“Kami tidak butuh senjata, tapi kami butuh pendidikan.” Itu barangkali yang ada di benak Nelson Mandela ketika mengatakan, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Ungkapan sosok pejuang yang kemudian menjadi Presiden Afrika Selatan ini tentu tidaklah berlebihan. Banyak fakta sejarah menunjukkan efektifitas pendidikan dalam mengubah peta sejarah ketimbang pistol atau meriam. Banyak bukti pendidikan sebagai pelopor perubahan. Tatanan peradaban dunia berubah bukan karena penemuan bubuk mesiu, tapi karena pendidikan berdiri sebagai panglima.
Sulit dipungkiri kalau kondisi pendidikan kita sedang sekarat. Tingginya tingkat pengangguran bisa kita jadikan indikator pertama. Melirik data dari Kompas tentang angka statistik tunakarya SMK sekarang ini sungguh mencemaskan. (17/10/2016). Pada Februari 2014, sekitar 7,21% lulusan sekolah kejuruan menganggur. Setahun kemudian, angkanya mencapai 9,05%. Itu artinya 1,2 juta lulusan tidak bekerja. Kemudian, Februari 2016 angkanya meningkat menjadi 9,84%. 1,35 juta siswa membuang waktu percuma tanpa pekerjaan.
Selain itu kerusakan moral pun membahana. Angka kejahatan korupsi terus melonjak. Kejahatan luar biasa yang tiada habisnya menggerogoti moral bangsa. Korupsi itu mencuri. Suatu tindakan mengambil sesuatu bukan haknya. Bahkan, jika dicermati dengan saksama, para pelakunya justru bergelar akademik tinggi. Malahan, ada banyak diantaranya dikenal sebagai orang taat beragama.
Lebih nelangsa lagi, ada indikasi ancaman terbesar dunia pendidikan kita yang dipicu korupsi (Kompas, 17/10/2016). Penyelenggaraan pedagogis dimata para pelaku adalah sebuah proyek. Sebuah kesempatan untuk me-mark up dana.
Fenomena dan fakta di atas adalah sebuah bukti. Indikator bahwa pendidikan gagal dalam usaha transformasi bangsa. Bidang ini dinilai kandas membudidayakan moral sekaligus menekan jumlah tunakarya. Sang pengampu pemberadaban, nyatanya, tiada daya menggagas perubahan.
Bagaimana seharusnya dunia pendidikan menjawab tantangan ini? Tentu saja kita butuh solusi alternatif. Dalam tulisan ini, saya ingin mengajukan pandangan Mahatma Gandhi. Kita akan mencoba melihat relevansi perspektifnya dalam mengurai persoalan di Indonesia. Darinya kita berharap, ada inspirasi yang bisa diteladani dalam konteks dan pergumulan bangsa.
Degradasi Nilai dalam Pendidikan
Sebagai langkah awal, tentu saja kita perlu mendudukkan masalah. Cara kita menilai pendidikan, sepertinya, sedang salah arah. Orientasinya sangatlah dangkal. Terlihat terang, kita gagal melihat cetak biru dunia para pelajar ini. Utamanya, soal arah tujuannya.
Harus diakui, masyarakat lemah dalam pemahaman ini. Tugas edukasi sebagai agen perubahan sosial, dengan berbagai alasan, terabaikan. Jarang terdengar protes nyaring masyarakat terhadap buruknya dunia pendidikan kita. Suaranya terdengar sayu di hadapan sentimen primordial yang dituduh sebagai akar penderitaan bangsa.
Sangkaan masyarakat terhadapnya sangatlah pragmatis. Pandangan yang ada, seolah belajar hanya bertujuan demi gelar semata. Titel yang, kelak, berguna sebagai syarat untuk mendapatkan gaji lewat pekerjaan. Barang tentu, terlihat jelas pergeseran nilai. Semangatnya dikerdilkan demi tujuan egois berjangka pendek.
Kondisi pendidikan kita, kini, sangatlah mengenaskan. Dia seakan tak bertenaga mengatasi masalah konkret masyarakat. Dia serasa berjarak dengan kenyataan sosial. Dia seperti berubah menjadi entitas asing dari realitas.
Pendidikan dalam Pandangan Gandhi
Gandhi pernah menuangkan pandangannya tentang pendidikan. Buah pikir itu tercatat dalam autobiografinya, “Semua Manusia Bersaudara”(1988). Idenya sangatlah sederhana. Namun, sangat relevan dalam konteks pergumulannya saat itu.
Pendidikan ialah membangkitkan sifat-sifat terbaik diri kita sendiri. Inilah asumsi dasarnya. Karakter itu tercermin dalam tubuh, akal, dan jiwa (batin) manusia. Sementara, medium untuk mementaskannya adalah panggung kehidupan. Jadi, bukan di atas kertas lewat angka indeks prestasi. Ketiga unsur itu sama pentingnya. Gandhi memprioritaskan semuanya.
Oleh karenanya, kegiatan mendidik harus berorientasi pada pemberdayaan manusia. Upaya akademis tanpa diiringi penerapan, menurut Gandhi, laksana mengawetkan mayat. Artinya, dia sudah kehilangan fungsi organnya. Predikatnya tak lebih hanya sebagai limbah; hanyalah untuk dibuang.
Faktor ini membuat Gandhi menelurkan sebuah gagasan unik. Dia lebih setuju kalau mengajar seorang anak dimulai dari suatu cabang kerajinan tangan. Hal ini memungkinkan murid memproduksi barang dari mula saat proses belajarnya. Jadi, sejak dini, anak sudah diajarkan konsep swasembada. Nara didik diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri terlebih dahulu.
Kata lainnya, tahapan awal pembimbingan anak bermula dari latihan. Penatarannya berangkat dari unsur yang berkenaan dengan anggota tubuhnya. Dalam hal ini, tangan, kaki, mata, telinga, dan sebagainya.
Namun, Gandhi sangat menekankan pendekatan ilmiah dalam prosesnya. Maksudnya, membiasakan nara didik untuk berpikir ilmiah. Anggapannya, hanya melalui pendekatan ini akal budi dapat berkembang lebih sempurna. Sifat saintifik bertujuan agar anak mengetahui alasan serta tujuan setiap proses pekerjaannya., selain juga meminimalkan sesat pikir. Lewat itu, peserta didik belajar juga tentang alam, kekayaan bumi, juga kandungan nilai moralnya. Harapannya, sifat-sifat terbaik dalam diri siswa bisa tergapai.
Kita bisa memahami konsep pendidikan ala Gandhi jika melihat konteksnya. Ketika itu, India sedang dalam penjajahan Kerajaan Inggris. Sebagaimana bangsa jajahan, kehidupan masyarakat tentu sangatlah berat. Kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari. Kemelaratan menjadi hal biasa. Barang-barang untuk memenuhi kebutuhan hidup sulit didapat. Ini karena monopoli imperialis terhadap pasar sebagai sumber keperluan. Jadi, alih-alih mengemis apalagi menyerah pada kenyataan, dia mengajak rakyatnya untuk mandiri.
Konsep berikutnya, Gandhi beranggapan, kepandaian membaca atau menulis bukanlah tujuan akhir. Bahkan, bukan juga tujuan awal dari pendidikan. Melek aksara hanya merupakan salah satu sarana. Gagasan semu bahwa kecendekiaan dapat dikembangkan dengan semata-mata membaca buku seharusnya diganti.
Seturut itu, proses penyampaian informasi pun perlu berubah. Transfernya, lanjut Gandhi, harus dilakukan via lisan. Sebabnya lebih pada sisi efisiensinya. Beliau meyakini proses penyampaiannya lebih cepat sepuluh kali dibanding membaca dan menulis.
Kemerdekaan manusia memang jadi pusat gravitasi perjuangan Gandhi. Salah satunya dalam hal kultur. Penggunaan bahasa serta kebudayaan sendiri dalam proses ajar-mengajar sangat ditekankannya. Beliau meyakini itu jauh lebih berguna ketimbang memungut dari asing. Meminjam kebudayaan asing, seturut pandangannya, akan mempermiskin kebudayaan sendiri.
Dia menyadari menggunakan budaya sendiri akan membangun karakter bangsanya. Gandhi sangat yakin dengan pendekatannya. Pilihan itu diyakininya mampu memperbaiki moral-intelektual generasi India secara signifikan.
Walau begitu, Gandhi bukan seorang chauvinistis. Dia meyakini kalau selama proses pengasuhan, tiap juru didik harus terbuka pada kebudayaan asing. Tapi tetap ada catatan, India harus mempertahankan orisinalitas budayanya. Beliau sangat menekankan daya saring untuk segala kultur lain. Hal baik bisa diadopsi. Sementara, bagian buruk dieliminasi.
Relevansi Pemikiran Gandhi di Indonesia
Seturut sketsa pandangan Gandhi di atas, ada beberapa hal yang relevan untuk Indonesia. Pertama, ada kesamaan konteks perjuangan dulu dan Indonesia sekarang, yaitu kemiskinan. Keadaan yang terus menjadi masalah global umat manusia hingga kini. Sehingga, jalan keluar untuk permasalahannya sangatlah urgen. Beliau melihat pendidikan sebagai panglima penanggulangannya.
Terlihat jelas bahwa gagasan pendidikan Gandhi berorientasi memecahkan masalah sosialnya. Hal demikian jarang terlihat di Indonesia. Sepertinya, di sini, praktik pendidikan berjarak dari kenyataan.
Kita ambil contoh tentang kerajinan tangan. Dulu, di masa saya sekolah, ada pelajaran ekstra keterampilan tangan. Misalnya, mengukir di papan gabus, membuat keset kaki, atau berbagai perkakas dari tempurung. Namun, masa itu, produk keterampilan itu tidak digunakan untuk kepentingan swasembada. Tapi, hanya sekadar pemenuhan kurikulum. Saya masih ingat jelas, hasil kerajinan itu paling digunakan untuk keperluan kelas semata. Karya itu tidak diubah menjadi bernilai ekonomis.
Pemerintah sebenarnya bisa mengisi kekosongan. Caranya dengan menggalakkan lagi ekstra kurikuler ini. Kemudian mengubahnya menjadi bernilai ekonomis, misal membantu pemasarannya. Tentu kebijakan itu akan menguntungkan banyak pihak, seperti sekolah, siswa, sekaligus masyarakat.
Kemudian, saran Gandhi bahwa pembelajaran harus saintifik membuat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Kita bisa mengajar anak untuk mengenal alam. Pendidik bisa mengajak siswa untuk mencintai Penciptanya. Alhasil, unsur perbaikan moral generasi bangsa disalurkan dengan cara nan kreatif dan menyenangkan. Sehingga, sifat-sifat baik dalam diri manusia bisa tumbuh bersamaan.
Gandhi sangat menekankan pendekatan budaya sendiri dalam pendidikan. Usulannya pas jika menengok situasi terbaru Indonesia kini. Temuan Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing (UNESCO, 2001) sungguh mencengangkan. Dari 640 bahasa daerah di Indonesia, 154 bahasa harus diberi perhatian serius. Sementara, 139 bahasa terancam punah dan 15 lainnya telah tumbas (Kompas, 22/2/2017). Kalau dibiarkan, jangan-jangan semua bahasa lokal kita akan hilang sama sekali.
Mungkin ada usulan Gandhi yang, saya pikir, tidak cocok untuk Indonesia. Contohnya, pandangannya tentang kegiatan baca tulis. Untuk ukuran Indonesia, kegiatan ini masih perlu didorong. Rendahnya budaya literasi kita sebagai alasannya. Kita tergolong masyarakat malas membaca, apalagi menulis.
Swasembada dan pemberdayaan manusia menjadi kata kunci gagasan pendidikan Gandhi. Edukasi di matanya tidak bicara angka ragam prestasi akademik. Namun, dia menilainya dari seberapa jauh tawaran daya gunanya terhadap kemajuan masyarakat. Edukasi bermutu jika mampu membangun manusia secara utuh. Baik itu sebagai mahluk individual maupun sosial.
Pendidikan harus mampu mengubah siswanya jadi agen perubahan sosial masyarakat. Bidang ini tidak boleh puas jika hanya menghasilkan manusia bergelar akademis semata. Semua aspek terkait harus berkolaborasi aktif mewujudkan impian Mandela. Banyak senjata di dunia ini, tapi pendidikanlah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.
Belum ada tanggapan.