orwell-penulis-animal-farm

Saat Orwell Menulis

                Orwell menyentak dunia dengan dua karya fiksi penting sampai abad ini. Dua karya itu adalah Animal Farm dan 1984. Dua karya itu dianggap sebagai sebuah pencapaian puncak Orwell dalam menulis fiksi. Fiksi Orwell membentang diantara sejarah, dan suara penulis. Orwell tak bisa lepas dari latar belakang keadaan dan situasi yang menghinggapinya di saat ia menulis. Ia mengakui rasanya susah menulis karya apapun itu tanpa dilandasi suatu motif (dorongan) kuat dari dalam jiwa penulis.

                Pengakuan itu ditulisnya di esai pada kumpulan tulisannya berjudul Bagaimana Si Miskin Mati (2016). Pada esainya berjudul Mengapa Saya Menulis, Orwell memberi pengakuan penting : “Saya tidak bisa dengan yakin berkata bahwa motif-motif saya menulis adalah yang paling kuat, tetapi saya tahu bahwa motif-motif itu pantas untuk dituruti. Dan, menilik kembali karya-karya saya sejauh ini, jelas terlihat bahwa hanya ketika tidak punya tujuan politiklah saya menulis buku-buku tak bernyawa dan terpeleset ke kalimat-kalimat berbunga-bunga tanpa makna, adjektiva tanpa guna, dan omong kosong pada umumnya.”

                Saat Orwell menulis Animal Farm, ia memberikan pengakuan. “Animal Farm adalah buku pertama di mana saya mencoba, dengan kesadaran penuh akan apa yang saya lakukan, menggabungkan tujuan politik dan tujuan artistik menjadi sebuah kesatuan.” Animal Farm sendiri seperti metafor bagaimana hewan-hewan melakukan revolusi. Babi-babi di peternakan melakukan pemberontakan terhadap sistem yang menindas. Gambaran kapitalisme digambarkan dengan terang di buku itu. Meski fiksi, aroma dari suasana politik di masa itu jelas terekam di buku itu. Buku itu sampai kini menjadi rujukan penting bagaimana fiksi bekerja di luar tubuhnya.

                Orwell luwes saat ia menulis fiksi. Di fiksinya, kita merasakan bahasa yang mengalir, dan juga sikap politiknya sebagai penulis. Di kumpulan esainya Bagaimana Si Miskin Mati (2016), Orwell pun kembali menegaskan sikap politiknya sebagai penulis. Pembaca tak merasa bosan saat membaca esainya sampai usai. Ada suara, ada teriakan, ada upaya untuk melawan di tiap tulisannya meski dituturkan secara luwes dan lentur.

                Pada esai berjudul Menembak Seekor Gajah, Orwell mengisahkan bagaimana saat jiwa manusia terdalam dihadapkan pada pilihan pelik. Dikisahkan bahwa saat Orwell tak tega melihat gajah yang sudah mengakibatkan nyawa seseorang meregang. Orang-orang pun tak bisa segera mengambil keputusan karena dilema. Bila orang-orang membunuh gajah, maka si gajah pun mati. Pembunuh gajah pun bisa dijuluki sebagai pembunuh oleh pemilik gajah. Sedang kalau gajah tak ditembak, maka khawatir gajah itu menambah banyak korban. Saat orang-orang berkumpul, Orwell pun dipaksa untuk mengambil keputusan penting antara menembak atau membiarkan gajah. Sebab Orwell terlanjur membawa senapan. Ia pun memberikan pengakuan nuraninya saat tak bisa membohongi orang-orang itu bahwa menembak gajah dilakukan karena ia tak ingin terlihat bodoh. Disini, Orwell pada akhirnya menunjukkan sikap kepada kita, bahwa kejujuran penting dilakukan oleh penulis.

                Dengan menyuarakan kejujuran, penulis tak menggunakan topeng dan terbuka menyatakan sikap nuraninya melalui apa yang ditulisnya. Dalam hal  ini menjadi tak mudah saat pilihan itu benar-benar membingungkan. Di saat pergeseran rezim Soekarno ke rezim Soeharto banyak penulis kemudian mencari aman agar ia bisa selamat. Salah satu kuncinya adalah dengan diam atau bungkam dengan apa yang dilakukan Soeharto. Kebanyakan penulis yang lantang menyuarakan suasana waktu itu, kemudian ditangkap dan diculik. Resiko itu memberi penjelasan gamblang bahwa motif penulis menjadi pokok soal yang penting. Penulis dituntut untuk bersikap dan bersuara.

                Orwell melalui karya fiksi maupun esainya memukul dan memberi kritik telak tentang kemanusiaan. Ada perasan anti kapitalisme yang disuarakan di tulisannya seperti Marrakesh, Hukuman Gantung, Dan Menembak Seekor Gajah. Pada tulisan yang dijadikan judul buku esainya Bagaimana Si Miskin Mati ada kritikan yang ia hantamkan pada perawat yang menganggap manusia layaknya boneka. Mereka tak meminta izin, mereka memegang tubuh pasien langsung bak kelinci percobaan tanpa meminta izin, dan memperhatikan rintih pasien. Fenomena ini ia soroti saat pasien rata-rata dalam keadaan perang. Ia ingin bersuara bahwa “pasien juga manusia”. Deskripsi perawat yang acuh, serta cuek terhadap pasien miskin bahkan sampai ada yang meninggal membuat Orwell marah. Kemarahan itulah yang nampak di tulisan ini. Ada rasa tak terima terhadap penindasan kemanusiaan yang ada di depan matanya. Pembaca diajak untuk ikut serta dalam emosionalitas yang dihadirkan oleh Orwell di tulisannya.

                Orwell selain menulis tulisan yang menghantam sebagai suara politiknya, ia juga menulis dengan satire. Sebut saja saat ia menulis tulisan berjudul Kenangan Di Toko Buku. Ia melukiskan bagaimana para pembeli buku yang cerewet dan sibuk dengan aneka macam pertanyaan walau akhirnya ia tak membeli satupun. Ada pula tipe orang yang datang ke toko buku hanya memesan banyak buku tanpa jadi membeli. “Saya tidak pernah melihat satu pun dari mereka mengambil buku tanpa membayar bagi mereka memesan buku saja sudah cukup—mungkin dengan begitu mereka merasa telah benar-benar membeli sesuatu.”

                Ketika Orwell menulis, ia tak bisa melepaskan tubuh, pikiran dan hatinya dari apa yang ia lihat, apa yang ia rasakan dan apa yang ia alami. Tulisan seperti inilah yang membuat pembaca merasakan emosionalitas dan sentuhan serta apa yang disuarakan penulis. Dan kita tahu, menjadi tak mudah melibatkan jiwa dalam tulisan kita. Saat manusia mampu menyuarakan kepedihan, perih, serta derita liyan, ia mampu menyuarakan nurani, ia membela kemanusiaan.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pendidik di SMK Citra Medika Sukoharjo

Sumber Gambar : bookishelf.com

BACA JUGA:

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan