Ngèlmu iku
Kalakoné kanthi laku
Lekasé lawan kas
Orasi Ilmiah Goenawan Mohamad pada Dies Natalis ke-41, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, 28 Februari 2017
Hari ini adalah hari saya wajib berterima kasih. Penghargaan yang diberikan kepada saya oleh Senat Guru Besar Universitas Negeri Sebelas Maret bukan saja merupakan tanda apresiasi kepada kerja yang saya lakukan bersama banyak rekan di bidang kebudayaan. Penghargaan itu juga pengingat bahwa saya tak bekerja di kamar sendirian di tanahair yang luas ini. Ada orang dan lembaga yang mengikuti, malah memantau, apa yang saya lakukan – dan itu mengharuskan saya bekerja secara lebih baik dan bertanggungjawab.
Pagi ini saya juga berterima kasih karena diberi kehormatan untuk berdiri di mimbar ini. Sebagai seorang yang tak berasal dari dunia ilmiah, sebagai seorang yang secara serabutan bersentuhan dengan lingkungan akademis, baik sebagai orang yang belajar maupun yang mengajar, saya dengan bangga dan gentar menerima kehormatan untuk berbicara di hadapan anda semua.
Pembicaraan saya berangkat dari kerisauan saya dan rasa prihatin banyak orang hari-hari ini, ketika udara politik gaduh riuh oleh berita bohong, informasi palsu, fitnah dan suara kebencian yang tak hentihenti – sebuah situasi yang sebelumnya, dalam sejarah politik kita, tak pernah ada.
Dari mimbar ini saya ingin menyampaikan apa yang saya pikirkan tentang itu, dan apa yang bisa diharapkan dan tak bisa diharapkan dari dunia universitas.
*
Hadirin yang saya hormati.
Sebuah universitas adalah sebuah langkah, atau kadang-kadang disebut sebuah “tonggak”, dalam sebuah perjalanan. Ke mana tujuan perjalanan itu — orang seperti saya dan mungkin banyak orang di luar kampus ini, lupa. Atau malah tidak tahu. Kami tak bertanya dan tak lagi mempertanyakan, apa sebenarnya guna sebuah universitas?
Di dunia ini tak sedikit benda yang dibuat manusia dengan tujuan yang jelas, tapi bersama waktu tujuan itu berubah — baik karena isi dan bentuk benda itu berubah, atau karena masyarakat manusia berubah, atau mereka lupa akan tujuan semula ketika benda itu diciptakan. Dan acapkali kita tak sempat menengoknya lagi, tak sempat memikirkannya lagi.
Saya yakin bahwa civitas academica universitas ini senantiasa ingat apa yang hendak dicapai ketika mereka secara serius mengembangkan lembaga pendidikan tinggi ini. Rektor, dewan kurator, senat guru besar, para dosen, pustakawan, staf administrasi dan lain-lain telah menunjukkan kepada kita pertumbuhannya yang mengesankan. Yang kita semua harapkan, prestasi yang impresif ini akan berlanjut di masa depan. Hadirin yang saya hormati. Masa depan, di zaman ini, datang dengan cepat. Hampir tiap cabang kehidupan digedor bukan hanya oleh perubahan, tapi juga oleh makin cepatnya perubahan — sebuah keadaan yang hampir empat puluh tahun yang lalu sudah diingatkan oleh Alvin Toffler sebagai “future schock”.
Tiap lembaga, juga universitas, didorong untuk menyesuaikan diri dengan situasi di mana hampir tiap hari kita berhadapan dengan penemuan baru — seakan-akan masa depan tak sabar menerobos ke dalam kamar kerja dan jalanan kita sekarang juga. Tentu, pada saat yang sama, sejumlah prinsip, sederet cita-cita, dan sehimpun pengalaman menghendaki agar dunia pendidikan berpegang pada apa yang bisa disebut sebagai “tradisi”. Tapi tradisi ini bukanlah kebiasaan lama yang diulang-ulang, melainkan praktek yang tetap bisa dan layak ditransfer secara kreatif dari masa ke masa.
Kita tahu bahwa di dasawarsa kedua abad ke-21 ini dunia pendidikan sedang menyesuaikan diri dengan derasnya “Gelombang Ketiga” dalam sejarah perubahan sosial-budaya. Produk-produk digital di bidang pengajaran menyerbu. Kuliah yang disampaikan melalui rekaman audio dan video mampu mencapai hadirin yang jauh, melintasi batas geografis. Sejak 2012 makin populer apa yang disebut MOOC (“massive open online courses”) yang didukung universitas-universitas Amerika seperti Standford, Harvard dan MIT. Digitalisasi ini diarahkan untuk bisa menggantikan ruang kuliah, perpustakaan dan laboratorium tempat mahasiswa dan guru bertemu, berinteraksi, dan bereksperimen.
Tak dapat diingkari bahwa teknologi digital telah mempermudah penyebaran pengetahuan. Dalam banyak hal, juga telah membuatnya lebih hemat. Lewat Google tiap saat kita dapat memasuki sebuah perpustakaan yang paling besar dalam sejarah manusia, praktis dari manapun kita berada. Di sana kita dapat mencari karya ilmiah atau hasil penelitian yang dilakukan orang di segala penjuru.
Tak mengherankan bila dorongan ke arah “universitas digital” sangat kuat. Selain tertarik kepada hasil inovasi yang disajikan, ada rasa cemas yang dilecut oleh persaingan.
Yang kadang-kadang diabaikan ialah bahwa itu semua berlangsung bersama dorongan modal dan pemasaran. Para produsen MOOCS dan sejenisnya ingin memperbanyak konsumen dan laba. Seperti kita semua tahu, penemuan teknologi itu barang dagangan dan pengetahuan telah jadi komoditi. Komodifikasi ini bagian yang tak bisa dilepaskan dari dinamika kapitalisme; ia mendorong “keinginan” berubah jadi “kebutuhan”.
Yang juga kadang-kadang diabaikan dalam digitalisasi pengajaran itu adalah ketimpangan. Tingginya ongkos teknologi bukan saja akan membuat jarak, bahkan jurang pemisah, antara universitas yang punya dana besar dan lembaga pendidikan tinggi yang pas-pasan sumbersumber keuangannya. Ketimpangan ini kelak akan menimbulkan masalah sosial-politik tersendiri.
Tapi tak hanya itu. Mahalnya teknologi akan menyebabkan seleksi yang lebih ketat untuk menentukan bidang pengetahuan mana yang harus diberi prioritas dan mana yang diletakkan pada urutan bawah. Bahkan dihapus. Pada gilirannya, keadaan ini akan dapat mempersempit penjelajahan para mahasiswa ke dalam jenis pengetahuan yang berbeda-beda. Sebuah keadaan akan timbul, di mana pengetahuan hanya jadi informasi yang sektoral dan sebab itu dangkal.
Apa boleh buat: kini universitas harus menghadapi zaman “siklus gagasan dan tindakan yang tak putus-putusnya, penemuan dan eksperimen yang tak pernah henti” – sebagaimana digambarkan Penyair T.S. Eliot dalam sajak The Rock. Di masa ini, yang kita dapat adalah “pengetahuan tentang gerak, bukan tentang diam”. Dan Eliot pun bertanya, di manakah kearifan?
Where is the wisdom we have lost in knowledge?
Where is the knowledge we have lost in information?
Hadirin yang saya hormati.
Saya melihat — dan ijinkanlah saya di sini mengemukakan kritik — bahwa mahasiswa dewasa ini, dengan seluruh pengetahuan mereka, tidak disiapkan untuk memperoleh wisdom, kearifan itu.
Penyempitan ternyata membawa pendangkalan pikiran. Yang belajar ilmu eksakta tak cukup mengenal hal-hal dalam kehidupan yang tidak bisa dijawab dengan ilmu pasti — hal-hal yang terutama ditampilkan dalam karya seni, sastra dan ditelaah ilmu psikologi dan filsafat. Yang belajar seni dan sastra tak cukup dilatih dalam penalaran sistematik yang datang dari matematika. Yang belajar humaniora dan ilmu sosial hampir tak pernah dilatih dalam rigor ilmu fisika: pengetahuan yang membutuhkan validasi yang disusun dengan sistem dan metode yang ketat.
Saya bukan penganjur agar tiap mahasiswa dijejali dengan bermacammacam cabang ilmu. Yang saya ingin kemukakan adalah perlunya mereka mengapresiasi pluralitas pengetahuan. Yang saya harapkan ialah satu generasi yang terbuka kepada kemungkinan-kemungkinan lain dalam menjelajah kebenaran. Dengan demikian, bisa diharapkan tumbuhnya sebuah masyarakat muda yang tak gampang menelan dogma, orang-orang yang terbiasa melihat perkara dari beragam tafsir dan sudut pandang. Dogma akan melumpuhkan mereka, menutup tinjauan mereka dan memandegkan pikiran mereka, ketika perubahan terjadi cepat dalam hidup yang dipengaruhi teknologi.
Sikap dogmatis akan tumbuh jika universitas dan lembaga pendidikan lain tak mengajarkan pengetahuan sebagai “pengetahuan-dalam-proses”, pengetahuan sebagai sesuatu yang tak pernah selesai. Hanya memberikan hasil dan kesimpulan akan sama dengan memberikan formula dan diktat. Daya jelajah dan rasa ingin tahu terpasung — apalagi jika diktat itu dikemukakan sebagai sesuatu yang suci, yang tak boleh diperdebatkan, hanya ditelan dengan takzim.
Sekitar satu abad yang lalu Bung Karno mengingatkan bahaya itu: pengajaran “tidak boleh secara dogmatis”, tulis Bung Karno, “tidak boleh secara ‘menelan’ formula seperti orang menelan pil bulat-bulat”.
Bagaimana menangkal itu? Bung Karno menganjurkan perlunya vrijheid van gedachte, kemerdekaan pikiran. Dengan pikiran yang bebas mencari, bebas bertanya, bebas untuk ingin tahu, kehidupan yang kompleks ini akan dijelajahi dan pendapat yang saling bertentangan akan secukupnya disimak.
Dengan demikian, pengetahuan bukan menjadi pengetahuan yang tergesa-gesa, yang sangat mungkin tak akurat. Sebab kita tak mnghendaki sebuah generasi yang untuk memakai kata-kata Yasadipura II, dalam Serat Wicara Keras,
Ngèlmuné durung gathuk
Kurang patitis sēlak kasusu
Tēkaburé aronggah gumēndhung ēdir
Mereka tergesa-gesa dan takabur, karena ada satu hal yang dilupakan di dunia pengetahuan. Dalam tulisan yang saya kutip tadi Bung Karno tak hanya menyebut kemerdekaan berpikir, tapi juga perlunya “toepassingnya vrijheid van gedachte”. Artinya kebebasan itu bukan hanya sekedar prinsip, melainkan sesuatu yang dijalankan, diuji dalam pengalaman, bahkan dalam konfrontasi, dalam praxis — pendeknya dalam laku.
Laku atau praxis mengembalikan dan sekaligus melanjutkan ilmu ke dalam pengalaman kongkrit. Dengan demikian ilmu pengetahuan terlibat dalam hal ihwal yang berubah terus. Dalam praxis, ilmu bergulat dengan dengan unsur-unsur kehidupan yang majemuk dan rumit, yang penuh keaneka-ragaman, yang tidak pernah bisa di-gebyah-uyah.
Ilmu pengetahuan yang senantiasa berkaitan dengan kehidupan yang beranekaragam itulah yang membuatnya sebuah pencarian yang tak kunjung usai. Proses yang panjang itulah yang sebenarnya melahirkan universitas – di mana ilmu dan ilmuwan bertemu dalam lalulintas informasi ilmiah yang melintas batas.
Ini bisa kita lihat dalam dua universitas yang tertua di dunia.
Yang pertama Nalanda, (“sang pemberi pengetahuan’’) yang terletak di daerah India yang sekarang disebut Bihar. Tempat ini sudah jadi pusat ilmu sejak abad ke-5. Perlu ditambahkan, bahwa perguruan Budhis yang termashur ini didirikan dan diayomi oleh Kumaragupta I, dari dinasti Gupta yang Hindu.
Kemudian sekali, di pertengahan hidupnya, ganti para maharaja Budhis yang mendukungn Nalanda, dan kemudian raja-raja Pala meneruskannya.
Dari ini bisa dilihat, bagaimana kehidupan India terbentuk oleh perbedaan-perbedaan yang mendalam, terutama agama, di samping bahasa dan kasta, namun raja-raja yang paling berkuasa pun tak hendak menampiknya. Kekuasaan Gupta bahkan membuatnya sebagai sesuatu yang positif.
Di masanya, di abad ke-5 dan ke-6 itu, Nalanda menampung 10 ribu mahasiswa dan 2000 guru. Kurikulumnya meliputi filsafat, agama, pemikiran ilmu dalam bidang astronomi, matematika dan anatomi. Di sana juga disediakan asrama dengan 300 kamar. Para siswa datang dari pelbagai penjuru, termasuk dari Tiongkok, Persia, dan Nusantara, khususnya dari Sriwijaya.
Perpustakaannya – dan kita tahu bahwa perpustakaan adalah indikator mutu sebuah perguruan tinggi – sangat mengesankan. Dibangun dalam tiga gedung — di antaranya dengan dinding setinggi sembilan tingkat — perpustakaan ini menyimpan beribu-ribu manuskrip dan kitab-kitab; ada ruang khusus, masing-masing untuk para peneliti Hindu dan Budha.
Ukurannya sedemikian rupa hingga sebuah cerita yang terkenal mengatakan bahwa ketika universitas itu terbakar atau dibakar di tahun 1197, baru tiga bulan lamanya api menghabisi perpustakaan itu.
Universitas tertua kedua adalah Madrasah Al Qarawiyyin di kota Fez, Maroko. Institusi pendidikan ini dibangun di tahun 859. Yang mendirikannya seorang perempuan, Fatimah al-Fihri, anak seorang saudagar kaya. Keluarga al-Fihri adalah penganut Syi’ah yang pindah ke kota itu di awal abad ke-9. Fatimah dan adiknya, Mariam, keduanya terpelajar. Mereka mewarisi kekayaan ayah mereka, dan mendermawakannya buat membangun lembaga itu.
Kelebihan Al Qarawiyyin dari Nalanda ialah bahwa sampai hari ini pusat ilmu di kota Fez itu masih berfungsi. Sejak tahun 1963 ia jadi perguruan tinggi di bawah kementerian pendidikan Maroko.
Dimulai di abad ke-9, ke Al Qarawiyyin datang para pencari ilmu dari pelbagai tempat, termasuk Asia Tengah. Prestisenya tinggi karena para pengajarnya adalah penerus warisan keilmuan yang pernah cemerlang di Andalusia di masa Spanyol Islam.
Prestise itu juga ditampakkan dari koleksi perpustakaan dan jaringan ilmuwannya. Di sini terdapat kumpulan besar naskah lama, termasuk teks asli karya Ibnu Khaldun, Al-Ibar. Universitas ini juga mempunyai kaitan dengan sederet ilmuwan dan filosof – baik sebagai alumni ataupun sebagai pengajar – orang-orang yang kemudian terkemuka di dunia Islam maupun di Eropa.
Selain Ibn Khaldun, (1332-1395), sebelumnya ada filosof dan sufi Ibn alArabi (1165-1240). Yang menarik, dalam catatan ada juga nama seorang ilmuwan Katolik dari Prancis yang disebut.Namanya Gerbertus, yang kelak jadi Paus Silvester II (999-1003). Di masa muda, Paus ini memang terpesona akan kemajuan ilmu pengetahuan di Cordoba, mengagumi para ilmuwan Muslim yang aktif di sana. Tak mengherankan bila Paus Silvester terkenal sebagai penyumbang gagasan dan penemuan. Ia antara lain memperkenalkan sistem desimal ke Eropa, dengan menggunakan angka-angka Arab.
Hadirin yang saya hormati.
Apa yang saya coba gambarkan tadi adalah posisi universitas sebagai saluran lalu lintas dan titik pertemuan ilmu dari anekaragam latar belakang. Kita tahu bahwa ilmu pengetahuan berjalan jauh (“carilah sampai ke Negeri Cina”, sabda Nabi), dan memang harus berjalan jauh, menjelajah, berinteraksi, dengan dunia yang paling berbeda, paling asing – kafir maupun bukan kafir.
Dalam karyanya yang termashur, Muqadimah, Ibnu Khaldun mencatat bagaimana ilmu-ilmu berasal hanya dari satu negeri, Yunani – di mana orang dianggap kafir baik oleh agama Kristen maupun Islam. Ilmu pengetahuan itu bisa sampai kepada dunia Islam karena di abad ke-9 Sultan al-Ma’mun di Baghdad menggerakkan penerjemahannya. Hal yang sama diusahakan Khalif al-Hakam II di Cordoba di abad ke-10; ia juga mempunyai proyek terjemahan karya-kaya asing dan membangun 7o perpustakaan besar di seantetro Spanyol. Sang Khalif merangsang kegiatan keilmuan di pelbagai cabang. Cordoba, sebagaimana ditulis seorang sejarawan, menjadi “pasar buku terbesar di Duna Barat di abad ke-10.” Negeri-negeri sekitarnya, yang kemudian membentuk Eropa modern, datang dan memetik buah pikiran yang paling mutakhir di dunia Islam itu.
Zaman itu tampaknya zaman peralihan paradigma: agama tetap dianggap penting tapi bukan satu-satunya sumber informasi dan inspirasi. Orang merasakan kekurangan dan rasa ingin tahu tentang hal-hal lain. Seperti kata Ibnu Khaldun, “Manusia pada hakikatnya tak tahu apa-apa, dan menjadi terpelajar dengan cara mencari dan mendapatkan pengetahuan.”
Untuk itu universitas dicari atau didirikan agar pengetahuan diperoleh. Persoalannya kemudian: apa gerangan yang didapat dari pengetahuan?
*
Hadirin yang saya muliakan.
Hidup di zaman ini, kita umumnya mengatakan bahwa ilmu pengetahuan didapat untuk menyejahterakan hidup manusia – dan ini ditunjukkan oleh sumbangan teknologi di hampir tiap saat dan sudut hari ini. Di pelbagai lapangan, orang menyambutnya sebagai “kemajuan.”
Salah satu suara yang antusias adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam novelnya Bumi Manusia, dengan latar awal abad ke-20, kita temukan tokohnya mengucapkan ini:
Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur sampai malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan. Orang Jerman telah memasang kawat laut dari Inggris sampai India! Dan kawat semacam itu membiak berjuluran ke seluruh permukaan bumi.
Yang sering dilupakan, juga oleh Pramoedya Ananta Toer, teknologi membantu kita tapi ia tak berurusan dengan sisi kehidupan yang lain dalam alam dan manusia.
Seorang pemikir Jerman dari tahun 1920-an, Heidegger, mengatakan bahwa berkat teknologi, “semua jarak mengecil, baik dalam waktu dan maupun ruang”. Tapi apa hasilnya? “Semua jarak yang dengan tergesagesa disisihkan itu [justru] tidak mendatangkan kedekatan”, kata Heidegger: das hastige Beseitigen aller Entfernungen bringt keine Nähe. “Kedekatan”, Nähe, tak dihitung dengan senti dan detik. Kedekatan, dalam hal ini, bisa lebih disebut sebagai “empati”, “keakraban,” atau “kemesraan.”
Paradoks dalam teknologi itu kini sudah umum diketahui. Lihatlah contoh sehari-hari: dalam satu ruang tunggu stasiun, tiga orang yang membawa ponsel masing-masing bisa menghubungi temannya yang jauh. Mereka pun asyik memperhatikan teman yang di layar ponsel, hingga mereka tak punya banyak waktu untuk menyimak dengan orang yang sama-sama hadir di ruang tunggu itu.
Atau contoh lain: ketika kita menebang hutan – kita hendak mengubah lahannya jadi pabrik — kita merancang wilayah itu; dengan helikopter, dalam belasan menit kita pun tiba di sana; tapi di saat itu kita sebenarnya tak lagi “dekat” dengan hutan itu. Ia telah kita reduksi jadi sebuah ruang dan ruang itu hanya sebagai obyek.
Pengetahuan, ketika hanya dibentuk teknologi dan ilmu-ilmu alam, membuat dunia jadi obyek, seperti mayat di meja anatomi, sesuatu yang kita letakkan di laboratorium. Di situ, “”mengetahui” berarti “menguasai”, “mengontrol”.
Di masa lalu, para penggerak modernisasi memujikan kapasitas manusia untuk “mengetahui” yang sebenarnya “menguasai” itu. Di tahun 1930-an misalnya, S. Takdir Alisyahbana menganjurkan: “Bangsa kita harus mengambil sikap hidup baru: menguasa alam, berjuang melawan alam.” Sebab, kata Takdir pula, “Selama pendirian tentang menguasai alam belum menjadi darah daging bangsa kita, selama itu pula ilmu pengetahuan dan teknik itu tak akan hidup subur di negeri kita.”
Ketika Takdir menyerukan itu, di percaturan pikiran di dunia sebenarnya telah terdengar kritik kepada sikap hidup yang dianjurkannya, yang bisa dinamakan “pandangan teknologis” dalam menghadapi kehidupan. Pandangan ini hanya mendasarkan diri kepada apa yang disebut Max Weber sebagai “nalar instrumental.”
Tapi rupanya kritik itu tak didengar, atau ditunda untuk diperhatikan — seperti tak didengarnya suara penggerak kelestarian lingkungan sekarang. Pada umumnya dunia tak bisa mengurangi dominasi “nalar instrumental” yang menghadapi lingkungan sebagai obyek untuk dikalkulasikan dan ditaklukkan.
Tapi yang menarik, kini ada sebuah paradoks. Di satu pihak, dunia modern dibentuk oleh sains yang mendasari “pandangan teknologi”. Di lain pihak, sains dan penemuannya ternyata tak menghasilkan sebuah masyarakat yang terbuka kepada sikap ilmiah.
Contoh yang bisa dibicarakan adalah penemuan ilmiah tentang perubahan iklim. Bertahun-tahun, NAS, Akademi Ilmu Pengetahuan Amerika, menghasilkan laporan tentang terjadinya pemanasan global. Meskipun demikian, perbantahan terus menerus berlangsung tentang hal it; ada pihak yang meyakini terjadinya pemanasan global, ada yang menampiknya. Bukan para ilmuan dan bukti-bukti ilmiahnya yang ditolak. Kepercayaan kepada methode keilmuan masih utuh. Tapi kedua pihak percaya bahwa sains mendukung pandangan mereka masing-masing.
Fenomena ini disebut “cultural cognition.” Universitas Yale sejak beberapa tahun terakhir ini menelitinya melalui Cultural Cognition Project (CCP), guna mengetahui lebih jauh kecenderungan manusia untuk menyesuaikan persepsi mereka tentang fakta dengan kecenderungan sosial tertentu. Dan Kahan, guru besar dan peneliti senior pada CCP menguraikannya lebih jauh sebagai “identity-protective cognition”: pemahaman yang dibentuk oleh kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasikan diri dengan sebuah kelompok. Atau, dengan kata lain, bagaimana pilihan seseorang terhadap data ilmiah yang lazimnya diyakini sebagai “obyektif” itu merupakan “tanda” pengelompokan orang itu kepada salah satu pihak yang identitasnya sama dengan dia.
Hal ini tak memungkinkan “kubu” yang mempercayai adanya pemanasan global atau perubahan iklim bisa meyakinkan “kubu” lawannya – juga sebaliknya. Apa yang lazim disebut “kebenaran”, yang diterima secara universal, tak berlaku. Tidak ada.
Keadaan yang mirip juga berlangsung di antara kita di Indonesia. Dalam pemilihan Presiden 2014 dan dalam pemilihan kepala daerah di Jakarta tahun 2017, informasi yang disebar melalui media sosial maupun dalam khotbah dan pidato, tidak dengan sendirinya disertai fakta – bahkan tidak membutuhkan dukungan fakta. Dalam suasana ketika komunikasi politik memproduksi hoax dan fitnah, tidak dibutuhkan kebenaran.
Atau makna “kebenaran” sudah berubah.
Hadirin yang saya hormati.
Apa sebenarnya “kebenaran”? Pertanyaan yang lazimnya jadi pembahasan para filosof itu sebenarnya melibatkan kehidupan kita sehari-hari. Bukan saja ia menyangkut kelanjutan hidup manusia dalam perubahan iklim, tapi di hari-hari ini, ketika apa yang disebut hoax memenuhi kehidupan sosial-politik kita.
Umumnya dikatakan, kebenaran adalah cocoknya isi pikiran dengan realitas — terjemahan sederhana dari apa yang dikatakan Thomas Aquinas di abad ke-13 dalam bahasa Latin: veritas est adæquatio rei et intellectus.
Tapi dalam keadaan di mana kabar bohong bertaburan, tampaknya pemikiran dan pendapat (intellectus) kita dianggap tak perlu cocok (adæquatio) dengan rei, kenyataan yang diwakili fakta. Produksi berita palsu makin berlipat ganda dalam jumlah dan dalam kecepatan, berkat internet dan media sosial.
Kini sembarang orang bisa menyebarkan informasi, tanpa berada di satu lembaga yang bertanggungjawab. Penyebaran informasi itu berlangsung bersama membludagnya jumlah kontak. Dalam keadaan seperti itu, orang bercakap-cakap tanpa perkenalan yang cukup. Orang bisa menjadi “teman” dengan memakai nama yang belum tentu namanya sendiri, memasang foto yang belum tentu fotonya sendiri. Bahkan orang tak merasa perlu kenal watak orang yang jadi “teman” atau mengetahui latar sosial dan budayanya. Orang-orang itu bukan lagi hidup bersama dalam satu desa. Mana yang dusta dan tipu daya mana yang bisa dipercaya makin sulit ditebak. Lalu lintas informasi begitu padat dan cepat, hingga tak akan banyak waktu dan kehendak untuk verifikasi.
Dalam kebingungan, dalam banjir bandang berita, orang akhirnya mempercayai apa yang ia ingin percayai. Bahkan kebenaran yang dikemukakan pakar yang punya otoritas tetap tak akan diterimanya, selama itu tak cocok dengan keyakinan yang sudah dipilihnya. Orang hanya mau bergaul dengan orang yang sepaham, mengabaikan suara yang berbeda dan bersama mereka, saling memperkukuh pendapat.
*
Di tahun 2004, sebuah buku terbit di Amerika Serikat, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. Penulisnya Ralph Keyes, seorang pengarang pelbagai buku popular. Buku itu baru mendapat perhatian dalam dua tahun terakhir ini; di tahun 2016, kata ”post-truth” dipilih Oxford Dictionary sebagai “word of the year” – menunjukkan betapa bergemanya kata “post-truth” dalam percakapan dan tulisan. Kata ini, yang sejak 1992 sudah dikenal, baru bergema keras setelah arus digitalisasi informasi mengencang.
“Dalam era pasca-kebenaran”, tulis Keyes, “batas antara ucapan yang benar dan dusta, antara kejujuran dan keculasan, fiksi dan non-fiksi, jadi kabur”. Dalam era ini, kata Keyes pula dalam sebuah wawancara, “kita berbohong dan tak merasa malu atas tindakan kita” — dan “kita berdusta tanpa benar-benar punya alasan untuk berdusta”.
Tentu saja ada yang merisaukan dalam keadaan semacam itu. Apalagi dalam “era pasca-kebenaran” orang tak peduli jika apa yang dikatakannya pada suatu saat akan diverifikasi. Kata Keyes, “Kita hidup di sebuah lingkungan yang tak menyediakan cukup penangkal kecenderungan kita mengelabui orang lain.”
Ketika saling mengelabui jadi pola umum percakapan, masyarakat akan mengalami kesulitan yang mendasar. Tak akan ada lagi apa yang disebut “modal sosial”, yakni fondasi yang dibentuk oleh rasa saling percaya untuk merajut jaringan sebuah paguyuban. Saling curiga akan menggerogoti masyarakat dan menghabisinya sebagai energi yang hidup.
Mencegah rusaknya “modal sosial”, masyarakat memang bisa punya mekanisme penyelamatan dalam pelbagai bentuk. Misalnya, ketika tak ada lagi kebenaran yang memiliki kekuatan sendiri untuk bisa diterima siapa saja, orang pun berpegang pada satu ajaran yang melindunginya dari kebingungan. Yang tak disadari ialah bahwa sikap terhadap ajaran yang seperti itu itu akan menutup pintu pikirannya. Bukan hal yang ganjil jika di masa “pasca-kebenaran” ini fanatisme justru menyebar dan menjadi-jadi.
Ada gagasan bahwa dalam keadaan sekalut itu universitas menjadi semacam clearing house. Seraya menegaskan kembali bahwa kebenaran masih dibutuhkan, universitas diharapkan bisa menjernihkan kasuskasus yang diperdebatkan. Asumsi umum ialah bahwa di universitas kondisi “pasca-kebenaran” tak berlaku, dan bahwa kebenaran ditemukan melalui proses yang bisa dipertanggungjawabkan. Asas pragmatis di sini dipakai: sebuah kesimpulan atau pendapat dianggap membawa kebenaran jika pada akhirnya disetujui oleh semua mereka yang menyelidiki, meneliti dan menelaah.
Tapi jika kita bertanya, mengapa hasil kesimpulan dari dunia akademi, dari kalangan ilmuwan, dianggap bisa dipercaya? Jawabnya adalah sebuah tautologi: ia dipercaya karena sejak mula memang diasumsikan bisa dipercaya.
Hadirin yang saya hormati.
Di ruangan yang dihadiri para ilmuwan ini, izinkanlah saya menyatakan keraguan terhadap asumsi di atas. Dalam arena ilmu, juga di laboratoria maupun di lapangan riset, banyak sekali hal yang bisa menyesatkan. Sengaja atau tidak. Bukan hanya karena lemahnya ketrampilan, cerobohnya methode, kurangnya supervisi, tak memadainya ruang penelitian, tetapi juga karena struktur kekuasaan yang distortif dalam dunia ilmu, termasuk di universitas-universitas.
Struktur ini menentukan dana, prioritas dan penggunaan hasil riset. Bukan rahasia lagi bahwa dana riset sering diarahkan untuk kepentingan yang punya kuasa, yakni pemberi dana, baik pemerintah maupun swasta. Bukan rahasia lagi bahwa persaingan untuk dapat dukungan riset dan untuk dapat promosi akademik, mendorong peneliti berbuat curang untuk menang. Secara global kini ditengarai bahwa plagiarisme bertambah bahkan juga dalam jurnal-jurnal ilmiah. Banyak karya ilmiah dan hasil riset dibatalkan, karena tak ada kejujuran ilmiah dalam penggarapannya. Lebih berbahaya lagi: penipuan data.
Kasus yang terakhir paling mencolok adalah yang dilakukan ilmuwan Korea Selatan, Hwang Woo-suk, guru besar bioteknologi di Universitas Seoul. Dalam jurnal Science yang berwibawa di tahun 2004 dan 2005, Hwang mengumumkan bahwa ia telah berhasil menciptakan stem cell embrionik melalui cloning. Teknik ini akan membantu penyembuhan yang pas bagi tiap pasien penyakit keturunan. Tapi di tahun 2006 diketahui Hwang menyajikan bahan-bahan palsu buat risalahnya.
Kasus kecurangan di bidang ilmu ini terjadi di mana-mana. Ia tercatat di universitas-universitas di AS, Brazil, Belanda, Inggris, Jerman, Jepang, Inggris dan barangkali, meskipun tak menimbulkan heboh, juga di Indonesia.
Rangkaian skandal itu sebenarnya cukup untuk membuat kita bertanyatanya, sejauh mana kita pantas mengharapkan universitas jadi lembaga yang bisa mengatasi kondisi “pasca-kebenaran” hari ini. Ketidakpastian akan integritas ilmiah di kalangan para ilmuwan semestinya mendorong kita untuk meletakkan universitas dalam fungsi yang lebih rendah hati – meskipun gurunya tetap disebut “mahaguru” dan siswanya disebut “mahasiswa” dan nama-nama universitasnya, khususnya di Indonesia, diasosiasikan dengan nama raja dan penguasa.
Kita mungkin belum bebas dari imajinasi kita yang mengandung endapan sejarah, yang membayangkan sebuah universitas seperti padepokan para resi di pucuk gunung, dengan otoritas yang stabil. Sastrawan dan pendidik India, Rabindranath Tagore, masih punya bayangan seperti itu, mungkin karena ia berbicara di tahun 1920-an. Baginya, misi terpenting universitas adalah seperti “nukleus dari sel yang hidup – jadi pusat kecerdasan bangsa.”
Sangat mungkin kita juga belum bebas dari kecenderungan positivisme yang memandang ilmu, terutama sains, yang bertumpu di unversitas, sebagai pemberi jawab terakhir bagi pelbagai persoalan. Positivisme Eropa sangat berpengaruh di dunia selama dua abad hingga akhir 1960- an. Ia masuk ke Indonesia bersama berdirinya pendidikan modern.
Positivisme merayakan supremasi ilmu, terutama sains atau ilmuilmu alam, dalam kehidupan. Ia mengklaim bahwa pengetahuan ilmiah sanggup memberikan petunjuk di tengah kompleksitas halihwal, karena dianggap sepenuhnya obyektif. Positivisme juga dengan demikian menganggap bahwa sains secara hakiki mengandung validitas, dan secara pasti dan akurat mengenali alam dan manusia.
Sebenarnya, perspektif positivisme itu sudah cukup lama terguncang. Generasi saya akan tak lupa pandangan Karl Popper yang di tahun 1963 mengingatkan mustahilnya ilmu-ilmu mencapai kebenaran – apabila kebenaran adalah cocoknya isi pikiran dengan kenyataan, sebagaimana dirumuskan Thomas Aquinas. “Setiap statemen ilmiah,” demikian ucapan Popper yang termashur, “harus tetap bersifat cobacoba selama-lamanya.”
Sebelumnya, di tahun 1927, klaim positivisme cukup diguyahkan ilmuwan yang mempelopori mekanika kwantum, Heisenberg. Dalam “prinsip ketidak-pastian”-nya, dikenal sebagai Heisenbergsches Unbestimmtheitsprinzip, atau the uncertainty principle, ilmuwan dari Jerman ini menunjukkan keterbatasan yang mendasar untuk bisa secara pasti mengetahui sifat-sifat satu partikel. Ada yang dalam ilmu fisika disebut sebagai “efek sang pengamat”, observer effect: mengukur sistem tertentu, akan mempunyai dampak pada sistem itu. Dikatakan secara sederhana, seraya kita mengamati, pengamatan kita mengubah apa yang kita telaah. “Kita harus ingat,” kata Heisenberg, “bahwa yang kita amati bukanlah alam itu sendiri, melainkan alam yang terungkap menurut methode kita bertanya.”
Sayangnya – jika saya tak salah menilai — dunia akademi dan masyarakat kita belum secara intensif meninjau kembali premis positivisme yang digugat kedua ilmuwan itu. Padahal implikasinya cukup radikal: apa yang diutarakan Popper dan Heisenberger mengingatkan kita bahwa “kebenaran” yang didapat di dalam dan di luar dunia akademi pada akhirnya harus dilihat sebagai tafsir.
“Kebenaran” itu, juga dalam ilmu, bukan tanda terjangkaunya kenyataan itu sendiri, apa yang dikatakan Kant sebagai das Ding an sich. Sehubungan dengan itu pula, kita tak bisa mengandalkan thesis atau kesimpulan ilmiah niscaya bersifat universal.
Itu tak berarti usaha menemukan kebenaran dalam kekacauan “pascakebenaran” kini sia-sia – dan tak akan dilakukan lagi dan lagi. Itu tak berarti universitas bisa meninggalkan tradisinya: menjadi tempat kita merawat ilmu-ilmu.
Yang kita butuhkan kini adalah apa yang hendak saya namakan sebagai “ethika kedaifan”. Maksud saya, pengakuan bahwa dalam usaha mencari, mendapatkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan itu, kita melihat diri kita daif. Untuk memakai kata-kata Serat Wedhatama yang terkenal: “bungah ingaran cubluk,” justru kita berbahagia dianggap tak tahu apa-apa.
Dalam “ethika kedaifan”, manusia dan intellectus-nya, tidak menempatkan diri di pusat. Ada pengakuan bahwa kita, manusia, bukan wujud rasionalitas penuh, dengan nalar yang transparan dan perkasa, yang menghasilkan buah pikiran yang obyektif dan berlaku kapan saja di mana saja. Dengan demikian kita bertolak dari apa yang oleh seorang filosof Italia, Gianni Vattimo, disebut sebagai “nalar yang lemah”, il pensiero debole, nalar yang tidak angkuh.
Dalam posisi itu, yang berlangsung adalah percakapan, bukan adu pikiran semata-mata. Dalam proses itu, tak ada arah yang sudah ditentukan untuk mencapai sesuatu yang pasti atau final. Vattimo menggunakan istilah caritas. Saya kira kita bisa merumuskannya dengan lebih gamblang dan tepat: saling asah, saling asih, saling asuh. Saling mempertajam pendapat, tapi selalu dengan empati, dan dengan semangat merawat percakapan menjadi asyik dan memperkaya jiwa.
Di masa kini, ketika komunikasi belajar dalam jarak jauh jadi intensif dengan internet, ketika informasi ilmu hadir dalam bentuk virtual, saling asah, saling asih, saling asuh itu makin dituntut untuk lebih demikian. Dengan tambahan: guru dan murid menjelajah pengetahuan seraya menyentuh dunia yang konkrit, dalam lokalitas yang spesifik. Bukan konsep-konsep yang abstrak. Bukan lingkungan virtual. Dengan itu, dengan pikiran dan jasmaninya, guru dan murid terbuka kepada perubahan dan kejutan dalam hal-ihwal yang ditelaah. Penulis buku War on Learning: Gaining Ground in the Digital University, Elizabeth Losh, menyebutnya sebagai “the embodied performances of knowledge”.
Dalam pengalaman universitas di Indonesia, praktek itu bukannya tak pernah ada. Baru-baru ini ada tauladan yang baik dari Universitas Gadjah Mada. Dengan universitas itu sebagai tuan rumah awal, sebuah gerakan terbentuk dengan mengikut-sertakan banyak elemen masyarakat untuk memulihkan kondisi sungai setempat. Gerakan Restorasi Sungai ini, dipelopori Dr. Agus Maryono, seorang pakar hidrologi lulusan Institut Teknologi Karlsruhe, Jerman, sekarang telah mempunyai 24 cabang dalam sebuah jaringan di pelbagai kota di Jawa.
Tergerak oleh rusaknya lingkungan sungai, oleh banjir dan pencemaran dan kekeringan, Agus Maryono dan regunya membangun kerja sama dan sikap saling percaya dengan komunitas di sekitar sungai yang akan direstorasi. Disadari bahwa sungai selama ini seakan-akan diperkosa, baik untuk pembangunan kota dan wilayah maupun untuk, misalnya, pembangkit listrik dalam skala besar. Di sini semangat “teknologis” yang menguasai dan mengendalikan alam dilaksanakan dengan hasil yang negatif bagi kelestarian lingkungan. Untuk menyelamatkan kondisi ekologis, restorasi sungai dilakukan tak hanya di satu bagian. Ada restorasi hidrologis, ekologis, morfologis dan juga restorasi “sosial-ekonomi-budaya” masyarakat.
Yang menarik, metode restorasi ini tak bermula dari desain dari kantor insinyur sipil. Tak ada kebenaran dari satu pusat dan dari atas dalam memilih cara. Yang ada adalah percakapan dengan masyarakat, dengan semua partisipan, dan dalam proses itu jalan yang paling pas untuk satu situs dan satu masa ditemukan. Di sini, tak berlaku kondisi “pasca-kebenaran”. Tapi tak ada juga kebenaran dengan “K” (kapital) yang sudah terumuskan dan menentukan jalan.
Usaha ini merupakan contoh, bagaimana pengetahuan tak mendahului dan mewujudkan pengalaman, ilmu tak mengarahkan dan memproduksi aksi, teori tak membentuk praxis. Yang kita lihat adalah sebuah proses yang diujarkan Serat Wedhatama di abad ke-18:
Ngèlmu iku
Kalakoné kanthi laku
Lekasé lawan kas
Dengan laku, dengan praxis yang bersungguh-sungguh, ilmu mendapatkan kebenarannya, dan pengalaman mendapatkan kearifannya. Saya kira itulah yang seyoganya dipilih oleh dunia akademis, di tengahtengah kondisi “pasca-kebenaran” hari ini.
Terima kasih.
Jakarta, 28 Februari 2017.
Belum ada tanggapan.