Kalau dipikir-pikir, ‘Cintailah produk dalam negeri’ adalah sebuah slogan yang mencemaskan. Bagaimana tidak, saya tidak mampu melihat diri saya mencintai hal-hal semacam ini; program televisi penuh gosip, sinetron percintaan gampangan, FTV yang begitu-begitu saja, ikan asin dengan borax, minuman oplosan mematikan. Lebih dari itu semua, saya tidak mampu lebih mencintai novel-novel penulis tanah air daripada novel beberapa penulis luar yang luar biasa. Saya tidak mau membayangkan suatu waktu tiba-tiba demi slogan itu kita menutup diri terhadap karya-karya bagus dari luar. Apakah mungkin saya bisa melupakan Haruki Murakami dan Gabriel Marquez? Apakah mungkin saya akan terbiasa membaca novel cetek yang menampilkan percintaan seorang pemuda tinggi, mancung, berambut lurus, mata cemerlang dengan seorang gadis sederhana nyaris tidak punya apa-apa yang menolak cintanya beberapa kali sebelum ditutup dengan happy ending? Apakah saya bisa lebih memilih menonton film hantu-hantuan ketimbang film-film semisal Guardians of the Galaxy? The Great Gatsby?
Saya membaca banyak novel-novel Lupus, Mira W, Lima Sekawan waktu di SMP. Asyik saat itu. Cerita-cerita cinta Mira W sangat berkesan di ambang dan di masa pubertas, membentuk khayalan-khayalan di kepala. Kemudian ada saatnya saya harus menutup buku-buku cinta untuk certa-certa yang lebih serius, misterius, teka-teki dan yang mengerikan. Waktu terus berlalu dan saya telah mengenal banyak, buku-buku datang dan pergi, sebagian disimpan yang lainnya terbuang; sengaja maupun tidak sengaja. Banyak penulis muda Indonesia saya sudah kenal seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, Andrea Hirata dan Eka Kurniawan. Tulisan mereka bagus, meledak di pasar nasional. Tetapi saya selalu merasa ada yang kurang; belum ada satu pun penulis kita yang bukunya cemerlang di dunia Internasional. Sebagai anak muda yang telanjur kepincut tulisan-tulisan penulis luar, saya selalu ingin mendengar nama salah satu penulis Indonesia dibicarakan di dunia Internasonal, bukunya difilmkan oleh Hollywood dan sebagainya.
Kalau ke toko buku, saya selalu saja merasa tertekan melihat perbedaan yang sangat jelas antara buku (novel) terjemahan dengan novel karya pribumi bahkan dari judulnya saja. Dan yang membosankan adalah membaca judul-judul yang heboh soal percintaan. Aneh ya, penulis remaja dan muda Indonesia selalu saja menulis novel cinta tetapi isinya bukan tentang cinta dalam arti yang sebenarnya, malah menceritakan tentang seorang pemuda menabrak seorang gadis di lorong hingga buku-buku berserakan, lalu pulang ke rumah tidak bisa tidur karena kejadian itu, lalu cerita berlanjut dengan romansa yang dibuat-buat, cemburu yag dangkal.
Saya tidak mengatakan bahwa saya kurang suka pada genre roman. Saya suka, tetapi yang mana dulu. Novel semacam ‘mencintaimu adalah sesuatu,’ hampir sama dengan novel-novel cinta karya Mira W yang saya baca ketika masih SMP, tetapi jika Mira W sedikit banyak berbicara tentang sesuatu, novel semacam ‘mencintaimu adalah sesuatu,’ banyak omong kosongnya.
Saya suka novel percintaan dengan teknik penulisan yang tidak basi, tema yang baru. Atau kalau terpaksa, tema usang yang digarap dengan baik. Untuk apa juga mengulang-ulang membaca kisah jenis Cinderella jika tidak digarap dengan cara baru yang segar, dengan ide yang matang, mungkin sedikit lebih liar.
Saya membaca sebuah surat yang ditulis oleh Rainer Maria Rilke kepada seorang pemuda bernama Franz Kappus yang mengirimnya sejumlah puisi ketika pemuda itu merasa bingung antara memilih menjadi tentara atau menjadi penulis.
Jangan menulis bait-bait puisi cinta; hindarilah bentuk-bentuk tulisan yang generik dan ‘cetek’: karena tulisan macam ini sangat sulit untuk dilakukan dengan sempurna. Dibutuhkan kemampuan yang sangat hebat dan kedewasaan bagi seorang penulis untuk menguasai tulisan seperti itu, karena sudah terlalu banyak yang melakukannya. Oleh sebab itu, hindarilah tema-tema generik dan cari tema yang berasal dari kehidupan sehari-hari Anda: jabarkan kesedihan Anda dan hasrat dalam hidup Anda. Jabarkan pikiran yang melintas di kepala Anda dan apa-apa saja yang menurut Anda indah. Jabarkan semua itu dengan penuh kasih sayang, dengan kesungguhan, dengan ketulusan dan kerendahan hati—dan selalu gunakan hal-hal yang ada di sekeliling Anda untuk berekspresi dalam tulisan. Gunakan imaji-imaji dari mimpi Anda, serta obyek-obyek dari memori Anda…(fiksi lotus)
Ada sebuah nasihat lain yang mengatakan bahwa jika kita tidak sepenuhnya memahami apa itu cinta maka jangan coba-coba menulis mengenai percintaan. Lebih baik melakukan hal-hal yang layak ditulis atau tulislah hal-hal yang layak dibaca!! Dewasa ini kita terjebak pada romantisme yang dangkal, terlalu banyak kebohongan atas nama cinta yang kita tulis, cinta tidak pernah semuluk yang kita tulis dan bayangkan. Orang-orang menjadi tumpul dan mempermainkan cinta yang sebenarnya, mengatakan bahwa ini adalah cinta sejati atau hal-hal cetek lainnya. Orang-orang galau menulis dengan sentimentil tentang kecintaan tetapi tanpa benar-benar memahaminya, menyampaikannya dengan cara murahan yang justru melecehkan. Kisah tentang seorang putri orang kaya jatuh cinta pada sopir keluarganya? Seberapa sering tema ini diangkat ke dalam FTV. Lebih konyol lagi, seorang pemuda jatuh cinta pada seorang gadis, tetapi gadis itu menderita kanker. Pemuda itu selalu menguatkan si gadis yang sedang sekarat bahwa dialah cinta sejatinya, tidak akan ada wanita lain yang akan menggantikannya. Loh? Yang masih hidup saja banyak yang diselingkuhi pada akhirnya, diceraikan, dijadikan istri kedua. Sebegitu gampangkah cinta ditulis dalam sebuah novel?
Kalau kita menengok pada kehidupan sebenarnya, dimana drama kemanusiaan hadir di sana maka cinta adalah sesuatu yang misterius, kadang menyakitkan, mendebarkan, penuh dengan intrik, memakan banyak pengorbanan. Pergilah ke dusun-dusun atau pojok kota dan temui satu atau dua orang yang mendadak kurus kering karena cinta. Seorang janda tanpa cahaya mata yang memikirkan anaknya hampir tiap hari hingga menjadi kurus kering. Seorang petani yang berbaring di atas rerumputan karena kerbaunya sakit digigit ular. Seorang pria terpaksa meninggalkan istrinya dan merantau karena terlalu miskin. Remaja-remaja di kota besar main cinta-cintaan di dalam toilet sekolah sementara remaja-remaja putri di dusun ditipu oleh pemuda kampung kemudian hamil. Bukankah hal-hal inilah yang seharusnya mendapat porsi untuk dibaca?
Saya khawatir para penulis tanah air, tidak akan pernah sanggup terbang tinggi di antara penulis-penulis tenar dari belahan dunia lain jika masih menulis dengan cara yang itu-itu juga. Pada akhirnya, saya pikir bukan hanya saya yang cemas dengan slogan di atas. Beberapa hari lalu, seorang teman yang bekerja sebagai jurnalis menulis di status facebook-nya; Negara ini butuh tim Sepakbola yg bagus…Musisi yg berkualitas…Komedian yg natural…serta Jurnalis yg Independen…Kalau 100 % ada, mungkin anak muda akan berpikir 1000 kali untuk jadi Politisi yg “Gaduh”,,
Ilustrasi: google
hahaa, saya tdk menamparmu…
Artikelmu selalu menampar saya Willy Wonga…..