagal dalam berumah tangga pada novel Flynn ditemukan pula dalam novel Hawkins. Rachel dan Amy adalah dua wanita dengan emosi tidak stabil, dua-duanya bisa disebut sebagai sosiopat. Selain itu, hal sepele yang turut disandingkan berupa kesamaan kata girl di kedua novel. Untuk hal terakhir itu, Hawkins memberikan pembelaannya. Paula Hawkins dalam pernyataannya menampik kemungkinan kesamaan ide dalam novelnya dengan novel Flynn. Katanya, dia menggunakan kata girl sebagai judul novel karena kata woman (jadinya: woman on the train) rasanya kurang tepat. Selain itu, dalam hidup sehari-hari wanita ini selalu menyebut perempuan dan gadis sebagai ‘girl’, bahkan dia sendiri menyebut dirinya sendiri yang sudah 40-an sebagai girl. Itu hanyalah faktor kebiasaan bagi Hawkins.
Menanggapi isu ini, melalui The guardian.com Paula Hawkins mengakui baru membaca novel Gone Girl belakangan, setelah dia mulai menulis novelnya sendiri. Dengan ini dia memberi pernyataan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara kedua novel tersebut. Kalaupun ada, itu hanyalah sebuah kebetulan.
Belum ada tanggapan.