Oleh Elvan De Porres*
Konflik pendapat hingga aktus kekerasan atas nama agama menjadi salah satu penyimpangan umat manusia dewasa ini. Pembakaran gereja di Singkil, Aceh, penyegelan masjid Al Misbah milik Jamaah Ahmadiyah di Jatibening, Bekasi oleh kelompok diskriminan, keberadaan kelompok fundamentalis ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dengan ragam aksi terornya memberikan cerminan atas ujaran itu. Pada skala nasional, Amnesty International, melalui situs Human Right Watch, secara khusus menyebutkan kelompok agama minoritas, termasuk Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen di Indonesia menghadapi diskriminasi, intimidasi, dan serangan secara terus-menerus (bdk. http://geotimes.co.id/kekerasan-atas-nama-tuhan/). Kita lihat agama yang in se baik adanya dijadikan payung pemangkas nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika masing-masing orang dengan ideologinya terjerembab dalam konservatisme dan fundamentalisme, agama ataupun aliran kepercayaan lain dianggap tak punya makna. Eksistensi keyakinan tertentu menjadi bentuk pembangkangan atas Tuhan versi kelompok lain. Nama besar (baca: Ilahi) Tuhan dijadikan tameng penyumpal mulut konsepsi dan praksis bagi yang berseberangan. Manusia menjadi ekstrem, radikal, dan tentu saja bobrok secara esensial. Dapat dikatakan, dari beberan contoh di atas, ada pemaksaan metanaratif dengan langgam klaim kebenaran (baca: Tuhan) absolut. Pengagungan agama dan Tuhannya adalah supremasi tertinggi. Sudah barang tentu, orang menghancurkan eksistensi pemeluk agama lain karena dianggap tak sesuai dengan ajaran yang dianutnya. Ini adalah suatu kekalutan global yang menyeret orang sejak dari tataran paling lokal.
Pada galibnya, segala bentuk perbedaan itu kewajaran. Perbedaan adalah realitas terberi. Sehingga idealnya, kondisi seperti ini tercipta agar manusia bisa mengenal satu sama lain sekaligus bisa saling menaruh penghargaan dan hormat. Dengan demikian, gagasan absolutisme (pemutlakan) suatu ideologi atau aliran kepercayaan tertentu patutlah ditolak. Keberagaman beragama mesti mendapat respek. Di sini, ketiga tesis kunci filosof postmodernisme Lyotard soal penolakan metanarasi dapat terkonfrontasikan. Pertama, pengakuan adanya pluralitas narasi. Kedua, dalam pluralitas itu semuanya berada pada kedudukan yang sejajar, dalam arti bahwa tidak ada lagi yang menduduki posisi superior dan berperan sebagai determinan terhadap yang lain. Ketiga, justifikasi dan legitimasi eksistensi narasi-narasi itu bersifat lokal dan imanen (bdk. Willy Gaut, Filsafat Postmodernisme Jean-Francois Lyotard, 2011, hlm. 56). Eksistensi narasi-narasi kecil, dalam hal ini agama-agama dengan ragam pemahamannya juga budaya-budaya lokal, mendapat kemerdekaannya. Konsep mengenai Tuhan dan hidup baik pun menjadi hak bebas bagi setiap agama. Tidak ada tangkup pemaksaan keTuhanan di sini.
Dalam ensikliknya Veritatis Splendor (1993), Paus Yohanes Paulus II menulis bahwa kebebasan beragama adalah sintesis dari hak-hak asasi manusia, sebab setiap orang dijamin haknya untuk hidup dalam kebenaran iman yang diyakininya dan dengannya mewujudkan martabat transendensi dirinya sebagai pribadi (bdk. T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II tentang Keadilan dan Perdamaian, 2011, hlm. 7). Terlihat bahwa kebebasan beragama menjadi salah satu aspek respek akan harkat dan martabat manusia. Integritas moral pun kelak terbentuk baik. Konsekuensi logisnya ialah toleransi antarsesama umat manusia. Sebab, tidak akan punya titik temu kalau orang berdiskusi tentang mana yang paling benar. Yang nanti ada hanyalah sekeping nihilisme, kesia-siaan belaka tanpa makna.
Oleh karena itu, hal yang paling urgen ialah agama-agama sepatutnya berdialog tentang konsep hidup baiknya supaya bisa saling memperkaya. Agama tidak tidur di balik selimut paradigmatisnya, tetapi mau membuka diri terhadap realitas luar. Sehingga konsep keTuhanannya bisa saling bertemu, menyapa satu sama lain, dan tentu dengan penghargaan mahadalam. Ini baru namanya colloquium salutis, suatu dialog keselamatan secara antropologis. Hemat saya, pada dasarnya, Tuhan setiap agama dan keyakinan itu satu dan sama. Ya, satu dan sama dalam menekankan konsep hidup baik itu sendiri; kedamaian, keadilan, cinta kasih, persaudaraan. Ketika ada kedamaian, di situlah Tuhan bersemayam. Tatkala ada cinta kasih dalam hidup kolektif, di situlah Tuhan hadir. Makanya, penolakan segala bentuk keimanan yang berkiblat pada eliminasi pendapat hingga kekerasan-kekerasan adalah perilaku cengeng kasta rendah yang memangkas sisi keimanan itu sendiri. Patut disadari, ketika Tuhan diindoktrinasi dan dikomoditisasi, secara bersamaan keberhargaan manusia turut di-bully.
Harus diakui orang seringkali berpaut erat dengan Tuhan dalam pelbagai konsepsi hingga lupa apa ragam praksisnya. Ada pula yang hanya duduk di atas menara gading imannya, lalu jadi amnesia untuk mengejahwantahkan ke dalam laku. Padahal, Tuhan setiap kepercayaan itu hanya butuh semacam humanisme transendental. Humanisme transendental itu tidak hanya mencondongkan diri pada Yang Transenden, tetapi juga membuka diri pada dunia. Bahkan, dengan keterikatannya pada dunia, manusia justru mampu memahami Tuhan (bdk. Jakob Oetama, Bersyukur dan Menggugat Diri, 2009, hlm. xxiv). Ini berarti, manusialah yang semestinya menghidupi Tuhannya itu. Makanya, sangat disayangkan apabila ada orang yang sok religius sampai tak sadar diri bahwa dia sebenarnya hidup di alam dunia. Orang lantas hidup dalam pesimisme radikal yang merujuk pada patologi sosial, semisal pragmatisme, individualisme, krisis identitas, dan raibnya idealisme (bdk. Otto Gusti, Iman dan Wajah Kemanusiaan, Buku Vox, Seri 59/01/2014, hlm. 22). Di sini, terlihat bahwa manusia terkerangkeng oleh pemahaman dangkal akan iman dan penerapan konkretnya.
Emha Ainun Najib, dalam salah satu esainya pada Republika edisi Maret 2002, sempat mengajukan sebuah pertanyaan kritis, “Kalau tak ada Tuhan, untuk apa memperhatikan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Kalau nilai-nilai itu hanya bikinan manusia, untuk apa kita terikat padanya. Apa hebatnya manusia sehingga patuh kepadanya?” Saya kira pertanyaan ini bukanlah soal sikap pesimistis ataupun rasa kecewa. Ini tentang gugatan/hentakan reflektif atas perilaku beragama manusia. Cak Nun hendak menegaskan perlunya hidup beragama yang baik, meski satu sisi untuk mencapai hidup baik orang memang tidak harus beragama.
Sampai pada titik ini, lantas kita pun bertanya-tanya. Di manakah Tuhan itu? Hemat saya, Tuhan pada gatranya ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Dia hadir dalam wajah-wajah orang miskin papa, kaum tertindas, para korban kekerasan dan perang. Dia tampak dalam diri kaum buruh yang mengusahakan keadilan dan kesejahteraan. Dalam diri para korban pelecehan dan eksploitasi oleh sesama manusia, dalam figur anak-anak jalanan. Singkatnya, Tuhan menampakkan dirinya pada wajah-wajah yang haus kedamaian, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan.
Bukankah Tuhan dalam agama kita mengajarkan demikian? Oleh sebab itu, menemukan dan menghidupkan Tuhan di dalam hati masing-masing adalah ajakan juntrung demi keberlanjutan pelbagai kebajikan hidup itu. Ini karena Tuhan sekali lagi tidak butuh manusia memahami ke-Tuhanannya. Dia lebih butuh kemanusiaan kita. Sebab, kemanusian manusia adalah jalan paling nyata supaya Dia bisa hidup, tinggal, dan bertumbuh kembang. Akhirulkalam, jangan bunuh Tuhan dengan iman yang tak manusiawi.
*Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Belum ada tanggapan.