membongkar-pengultusan-sekolah

Membongkar Pengultusan Sekolah?

Dag Solstad, dalam novel “Aib dan Martabat” (2016) memulai ceritanya tentang seorang guru yang frutasi. Frustasi berhadapan dengan siswanya yang bosan belajar sastra. “Mereka membentuk permusuhan terstruktur, tertuju kepadanya dan segala hal yang diwakiliki,” begitu dia menggambarkan semua muridnya.

Murid yang bosan di kelas mungkin pemandangan yang biasa. Kemungkinan, Anda dan saya pun pernah mengalaminya. Dalam kebosanan itu, jarum jam seolah malas bergerak. Seketika, guru yang mengajar tidak kita kenal. Kita sontak bertanya, “Dia mahluk asing dari mana? Kenapa dia berbicara dengan bahasa yang begitu asing?”

Ya, asing! Kebosanan itu pertanda keterasingan. “Selama ini, berkat membaca Karl Marx,” kata Ivan Illich, “kita sudah terbiasa berkoar tentang keterkucilan para buruh dari pekerjaan mereka dalam masyarakat berkelas-kelas. Kini kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri…” (“Alternatif Persekolahan” dalam “Menggugat Pendidikan”, 2001).

Keterasingan (alienasi) adalah sebuah kata kunci pemikiran Marx. Buruh terasing karena hubungannya yang terlepas dari kerja produksi yang dilakukannya. Misalkan, seorang buruh dengan tangannya sendiri memproduksi kain lenan. Tapi, kain lenan itu sendiri tidak bisa digunakannya. Produk itu bukan miliknya, melainkan milik pemegang modal (kapitalis) tempat dia bekerja.

Begitu juga keterasingan manusia pada belajarnya sendiri. Sesuatu yang dipelajari tidak memiliki signifikansi apa pun dalam realita kehidupanya. Dia terlepas dan (sering) kelihatan tak berguna. Misalkan saja, seorang murid diajarkan bahwa bilangan phi (π) adalah sebuah konstanta dalam matematika yang merupakan perbandingan keliling lingkaran dengan diameternya. Angka desimal yang dihasilkan bilangan phi tidak berulang sampai tiga ribu digit sekali pun di belakangnya. Namun, persoalannya untuk apa pengetahuan ini diterapkan dalam kehidupan siswa? Apakah pengetahuan ini bisa mengatasi kegalauannya karena pacarnya selingkuh dengan yang lain? Apakah pengetahuan ini bisa dipakainya untuk menjawab persoalan hidupnya yang lebih kompleks dan rumit?

Keterasingan inilah yang menciptakan kebosanan. Keterasingan yang menciptakan jarak antara apa yang dibicarakan di kelas dengan kenyataan sosial yang ada.

Dampak paling terasa dari keterasingan ini adalah keterpaksaan. Murid, entah dia suka atau tidak, dipaksa untuk mengikuti pelajaran itu. Mekanisme persentase kehadiran di kelas menjadi semacam “rayuan” supaya murid mau masuk secara sukarela. Rayuan ini semakin menegaskan bahwa belajar tidak lagi sebuah tindakan bebas. Belajar adalah keterpasungan.

Situasi terpasung ini membuat motto J. Sumardianta, “Semua siswa ketagihan belajar” menjadi jauh arang dari api (Habis Galau Terbitlah Move On, 2014). Murid yang bosan dan terpasung tidak lagi kasmaran untuk belajar. Belajar bukan lagi karena mau (apalagi menyenangkan), tapi karena terpaksa. Sekolah membuat murid tertekan.

Kapitalisme Pengetahuan

Fenomena ini berangkat dari pengkultusan sekolah. John Amos Comenius (1592-1670), dalam Magna Didactica, seperti yang dikutip Ivan Illich, memaparkan tentang sekolah sebagai alat untuk mengajar segala hal pada semua orang. Kata “terpelajar” berarti seseorang sudah melewati jenjang sekolah yang hebat dengan mutu terjamin dari sekolah tertentu. Itu mengisyaratkan pesan bahwa individu tak bisa menyiapkan dirinya untuk hidup di masa dewasa dalam masyarakat tanpa melalui sekolah. Sekolah diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan hidup yang lebih baik.

Pengkultusan ini berangkat dari asumsi bahwa pengetahuan merupakan bekal hidup pertama. Sementara keyakinan bertumbuh bahwa pengetahuan itu didapat hanya dari sekolah. Masih terekam dengan jelas nasehat orang tua saya yang mengatakan, “Hanya sekolah yang bisa melepaskan kita dari jerat kemiskinan.” Sekolah dianggap sebagai satu-satunya solusi.

Ini bukan isapan jempol belaka. Kenyataan menunjukkan bahwa hanya mereka yang memperoleh gelar dari sekolah saja yang bisa melamar pekerjaan. Gelar akademik menjadi syarat mutlak untuk menjadi guru, dosen, atau karyawan di bidang yang lain. Gelar akademik menjadi sebuah kriteria yang pasti ada bagi instansi, lembaga, atau perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Tanpa melewati sekolah, kecil kemungkinan seseorang bisa bertahan hidup dewasa ini. Singkatnya, sekolah menjadi pasar tenaga kerja. Kesempatan kerja menjadi ganjaran tersembunyi.

Mungkin kita bisa saja berargumen kalau orang kaya di dunia adalah mereka yang tidak punya gelar akademiki apa pun – bahkan sebagian besar berstatus DO dari universitas. Namun, pertanyaan kritisnya adalah; “Berapa persentase yang muncul bahwa mereka yang DO adalah orang kaya?”

Dalam situasi ini, sekolah dianggap sebagai satu-satunya sarana pendidikan. Pendidikan hanya berharga bila diperoleh lewat sekolah. Sekolah yang menentukan pengetahuan mana yang penting dan perlu untuk kehidupan. Jika sekolah tidak mengajarkan sebuah pengetahuan, itu berati pengetahuan itu tidak penting dan perlu untuk kehidupan. Kurikulum digunakan sebagai legitimasinya.

Akhirnya, sekolah sama seperti para kapitalis sebagai satu-satunya instansi yang memiliki akses pada “alat produksi” pengetahuan. Sekolah menciptakan, apa yang Ivan Illich sebut, sebagai kapitalisme pengetahuan.

Perlukah Menghapus Persekolahan?

Dalam esainya “Ritualisasi Kemajuan”, Ivan Illich sangat negatif memandang sekolah. Dia mengatakan kalau sekolah mirip dengan lembaga keagamaan. Sekolah dituduhnya menjalankan fungsi lipat tiga. Pertama, sekolah sebagai penegak dan penyebar mitos masyarakatnya. Kedua, sekolah mengatur pelembagaan kontradiksi mitos-mitos itu. Ketiga, sekolah menjadi lokasi ritual yang memproduksi dan menyelubungi kesenjangan antara mitos dan kenyataan.

Ivan Illich mencontohkan kisah Ptolemaus (abad ke-2) yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Pengetahuan ini diterima begitu saja, tanpa verifikasi, karena Gereja percaya pada teori itu tanpa syarat.  Demikian jugalah sekolah, kata Illich, jika sekolah mengklaim  sebuah pengetahuan, artinya pengetahuan itu berarti sudah benar dan tak mungkin salah.

Dengan anggapan bahwa persekolahan adalah lembaga yang manipulatif, Illich mengusulkan agar persekolahan dihapuskan saja. Namun, apakah gagasan ini sesuatu yang dapat diterima?

Sejatinya, Illich bukanlah anti-sekolah. Mungkin ingin membongkar pengultusan sekolah. Perlu dipahami bahwa Illich membedakan antara “pendidikan” dan “persekolahan”. Perbedaan mendasar keduanya, menurut Illich, persekolahan sudah ditunggangi oleh kurikulum tersembunyi lengkap dengan agenda yang membela kepentingan kapitalisme. Ini sejalan dengan pemikiran Louis Althusser yang mengatakan bahwa sekolah adalah salah satu aparatur ideologi Negara (Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara, 2015).

Seperti sebelumnya disebutkan, sekolah tak lebih sebagai pasar tenaga kerja, pencipta sekaligus pemelihara mitos, penginisiasi mitos konsumsi tanpa akhir, dsb. Kurikulum tersembunyi inilah yang ingin dihapuskan Illich dari sekolah. Pendeknya, menghapuskan persekolahan adalah menyingkirkan kurikulum tersembunyi dan monopoli pengetahuannya, bukan tugas pendidikannya.

Sebagai alternatifnya, Illich mengajukan gagasan untuk membentuk sistem pendidikan yang bersifat emansipatoris. Pengetahuan dibentuk tanpa koalisi mayoritas, tanpa pembatasan kerahasiaan, tanpa kediktatoran, dan tanpa kapitalisme pengetahuan. Bahkan dalam esainya, dia mengusulkan agar murid-murid berhak memberi suara untuk memilih siapa guru yang akan mengajarnya.

Gagasan Illich sederhana. Dia hanya ingin sekolah lepas dari dominasi apa pun. Sekolah harus melepaskan kepentingan apa pun selain mendidik. “Berpolitik demi pendidikan itu mulia, tetapi politisasi pendidikan demi kekuasaan itu sangat hina,” begitu kata J. Sumardianta (Tanpa Tekanan Tiada Berlian, dalam “Habis Galau Terbitlah Move On”, 2014).

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan