politik-tanpa-akal-sehat-adalah

Politik (Tanpa) Akal Sehat

Di dalam kehidupan bangsa, politik adalah hal yang utama. Bagaimana sebuah bangsa bisa dinilai sebagai bangsa yang maju, bila politik  di  dalam negara itu tak menunjukkan keadaban, dan kesantunan. Karena itulah, politik ibarat nadi, dan denyut jantung dalam arsenal kehidupan bangsa kita. Dalam kehidupan berbangsa, politik dinilai bagus bila elit politik mampu memainkan peranannya sebagai insan politik dengan bijak dan sesuai dengan aturan main. Setiap insan politik (warga) bangsa, tentu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan perpolitikan kita.

Semenjak munculnya partai politik di masa reformasi, ada kebebasan dan kehendak lebih, dan ruang yang lebih luas dalam dunia perpolitikan kita. Tak hanya ruang publik yang terbuka lebih, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan bangsa kita. Partai politik misalnya, dari sisi kuantitas, begitu banyak bermunculan partai politik yang ada  di  negeri ini.  Begitu pula semakin banyaknya lembaga swadaya masyarakat  dan juga organisasi masyarakat yang ikut membentuk ruang perpolitikan kita.

Ada yang berubah setidaknya dalam satu dekade paska reformasi. Ada daya kritisisme yang luar biasa, dan control public terutama melalui media sosial. Dalam hal pemerintahan misalnya, pemerintah tak bisa main-main kepada rakyat. Sebab rakyat sudah begitu sadar akan peranannya dalam perpolitikan. Media, baik  cetak maupun elektronik sudah sedemikian gencar menjadi ruang bagi arus kritisisme publik dan menjadi kacabenggala bagi pemerintahan dan perpolitikan kita.

Efek dan ekses dari keterbukaan yang ada bukan hanya menumbuhkan efek positif, tetapi ada pula efek negatif yang ditimbulkan. Kita melihat  kurangnya, dan semakin minimnya adab politik kita. Kita patut menengok tatkala mantan presiden kita SBY yang dikritik habis-habisan oleh rakyat, baik melalui demonstrasi maupun di media social.  Yang jadi catatan justru kritik yang dilontarkan rakyat melalui media sosial menjadi tak terkontrol,dan lebih mengarah kepada personal, ketimbang kinerja. Inilah yang kemudian muncul pula di masa Jokowi. Orang kemudian lebih mengkritik dan menghina orang, daripada kinerja. Dalam politik, hal ini justru menjadi berbahaya dan menjadi  kontra-produktif dengan  cita-cita politik kita. Kritik tetap penting, tapi adab  politik jauh lebih penting mengingat kita adalah bangsa ketimuran yang memiliki kultur yang beradab.

Bila menengok pada demokrasi kita saat ini, masih banyak hal yang perlu dibenahi. Sebagaimana sindiran Mohammad Sobary di bukunya  Demokrasi Ala Tukang Copet (2015) ia menuliskan :  “Demokrasinya tukang copet. Dan mereka bukan sembarang tukang copet. Ini copet besar-besaran, sampai rakyat yang dicopet menjadi miskin, dan akan miskin secara abadi. Tapi, copetnya kaya raya.”“Sudah sejak Orde Baru, mereka terlatih untuk tidak menggunakan rasa malu sebagai ukuran dalam hidup. Rasa malu mereka sudah dimatikan sejak saat itu”(h.11).

Inilah yang terjadi dalam demokrasi kita dalam satu dekade ini, tidak hanya orde baru  yang menjadi rezim pencopet, tetapi juga para cukong, serta politikus yang mengumbar hasrat berkuasa untuk memperkaya diri. Mereka ini ibarat perampok  yang menghisap kekayaan alam negeri kita. Sehingga aturan dan regulasi dalam kehidupan bernegara kita lebih condong kepada para pemodal dan penguasa. Demokrasi yang seperti ini membawa demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi akhirnya dibajak oleh para politikus yang  meminjam  kata Syafii Maarif belum lulus menjadi “negarawan”.

Simptom Agama

Di era demokrasi yang serba liberal seperti sekarang ini, agama juga menjadi faktor yang kuat untuk dipolitisasi. Dengan latar belakang sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbesar, Indonesia rentan dengan konflik-konflik  dan isu berbau agama. Seringkali agama dijadikan alat untuk mempolitisir, menjatuhkan, serta memenangkan politik.

Ada kecenderungan agama dijadikan sebagai “lipstick” semata. Akhirnya, meskipun mereka para pejabat, sampai para politikus disumpah di bawah kitab agama,mereka melupakan bahwa agama ada di atas segala-galanya. Agama adalah payung, agama adalah penuntun mereka.

Itu pula yang terjadi di masa demokrasi sekarang ini. Betapa  mirisnya kita tatkala melihat phobia yang berlebihan terhadap agama. Sebagaimana yang terjadi pada Ahok yang dalam hal ini sebagai  pejabat publik yang mengungkapkan ketakutannya ketika membayangkan pilkada yang belum  berlangsung.

Yang lebih lucu, saat melihat artikel-artikel, komentar sampai dengan tanggapan terhadap pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai melecehkan umat Islam. Tak banyak yang melontarkan kritikan pada Ahok mengenai ketakutannya melihat ulama atau para pengkhotbah  melontarkan sindiran terhadap tafsir Al-Maidah 51.

Hal ini menunjukkan bahwa agama bisa menjadi begitu sensitive, rentan, dan amat mudah dijadikan alat politik, alat untuk meraih kekuasaan. Itulah mengapa demokrasi,atau politik kita menjadi teramat sangat susah naik kelas dari low politics  menjadi high politics.

Meminjam pernyataan Ignas Kleden, kita memang sedang diuji, publik memang sedang diuji rasionalitasnya. Kita memang sedang dihadapkan pada situasi perpolitikan yang nampak  sekali jauh  dari esensi politik  kita.

Kita seperti melupakan bagaimana adab politik diterapkan sesuai dengan dasar negara kita  yakni  “pancasila” dan “UUD 45”. Politik kita hari ini memang masih jauh dari kewarasan.  Publik diuji, bukan hanya dari komentar  dan tanggapan mereka menanggapi situasi politik hari ini. Tetapi juga diuji, bahwa agama meletakkan  politik  sebagai ajaran yang adiluhung untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Bukan seperti yang  terjadi hari  ini, agama justru dimainkan oleh para politikus, intelektual, untuk mencapai kekuasaan semata.

Kita tentu  berharap, dunia perpolitikan kita lekas berubah dan kembali kepada khittoh perpolitikan kita. Yakni mewujudkan cita-cita kemanusiaan kita mewujudkan politik yang sehat yang lebih mengutamakan keadilan, ketenteraman, dan juga kemakmuran.

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Guru  MIM PK Kartasura

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan