iceberg

Rahasia Menulis ala Hemingway dan Kedalaman Cerita

Hemingway dikenal memiliki kebiasaan unik ketika sedang menulis seperti terungkap di The Guardian dan Paris Review. Ia bisa menulis sambil berdiri, kadang sembari bersantai di tempat tidur, atau berjalan mondar-mandir dan bahkan kadang memanjat menara rumah peristirahatannya di pinggiran kota Havana. Tingkah aneh memanjat menara itu dilakukannya jika tokoh dalam cerita menginginkannya berbuat demikian. Ini kemudian menjadi salah satu rahasia menulis ala hemingway: menjiwai karakter tokoh-tokoh dalam ceritanya.

Hemingway juga dikenal sangat disiplin dalam menulis. Papan tulis terpasang di dinding kamarnya, ia merasa perlu untuk setiap saat melihat perkembangan tulisannya, menempel yang sudah dituliskan atau  sekedar mencatat jumlah huruf yang ditulisnya pada hari itu. Rak meja penuh buku, beberapa dibiarkannya bertebaran di tempat tidur. Ada novel, buku sejarah, naskah drama, kumpulan puisi –seperti kumpulan puisinya T.S Eliot, dan buku-buku lain dari berbagai disiplin ilmu. Banyaknya buku yang ditunjukkannya bukan sekedar untuk pamer buku dan memang pada kenyataannya banyak judul karyanya terhubung dengan satu atau beberapa buku tersebut. Penelitian, ini bisa disebut rahasia menulis berikutnya. Ia membaca dan meneliti untuk memperkaya cerita yang ditulisnya, entah untuk penguatan karakter tokoh-tokohnya, situasi alam, lingkungan, psikologis dan lain sebagainya.

Banyak orang kemudian mengenal Hemingway sebagai kampiun menulis, namun ia juga dikenal tidak pandai bicara dengan orang di sekitarnya, terutama jika menyangkut masalah tulis menulis. (Aneh ya?) Beberapa orang menganggapnya tidak cakap menulis, namun sejatinya, terlalu banyak hal di kepalanya yang menyulitkannya menyederhanakan teknik menulis dalam bentuk percakapan. Ia lebih suka menuliskannya, terutama ketika hari masih pagi buta dan semua orang masih lelap. Pada waktu semacam itu juga, biasanya ia menulis cerita-ceritanya.

“Menulislah selagi masih segar. Dan berhentilah ketika kamu tahu titik di mana atau kapan harus berhenti,” jelasnya dalam sebuah wawancara dengan media. “Ketika hendak melanjutkan tulisan, baca ulang apa yang sudah kamu tulis, jika perlu tulis kembali apa yang sudah ditulis.”

Tulis kembali, inilah rahasia menulis berikutnya. Ini bukan berarti menyalin sama persis dengan yang sudah ditulis sebelumnya. Maksudnya, penulis diminta untuk menulis tema, kejadian, atau adegan dalam cerita yang sama namun menggunakan cara yang berbeda. Misalnya dengan mengubah diksinya. Atau mengubah komposisi katanya. Atau sudut pandang. Intinya: tulis ulang dengan cara yang berbeda.

Sebelum membahas prinsip menulis Hemingway lebih jauh, ada baiknya kita menengok teori sastra Werren dan Welek. Sastra dalam arti sempit diartikan sebagai hasil imajinasi penulis yang bisa berbentuk puisi atau prosa. Dalam arti yang lebih sempit lagi, definisi tersebut hanya untuk “sebuah karya besar”. Ada kriteria-kriteria tertentu yang digunakan untuk menilai apakah suatu karya fiksi dapat disebut sebagai karya besar dalam kurung, karya sastra. Kriteria-kriteria tertentu tersebut, misalnya mampu mempengaruhi perilaku dan atau cara berpikir manusia; serta menggunakan keindahan bahasa untuk menghubungkan ide-ide. Dalam aspek keindahan bahasa ini kemudian diturunkan kriteria lain, misalnya style atau gaya penyampaian, diksi dan komposisi. Namun demikian, ukuran-ukuran tersebut bisa saja berbeda antara satu orang dengan yang lain. Meski demikian, dua kriteria besar ,-keindahan dan daya pengaruh, ini yang membedakan buku sastra dengan bukan buku sastra.Teknik-teknik menulis tersebut sebenarnya merupakan bagian dari prinsip dasar menulis yang jarang dibicarakan Hemingway. Di kemudian hari prinsip dasar menulis Hemingway dikenal dengan istilah iceberg principle atau prinsip gunung es yang telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini.  Prinsip menulis yang kemudian tersebar luas seiring dengan peningkatan popularitas karya-karyanya. Para dosen dan pelajar sastra mencoba mengkaji dan menemukan bagaimana penerapan prinsip gunung es itu dalam karya-karya Hemingway. Hal semacam itu tentu sangat lumrah sebab boleh dibilang bahwa pada dasarnya prinsip gunung es Hemingway adalah konsep-konsep menulis Hemingway atau rahasia menulis Hemingway yang telah terpadatkan. Di kemudian hari, pegiat sastra kurang tertarik lagi tentang apa yang ditulis Hemingway, tetapi lebih tertarik pada bagaimana Hemingway menuliskan sebuah cerita, dan mengapa ia menulis dengan caranya itu. Dengan  kata lain, orang berlomba-lomba mempelajari style –gaya menulis, Hemingway. Dan kita juga bisa bertanya, mengapa karya-karya Hemingway bisa digolongkan sebagai sebuah karya sastra besar.

Show, don’t tell vs Tell, don’t Show

Yang disebut style (gaya menulis), adalah ciri khas seorang penulis menyampaikan gagasannya. Menurut Leech & Short gaya menulis menjelaskan bagaimana seseorang menggunakan bahasa sehingga memberi kesan indah pada pembacanya, seperti menggambar dengan tulisan atau kalimat atas suatu persoalan yang ditulis. Dalam kasus-kasus Hemingway,  Ia tidak melulu menggunakan teknik “show; don’t tell”. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa Hemingway lebih menunjukkan kapan menggunakan teknik “show” dan kapan menggunakan “tell”. Hal terpenting yang ingin dicapai adalah bagaimana pembaca dapat merasakan cerita secara utuh (mendapatkan feel cerita) dengan penulisan yang tidak bertele-tele. Dan tentu saja, prinsip gunung es dalam menulis lebih penting dari teknik “show; don’t tell.” Dengan kata lain, teknik “show, don’t tell” dan “tell, don’t show” adalah upaya membangun kejeniusan Hemingway bercerita dengan prinsip gunung es. Ringkas, bernas, indah dan dalam.

Soal kedalaman ini, mau tidak mau kita harus menengok konsep budaya (culture). Salah satu gambaran sederhana konsep budaya adalah sebuah piramida yang disampaikan Gary Weaver dalam bentuk gunung es. Pada puncak gunung es adalah budaya yang tampak di permukaan (surface culture), misalnya bahasa, seni dan sastra, agama, dan pakaian. Pada tataran yang tersembunyi (invisible / deep culture) terdapat misalnya gaya kepemimpinan, konsep kecantikan, hubungan antar entitas –individu dengan individu, atau individu dengan lingkungannya, pendidikan, cara berpikir, motivasi dan hal-hal yang tidak tampak di permukaan. Ilustrasi lengkapnya seperti berikut ini.

rahasia-menulis-hemingway

Ilustrasi diambil dari Beyond the Tip of The Iceberg (Jerome Hanley)

Tampak bahwa bahasa berada pada titik tertinggi. Ini sedikit terhubung dengan ungkapan “Bahasa menunjukkan bangsa”, bukan? Bahasa yang baik, paling tidak memberi gambaran bahwa budayanya baik, meskipun kita tidak tahu tabiat yang tersembunyi. Terhubung dengan konsep budaya tersebut, maka suatu karya sastra yang baik akan mencerminkan budaya-budaya yang ada di bawahnya. Semakin tajam sebuah tulisan, semakin mampu ia menjangkau yang tersembunyi. Dan style punya peran penting dalam mengasah ketajaman tulisan. Cerita semakin dalam jika mampu menjangkau yang disebut deep culture (invisible). Di sinilah kejeniusan Hemingway, dengan cerita yang ringkas, bernas dan indah, ia mampu menjangkau titik-titik terdalam persoalan budaya manusia. Dan wajar jika karya-karyanya kemudian disebut karya besar.

Untuk melengkapi contoh dari uraian di atas, sebenarnya kami ingin menampilkan cerpen Jendela-jendela Aba karya Oddie Frente. Tapi karena kita harus menghormati hak cipta para penulisnya, Anda bisa mengganti ongkos cetak buku tersebut di Lapak RetakanKata. Kami berharap betul Anda sudah membaca Jendela-jendela Aba. Jendela di sana bukan sekedar metafora, semacam -manusia diganti jendela atau yang biasa kita temui di cerpen-cerpen kita; manusia diganti ulat, babi, kembang dan sebagainya. Kedalaman cerpen Jendela-jendela Aba dapat ditemui pada “caranya mengatasi penderitaan/frustasi.” Anda bisa lihat di diagram, itu berada pada titik paling dasar persoalan budaya manusia. (BOS)

Diolah dari berbagai sumber.

, , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan