sastra-yang-tunduk-pada-modal-dan-kekuasaan

Sastra yang Bisu

Sastra di Indonesia boleh dibilang terlampau cuek untuk urusan yang berbau politik. Terus terang, politik sastra kita memang lebih didominasi oleh para pekerja kebudayaan yang terlampau dekat dengan kekuasaan dan modal. Dampaknya, sastra kita lebih terasa tenang, dan jarang membuat goncangan. Relasi sastra dengan politik di kita lebih mirip dengan relasi antara pemodal dan sastrawan.

Sastrawan boleh dibilang mencipta karya bagus di negeri ini, tapi terlampau susah untuk tak bersinggungan dengan urusan modal. Ada kecenderungan sastra di negeri ini menautkan antara modal lebih sebagai sebuah usaha dan cara sastrawannya menyelamatkan diri.

Bila ditilik dari para sastrawan hebat kita seperti Widji Thukul, atau cara kerja sastrawan kiri, modal bukanlah hal yang utama dalam bersastra. Bersastra memerlukan modal iya, tapi modal hanya sebagai salah satu cara agar sastra terus bergelora. Karena itulah, karya mereka yang bagus-bagus itu cenderung mengenaskan, selain sepi dari perhatian kritikus, karya mereka tak ramai dibincangkan karena terlanjur distigmatisasi komunis dan lain sebagainya.

Sastrawan di Indonesia yang berkarya dengan keringat dan darah di Indonesia, rasanya cenderung berumur pendek dalam perbincangan sastra kita. Sepi dan tentu saja tak menarik, di abad yang runyam dan penuh dengan kesemrawutan ini. Yang ramai justru para penulis asing yang mengapresiasi dan membuat kita tercengang saat kita mendengarkan suaranya. Terlampau sedikit kasus di Indonesia mengenai sastra yang bersinggungan dengan kekuasaan.

Widji Thukul misalnya, boleh dibilang menjadi sebuah memori pahit ketika ia bersinggungan dengan politik kekuasaan. Widji menulis dirinya sendiri, yang kebetulan dirasakan oleh banyak orang. Saat itulah, penguasa menjadi tak suka dengan sastra yang ia hembuskan. Puisi-puisinya lebih mirip puisi pamflet yang berisikan coretan dinding  yang mengganggu kuping dan membuat risih penguasa. Nasibnya pun menjadi tak jelas, hilang, diculik, atau dibunuh.

Pram, adalah contoh berikutnya, saat kerja sastranya dianggap sebagai sebuah teror dan bom yang akan meledakkan kekuasan, maka ia pun harus menerima ganjarannya, rumahnya dan koleksi buku-bukunya dibakar, karyanya diberangus dan dicekal.

Kini, teramat susah menemukan karya-karya sastra yang menghantam situasi yang pekat di era yang serba cepat dan instan ini. Buku fiksi mini Triyanto Triwikromo bertajuk Bersepeda Ke Neraka misalnya, meski merupakan karya sastra yang serius dan digarap cukup lama, tak melulu bisa menghantam situasi mutakhir yang serba lekat dengan teknologi dan informasi. Ia pun mau tak mau ikut serta menjadi bagian dari tradisi membaca kita yang suka memotret dan menaruh kutipan bagus di media sosial.

Ada resiko memang, saat sastra melakukan konfrontasi terhadap diri, yang beresiko mengusik kekuasaan. Resiko itu adalah pembungkaman, dan perlawanan tentunya. Kasus terbaru yang mencolok bagi perhatian publik adalah saat seorang sastrawan Indonesia menggugat penulisan sejarah sastra kita dengan hadirnya buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh.

Saut Situmorang melalui media sosial melontarkan makian terhadap dalang  yang dianggap terlibat dalam penulisan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh. Buku itu digugat karena memasukkan nama Denny J.A yang masuk ke dalam tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia. Penolakan buku itu sempat menjadi perbincangan yang hangat dan menuai protes dari sastrawan di Indonesia.

Fatin Hamama, dinilai oleh Saut Situmorang berada dibalik proyek penulisan puisi esai. Fatin juga terlibat menghubungi para penulis-penulis tertentu termasuk Saut Situmorang yang menolaknya mentah-mentah untuk menulis resensi buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh sebagaimana yang pernah dituliskan oleh Katrin Bandel.

Singkat cerita, berkat makian yang dilontarkan di media sosial, Saut pun harus diganjar dengan vonis hukuman percobaan lima bulan penjara. Tatkala kasus itu menyeruak, seperti tak ada komentar, dukungan dan suara dari para sastrawan yang muncul.

Kultur sastra kita memang bukanlah kultur sastra yang mendobrak, membangkang, dan menghantam. Kita lebih dekat pada kultur sastra yang diam, bisu dan tenang.

Karena itulah, amat susah mengharapkan sastra yang menghantam, dan mendobrak sebagaimana yang pernah dialami oleh era-era di masa Pramoedya menulis. Sastra kita pada akhirnya memang belum mampu menembus dinding dan tembok para sastrawannya. Sehingga ia lebih dekat dan terkesan berputar-putar pada hal yang romantik dan melankoli semata.

Kasus penulisan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh adalah gambaran bahwa sastra di Indonesia seolah bisa dibeli dengan modal, dengan kekuasaan. Tetapi di saat perlawanan hadir dan timbul, kita seperti disuguhkan perulangan sejarah, bahwa sastra mesti kalah, atau dibuat takluk dengan kekuasaan dan modal.

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan