wujud-mencintai-buku

Mencintai Buku

“Telah kutemukan agamaku; tak ada yang lebih penting dari buku”. Itu yang dikatakan Sartre ketika ia melakukan pencarian dan memuaskan gairah dan kehausan spiritualnya di perpustakaan kakeknya. Ia justru menemukan kelegaan, kebahagiaan dan keberlimpahan di dalam dan bersama buku-buku. Di dalam keramaian buku-buku, ia merasai bahwa hidup menjadi keasyikan tersendiri. Ada dunia yang menemani, ada kata-kata yang menggoda, ada kalimat-kalimat yang misterius dan ada pencarian tak henti dalam buku-buku. Sartre membuku. Dunia yang ditemukan oleh seorang Sartre. Ia adalah pemikir, penulis, sekaligus pencinta buku. Ia mencintai buku, buku-buku pun ikut mencintainya. Ia meyakini keberkahan keluarganya hadir dari buku-buku. Membaca buku memerlukan iman. Iman disini dimaknai bahwa untuk membaca buku tak bisa tidak, kita mesti memahami kata-perkata, kalimat per kalimat, hingga bagaimana kesatuan makna dalam paragraf demi paragraf. Dari sana tekspun meloncat-loncat sendiri, mengadakan dialog, dan dipertentangkan dalam pikiran dan batin kita. Semenjak itu membaca buku tak sekadar urusan tekstual belaka, ia seperti mengajak kita pada ruang internal dan eksternal. Saat itulah sebenarnya seorang yang membaca buku—meminjam kalimat Sartre— “sedang mencampuradukkan ketakteraturan pengalaman pustaka dengan keacakan peristiwa-peristiwa yang nyata”. Disitu kerja iman terhadap buku berjalan. Iman terhadap buku itu pula yang mengajak manusia meninggalkan catatan-catatan kecil, sebentuk pertanyaan dan dialektika dalam pikirannya. Buku mengundang dan mengajak kita pada pertautan pengetahuan lain, hingga mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan yang tak selesai. Membaca buku adalah pengalaman religiositas. Melalui buku-buku itu pula kita tidak sedang melakukan ritual yang biasa, melainkan kita sedang bercakap-cakap dengan dunia imajinasi, dunia realitas dan dunia yang ada dalam teks. Buku-buku mengundang kita menziarahi sejarah, lokalitas, biografi, hingga emosi-emosi melalui cerpen, puisi maupun novel. Dari buku-buku itu kita sedang mendoá, sedang bertafakur, dan sedang menginsafi diri. Ada kesatuan kerja pikir, batin dan kerja pengalaman yang menyatu melalui proses membaca buku.          

Buku-buku mengandung mistisisme. Mistisisme buku bisa dirasakan melalui bau yang ada dalam buku, tekstur, hingga wangi buku . Misalkan buku yang sudah tercetak puluhan tahun mengundang kita merawat buku itu, mengajak kita bertamasya ke alam lampau melalui pengalaman inderawi yang kita rasakan. Kita memiliki kisah mengenai mistisisme buku dari seorang Presiden Abdurrahman wahid. Ketika matanya sakit, ia memiliki kemampuan membaca buku cepat hanya dalam waktu beberapa menit saja hanya dengan membuka-buka halamannya. Ia  memiliki ingatan yang kuat melalui keterbatasannya itu. Pengalaman ini ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya menenggelamkan diri di dalam perpustakaan Al-Azhar Kairo, Mesir. Sewaktu normal, ia menghabiskan buku-buku yang ada disana. Sejak itu ia menjadi pemikir yang pemikirannya luas dan membumi di negeri kita. Barangkali kita memiliki pertanyaan : Mengapa para pemikir dan para tokoh-tokoh besar di waktu itu memiliki kecintaan mendalam terhadap buku?. Hingga pada bagaimana sikap mereka memperlakukan buku-buku mereka?.

Kita bisa memperoleh jawaban dari riwayat Sartre kecil yang begitu akrab terhadap buku. Buku-buku disuguhkan kakeknya, ia mengamati buku-buku yang beraneka rupa jenisnya. Ia begitu takjub terhadap buku. Ia pun mengatakan buku-bukulah yang menjadi burung dan sarangku, binatang piaraanku, kandang berikut seluruh dunia pedesaanku. Sartre adalah penggila buku, hingga ia mengatakan telah kuawali kehidupanku, pasti seperti aku akan menutupnya: di tengah buku-buku. Begitupun ketika kita mendengar intelektual abad 20 Bertrand Russell. Buku-buku membuat Bertrand Russell mengalami kerusakan pada matanya ketika ia berusia 16 tahun. Ini berakibat pada larangan membaca hingga ia sembuh kembali. Ketekunan dan kegilaan terhadap buku itu pula yang kelak mengantarkannya pada julukan “orang yang paling bijak di inggris” yang turut meletakkan dasar bagi perkembangan khasanah ilmu pengetahuan di dunia (Dirdjosisworo,1983:2).           

Di negeri ini, kita memiliki orang-orang yang mencintai buku. Salah satu diantaranya adalah seorang buruh pelitur, seorang seniman dan penyair yang sederhana. Sajak-sajaknya yang sederhana lahir pula dari kecintaan dan keintimannya membaca buku dan membaca jamannya. Meskipun Goenawan Mohammad menulisnya sebagai catatan kaki. Ia kini telah menjadi buku itu sendiri. Ia adalah  Widji Thukul. Kecintaannya terhadap buku membuatnya menjadi penyair yang cerdas. Bersama dengan teman-temannya ia sering membawakan buku-buku untuk dibaca. Karena cintanya terhadap buku, ia marah ketika melihat Wahyu Susilo adiknya sendiri menaruh buku sebagai tatakan mie ayam. “Jangan sekali-sekali menggunakan buku sebagai tatakan. Itu karya manusia yang harus dihargai”. Ia juga melarang koran digunakan sebagai alas tidur. Bila ilmuwan, tokoh dan seorang Widji Thukul saja mengerti bagaimana cara menghormati dan mencintai buku. Maka celakalah kita yang menyia-nyiakan, tak merawat buku hingga mengabaikan perannya dalam kehidupan kita.

 *) tuan rumah Pondok Filsafat Solo

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan