Apakah Ijasah Anda diakui semua institusi? Meski kampus dan jurusan di mana Anda kuliah telah mendapat akreditasi B atau bahkan A, yakinkah ijasah Anda sah? Seperti apakah sistem pendidikan kita?
Sebuah pesan cukup pajang beberapa hari ini menjadi viral di dunia medsos. Pesan bernada menggugat sistem pendidikan kita ini membongkar praktik-praktik tidak sehat sistem akreditasi yang berdampak merugikan siswa. Penulis pesan yang menyebut dirinya Lis Pratiwi, membuka dengan kalimat “Sebuah tulisan untuk mahasiswa, civitas akademika, petinggi lembaga pendidikan, dan para pemilik ijazah” cukup mengagetkan. Panjang lebar ia menceritakan bagaimana ijasahnya ditolak dari sebuah seleksi karena dianggap tidak sah. Nah, ini tulisan panjang keluh kesah korban sistem pendidikan yang WOW itu.
Tanggal 11 Agustus 2016 merupakan salah satu hari bersejarah dalam hidup saya. Di tanggal tersebut, secara resmi saya dinyatakan lulus sebagai sarjana dengan predikat “Pujian” (cum laude) dari salah satu Fakultas Ilmu Komunikasi terbaik se-Indonesia di salah satu universitas negeri favorit. Dengan penuh haru saya mengabarkan orangtua saya lewat telepon, yang dibalas dengan untaian doa untuk kesuksesan saya di masa depan. Tanggal ini pula yang akhirnya tertera di ijazah saya sebagai waktu resmi pengeluarannya.
Tujuh bulan kemudian, tepatnya tanggal 10 Maret 2017, secara resmi pula saya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan gugur dalam tahap Pemeriksaan Administrasi Akhir (Rikmin Akhir) seleksi Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) T.A. 2017. SIPSS adalah program seleksi menjadi anggota Polri bagi sarjana dengan jurusan sesuai yang dibutuhkan.
Untuk mencapai tahap Rikmin Akhir, saya telah lulus berbagai seleksi mulai dari Administrasi Awal, Pemeriksaan Kesehatan I, Psikotes, Pemeriksaan Kesehatan II, hingga Tes Penelusuran Mental Kepribadian (PMK). Ditambah seleksi untuk masuk kepolisian sangat rumit. Dari 258 peserta tingkat Polda Metro Jaya, hanya tersisa 73 orang, 12 di antaranya adalah perempuan. Ditambah besok, tanggal 11 Maret adalah pengumuman Pantukhir tingkat Polda dan saya memiliki kesempatan untuk masuk dengan nilai yang saya dapat dan satu-satunya perempuan dari jurusan saya yang tersisa. Namun, langkah saya terhenti. Bahkan menjadi satu-satunya peserta yang gugur dalam tahap ini.
Alasannya, karena berdasarkan tanggal dalam ijazah saya, prodi yang tertera dalam ijazah tersebut dinilai tidak terakreditasi. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa hal ini didasarkan pada tanggal dalam ijazah saya. Dalam pendaftaran anggota Polri, salah satu berkas yang harus dikumpulkan adalah ijazah sarjana yang dilengkapi dengan sertifikat akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), dan di sinilah masalah tersebut terjadi.
BAN-PT sebagai satu-satunya lembaga akreditasi yang disahkan negara mengeluarkan sebuah sertifikat untuk mengukur kualitas dan tingkat tata kelola lembaga pendidikan maupun prodi. Selain berisi hasil akreditasi juga tertera masa berlaku akreditasi tersebut yakni selama lima tahun. Untuk memperpanjang masa akreditasi, maka lembaga pendidikan atau prodi harus melakukan pengajuan ke pihak BAN-PT.
Akreditasi ini sangat penting sebagai bentuk pengakuan publik akan lembaga atau prodi tersebut. Awalnya dalam pengumpulan berkas saya melampirkan sertifikat akreditasi yang berlaku saat ini. Tetapi ternyata sertifikat yang berlaku harus disesuaikan dengan tanggal dikeluarkannya ijazah. Itu berarti, saya harus melampirkan sertifikat akreditasi dari BAN-PT yang mencakup tanggal 11 Agustus 2016 di dalamnya.
Sayangnya, sertifikat akreditasi yang dikeluarkan untuk prodi saya berlaku sejak tanggal 21 Juli 2011 – 21 Juli 2016, dan sertifikat yang baru berlaku mulai 24 November 2016 – 24 November 2021. Hal ini berarti tanggal ijazah saya dikeluarkan tidak tertera dalam sertifikat akreditasi manapun karena terjadi jeda akreditasi antara tanggal 22 Juli 2016 – 23 November 2016. Menurut panitia Polda dan pihak BAN-PT, universitas seharusnya tidak boleh menerbitkan ijazah pada masa jeda akreditasi karena akan merugikan mahasiswa. Namun, ijazah sudah dikeluarkan dan tidak mungkin diubah atau dicetak ulang.
Agar dapat tetap mendaftar, panitia meminta saya untuk melampirkan kedua sertifikat akreditasi yang berlaku sebelum dan setelah tanggal kelulusan saya, ditambah salinan surat penyerahan borang dari universitas ke pihak BAN-PT. Borang yang dimaksud adalah formulir dan berkas-berkas kelengkapan yang diberikan universitas atau prodi ke BAN-PT untuk proses mengajukan atau memperpanjang akreditasi.
Saya pun berusaha meminta ke fakultas saya dan diberikan surat keterangan bahwa benar pada tanggal kelulusan saya sedang proses re-akreditasi prodi. Surat tersebut kemudian diteruskan ke BAN-PT dan dibuatkan keterangan lain bahwa BAN-PT pun membenarkan adanya proses tersebut. Ternyata, kedua surat tersebut salah menurut panitia. Surat yang dilampirkan haruslah surat salinan tanda terima asli yang memuat tanggal penyerahan borang tersebut.
Setelah susah payah mendapatkan surat yang diminta langsung dari BAN-PT, saya mendapatkan fakta mengejutkan lain. Dalam surat tersebut, akan diteliti dan disesuaikan pula antara tanggal penyerahan borang dengan peraturan yang berlaku, yakni tidak boleh kurang dari enam bulan sebelum masa akreditasi berakhir. Ternyata, borang untuk perpanjangan akreditasi prodi saya baru diajukan tanggal 7 Juni 2016, hanya sebulan sebelum masa berlaku akreditasi berakhir yakni pada 21 Juli 2016. Dengan kata lain, universitas saya dinilai melanggar aturan.
Dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI Nomor 32 Tahun 2016 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, pasal 47 ayat 2 dan 3 disebutkan:
(2) Pemimpin Perguruan Tinggi wajib mengajukan permohonan akreditasi ulang paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi berakhir.
(3) Dalam hal LAM dan/atau BAN-PT belum menerbitkan akreditasi berdasarkan permohonan akreditasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi sebelumnya tetap berlaku.
Sayangnya, pasal 3 tersebut hanya berlaku jika pasal 2 terpenuhi. Karena prodi saya menyerahkan borang kurang dari 6 bulan sebelum akreditasi berakhir, maka berdasarkan keputusan BAN-PT dan panitia seleksi, prodi yang tertera pada ijazah saya dinyatakan tidak memiliki akreditasi dan saya tidak memenuhi syarat.
Hal ini menimbulkan satu pertanyaan penting bagi saya, “Jika saya gugur karena administrasi saya dinilai tidak lengkap, itu berarti saya bukan hanya gagal tahun ini, tetapi saya tidak akan pernah bisa daftar anggota Polri untuk selamanya?” dan jawaban pihak kepolisian dan BAN-PT adalah “YA”.
Hal ini merupakan syarat wajib mendaftar sebagai polisi. Karena kendati lulus dan telah menjadi anggota syarat tersebut akan kembali dilampirkan untuk administrasi kenaikan pangkat/jabatan. Saya pun mendapat cerita bahwa sebelumnya ada anggota Polri yang mendapatkan kasus seperti saya, yakni ijazahnya terbit saat jeda akreditasi ditambah serah terima borang untuk akreditasi berikutnya dilakukan kurang dari enam bulan. Polisi tersebut akhirnya menempuh jalur hukum dan menuntut kampusnya sendiri.
Yang lebih parah, tidak hanya institusi sekelas Polri yang mengajukan syarat administrasi seperti itu. Institusi lain seperti TNI, PNS, dan BUMN juga benar-benar melihat kesesuaian antara tanggal dikeluarkannya ijazah dengan sertifikat akreditasi yang berlaku. Ditambah jeda akreditasi tersebut berlangsung lebih dari satu periode antara wisuda bulan Agustus dengan wisuda bulan November, yang menurut perhitungan saya kurang lebih seluruh mahasiswa prodi saya yang wisuda pada bulan November 2016 mengalami masalah yang sama, dan jumlahnya mencapai 100 orang. Itu berarti saya dan teman-teman saya tersebut kehilangan kesempatan yang sangat banyak dan mengalami kerugian yang sangat besar.
Bayangkan saja, ijazah sebagai bukti resmi menempuh pendidikan tinggi dinilai tidak memenuhi syarat dan prodinya dianggap tidak terakreditasi oleh institusi tertentu. Padahal saya menempun pendidikan secara resmi seperti mahasiswa lain, namun tidak mendapatkan hak yang setara. Solusi untuk masalah ini pun sangat sulit karena ijazah hanya bisa terbit sekali dan sertifikat akreditasi dari BAN-PT juga sudah dikeluarkan.
Salah satu staff BAN-PT mengatakan bahwa satu-satunya solusi adalah saya harus kuliah lagi sehingga ijazah terakhir yang digunakan adalah ijazah terbaru yang sesuai sertifikat akreditasi yang berlaku. Saya bahkan tidak ingin berkomentar lebih akan solusi ini.
Saya juga sudah berbicara kepada pihak fakultas dan prodi namun masih belum menemukan solusinya. Segera saya akan mengajukan permohonan audiensi dengan pihak universitas agar mendapat penjelasan lebih lengkap. Jujur saja sekarang saya masih bingung bagaimana cara menyikapi kejadian ini. Saya ingin ikhlas, tetapi kerugian saya terlampau besar. Namun saya juga tidak ingin menuntut secara hukum karena saya sangat menghormati almamater saya. Intinya dalam kasus ini, tidak ada pihak yang ingin disalahkan, namun jelas siapa pihak yang dirugikan.
Alasan saya menulis kejadian ini karena saya yakin banyak yang belum paham dan tidak sadar akan hal tersebut, baik tingkat civitas akademika terlebih para mahasiswa. Perlu diperhatikan bahwa fokus akreditasi bukan hanya untuk mendapatkan angka yang tinggi, tetapi juga mematuhi peraturan yang ada agar akreditasi tersebut dapat diterima dan penerapannya adil bagi semua mahasiswa. Hal ini perlu mendapat perhatian dari para petinggi lembaga pendidikan agar di kemudian hari kejadian seperti ini tidak terulang di universitas manapun.
Untuk saat ini saya terima jika saya gugur seleksi SIPSS karena alasan tersebut, meskipun bukan kesalahan saya. Saya ikhlas dan percaya jika Tuhan menyiapkan rencana yang lebih baik untuk saya, sebaik doa-doa yang diucapkan orangtua saya. Saya juga tidak tahu bagaimana cara meminta maaf kepada orangtua saya karena mengecewakan mereka. Sejak saya SMA, Bapak ingin saya menjadi polisi, tetapi lewat jalur sarjana. Dan sekarang setelah lulus kuliah, kesempatan saya menjadi polisi justru dinilai hilang karena kelalaian administrasi kampus.
Kejadian ini lebih dari sekadar saya gagal diterima di sebuah institusi pemerintah, tetapi banyaknya kesempatan besar yang hilang dan usaha saya kuliah selama bertahun-tahun di prodi unggulan nyatanya tidak dapat diakui dalam ijazah. Untuk itu saya masih akan terus mencari solusi terbaik untuk permasalahan tersebut. Sebab hal ini menyangkut beberapa lembaga penting dan suatu sistem yang perlu diperbaiki.
Jadi bagi Anda yang membaca tulisan ini, silahkan cek lagi apakah akreditasi prodi dalam ijazah Anda dapat diakui oleh semua institusi?
Tertanda,
Lis Pratiwi
Baca juga: Menggugat Pendidikan
Belum ada tanggapan.