Bahasa dan Nasib Bangsa

“Demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman inteligensia (multiple-intelligences) manusia…,” ujar J. Gardner (1993). Hal pertama dan yang utama dari keberadaan kata-kata Gardner itu adalah kecerdasan linguistik.  Kecerdasan itu ikut menentukan dari kecerdasan logik-matematik, spasial, musik, kinestik, interpersonal, dan intrapersonal. Jadi, bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa, mereka tidak bisa apa-apa. Itulah, kenapa pelajaran dan pembelajaran tentang bahasa sangat ditekankan oleh para tokoh intelektual di dunia, seperti Julia Kristeva, Roland Barthes, Jean-Paul Sartre, bahkan Mohammad Hatta. Keseluruhan kehidupan ini adalah bahasa.

Dari bahasa, maka kuatnya identitas kebangsaan dapat diketahui. Apabila menilik sejarah, ternyata bangsa Indonesia bisa menjadi berkembang kuat dan tidak dipandang remeh oleh para kolonial juga dikarenakan oleh bahasa. Ini menjadi riwayat bagaimana para pemuda dan mahasiswa zaman dahulu mendirikan sebuah organisasi yang berkarakteristik dengan negerinya sendiri.

Pada tahun 1922, para mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda mendirikan sebuah organisasi yang mereka namakan Indonesische Vereeniging. Dua tahun kemudian, Sutomo mendirikan kelompok studi pertama pemuda-pelajar bumiputera dengan nama Indonesische Studieclub. Namun, agar organisasi itu benar-benar merupakan sebuah organisasi yang harus berbeda dari bahasa kolonial, maka pada akhir tahun 1924,  Indonesische Vereeniging diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (Yudi Latif, 2009: 14).

Dari organisasi tersebut, mereka melakukan kegiatan yang positif. Kegiatan berbahasa, yang meliputi diskusi, menyimak, membaca, dan menulis menjadi kegiatan berbasis literasi. Mereka mendedikasikan diri untuk berbahasa dengan muatan religi-sosialitas, kultural, politik, dan spiritualitas.

Riwayat perubahan sebuah kata dan nama organisasi yang dilakukan kaum pelajar di atas membuktikan riwayat perjuangan bangsa Indonesia. Etos kerja yang keras menjadi laku para intelektual muda. Mentalitas bahasa yang direpresentasikan mereka pun menjadi pondasi yang kokoh bagi bangsa kita.

Di sisi lain, perubahan sosial di sepanjang zaman sangat berpengaruh bagi perkembangan peradaban bangsa Indonesia ini. Inilah yang menjadi perubahan yang drastis di masa sekarang ini.

Barangkali, kita masih mengingat realitas sosial di ranah pendidikan, bahwa bahasa Indonesia justru menjadi momok bagi para peserta didiknya. Itu bisa dilihat dari ujian nasional. Ujian nasional yang menjadi barometer kelulusan mereka, ternyata tersendat oleh mata pelajaran yang satu itu. Berdasarkan data Kemdiknas, beberapa tahun lalu sekitar 1.786 siswa (38,43 %) SMA/MA tidak lulus ujian nasional Bahasa Indonesia. Bahkan, di Bali, para siswa hampir 70%  tak lulus karena pelajaran itu.

Dari representasi kecil tersebut, turut mencerminkan adanya penurunan dalam kecerdasan bahasa, yang menurut Yudi Latif juga dianggap sebuah indikasi penurunan  mentalitas bangsa juga. Namun, apakah ini hanya menjadi ratapan dan nyanyian sunyi yang terus-menerus mengalun pada diri mereka dan diri bangsa ini?

Universitas

Universitas merupakan lokus potensi pembaruan bangsa. Inilah, salah satu wadah yang turut andil dalam memajukan peserta didiknya (mahasiswa). Maka, peran universitas bukan hanya sekadar transfer of positive knowledge saja, tetapi diperlukan eksperimentasi, pencarian imajinatif, dan kreativitas yang sebesar-besarnya.

Maka, kerja yang menyeluruh itu perlu dilakukan seluruh civitas akademik untuk mewujudkan hari depan bangsa yang cerah. Akhirnya, semuanya tidak luput dari akarnya, yakni bahasa.

Tindakan meliputi membaca, menyimak, berbicara, dan terutama menulis menjadi kegiatan yang penting serta perlu diaktifkan oleh mahasiswa secara terus-menerus. Apabila yang terjadi hanyalah keadaan pasif, maka akan mencetak sosok-sosok yang kurang profesional. Kehampaan intelektual pun hanya menjadi bagian mereka. Bisa-bisa keterpurukan bahasa menjadi gelombang maut yang menenggelamkan kita semua. Oleh sebab itu, perlu kewaspadaan dan kerja keras dari kita, khususnya mahasiswa agar menjadikan kehidupan berbahasa dan berbangsa menjadi lebih baik.

Ikhtiar melakukan penyelamatan sekaligus memajukan peradaban bangsa menjadi ikhtiar mahasiswa yang tidak boleh melupakan sejarah. Sejarah kebahasaan pemuda dan mahasiswa Indonesia pada zaman kolonial perlu disematkan dan menjadi bagian dari diri mahasiswa.

Jadi, kemampuan merefleksi bahasa akan menggerakkan kemampuan terhadap evaluasi dan nasionalisasi kepribadian kita. Budaya mahasiswa untuk menjunjung tinggi kebahasaan menjadi modal utama guna meneruskan perjalanan sebuah negeri. Kebangkitan dan keaktifan mahasiswa dalam berliterasi harus menjadi konsekuensi yang terus diasah tanpa henti. Sebab,  hal itulah yang akan mengkristalisasi pada pendirian dan pemikiran mahasiswa. Dengan begitu, kepemilikan basis yang kuat pada mereka pun akan ikut mengantarkan kemajuan peradaban bangsa.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan