soe-hok-gie-tokoh-indonesia

Soe Hok Gie: Tidak Sesedarhana Film Gie Itu Kawan!

Suatu hari, Pembantu Dekan Urusan Akademik memanggil ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Sebagai ketua Senat Mahasiswa, dia diminta oleh Pembantu Dekan untuk membantunya. Tepatnya, FSUI bermaksud melakukan evaluasi tentang pendidikan di lingkungannya.

Saat itu juga, ketua Senat Mahasiwa mulai mendekati teman-teman mahasiswanya secara pribadi. Dia meminta pendapat dari mahasiswa FSUI, baik senior maupun junior terkait permasalahan kuliah mereka. Hasilnya, banyak mahasiswa tidak puas dengan kerja dosen di fakultas mereka. Keluhan mereka bermacam-macam, mulai dari dosen yang hobi bolos, korupsi waktu, hingga kompetensi dosen yang tidak memadai.

Setelah serap aspirasi selesai, ketua Senat Mahasiswa tersebut menggelar konsolidasi besar-besaran dengan seluruh mahasiswa. Dia mengajak seluruh mahasiswa FSUI untuk bersama-sama menuliskan keluhan mereka. Sayang, hasilnya hanya satu orang dari 13 jurusan di FSUI yang berani menuliskan protesnya. Ketua senat tersebut tidak menyerah. Dia memanggil seluruh anggota senat mahasiswa FSUI untuk rapat terbatas. Rapat tersebut menghasilkan keputusan untuk diadakan aksi kecil namun berdampak besar.

Pagi-pagi setelahnya, mahasiswa dan seluruh dosen FSUI mulai melihat poster-poster sebesar jendela. Poster tersebut berisi ejekan yang diterbitkan oleh bagian publikasi Senat Mahasiswa FSUI. Poster itu tidak kasar, namun menyakitkan. Hasilnya, sudah pasti sang Ketua Senat Mahasiswa dipanggil dan dimaki-maki oleh Dekan FSUI. Aksi tersebut bisa dikatakan sebagai upaya berstandar ganda. Terhadap pimpinan fakultas, aksi tersebut bersifat kritikan konstruktif. Terhadap mahasiswa, aksi tersebut bersifat mendidik dan mencerahkan.

Pengalaman tersebut diceritakan dalam sebuah tulisan yang berjudul Kenang-Kenangan Bekas Mahasiswa: Dosen-Dosen Juga Perlu Dikontrol. Tulisan tersebut terdapat dalam buku Zaman Peralihan (1996: 151), sebuah buku bunga rampai dari tulisan sang Ketua Senat FSUI peiode 1967/1968. Ketua senat mahasiswa yang saya maksud bernama: Soe Hok Gie.

Banyak orang yang kurang kenal Gie mungkin akan dibuat kaget dengan mengetahui fakta bahwa Gie pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Tepatnya, setelah Herman Lantang, sahabat Gie, pergi ke Papua untuk melakukan penelitian skripsinya. Herman merupakan mantan Ketua Senat mahasiswa FSUI sebelum Gie. Herman pergi melakukan penelitian dengan surat pengantar dari Gie sebagai Ketua Senat. Fakta-fakta tentang Gie tersebut memang tidak banyak diceritakan dalam film “GIE” garapan sutradara Riri Reza. Film Gie tersebut barangkali yang menjadi referensi utama kebanyakan dari masyarakat kita dalam mengenal Gie. Gie, dalam film tersebut ditampilkan dalam bingkai flat sebagi sosok sederhana dan hanya penulis esai.

Selain itu, gara-gara film tersebut, Gie kini terkenal sebagai sosok yang selalu murung, tertutup dan bersifat soliter. Gie, dalam film tersebut, memang dikesankan sebagai sosok yang antipati terhadap Ormas dan organisasi mahasiswa. Saya sendiri tidak tahu mengapa hal itu terjadi. Mungkin hal itu didasarkan pada pengakuan Gie dalam salah satu artikelnya: “Saya bukan anggota KAMI, saya tidak punya Ormas”.

Sayangnya, jika kita hanya membaca sekilas, kita akan terjebak pada pernyataan tersebut. Kita tidak akan paham pada konteks mengapa Gie mengatakan hal tersebut. Ungkapan Gie pada saat itu merupakan ungkapan kemarahan terhadap Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang mulai kehilangan semangat awalnya. Gie menyadari sepenuhnya, persatuan mahasiswa merupakan modal dasar yang harus ada sebelum mengawali perubahan. Hanya saja, setelah KAMI mulai terserang “penyakit korupsi mental”, Gie mulai mempertanyakan eksistensi aliansi tersebut. Hal tersebut dapat dibaca dalam tulisan Gie yang berjudul Moga-Moga KAMI Tidak Menjadi Neo-PPMI (1967).

Memiliki atau Menjadi Soe Hok Gie?

Gie adalah manusia kompleks. Sama kompleksnya dengan kehidupan modern dan postmodern dewasa ini. Kita tidak bisa menyederhanakan sosok Gie dalam bingkai-bingkai yang monoton, statis dan mudah diprediksi. Gie adalah manusia yang hidup, sulit ditebak, dan penuh kontradiksi. Dengan menyadari hal-hal ini kita akan memiliki sudut yang lebih baik dalam mendalami Gie dan mungkin juga kehidupan masyarakat kita belakangan ini.

Sayangnya, dalam batas-batas tertentu, saya memandang banyak orang justru berusaha memiliki Gie dan bukan menjadi Gie. Erich Fromm dalam bukunya yang berjudul Memiliki dan Menjadi mengatakan bahwa, memiliki dan menjadi/mengada merupakan hal yang berbeda. Fromm menjelaskan bahwa memiliki berarti menguasai, serta memperlakukan segala sesuatu sebagai obyek, termasuk manusia dan pengetahuan. Segala sesuatu dibendakan atau direifikasi.

Berbeda dengan modus mengada. Mengada, ditandai oleh aktivitas yang produktif, mandiri, kritis dan bebas. Dalam hal ini, Gie harus kita pandang secara kritis dan bukan membendakannya. Berusaha “memiliki” Gie dengan cara mengobyektifikasi Gie sebagai manusia yang hidup, jelas hanya akan menghasilkan parsialisme. Ketidakutuhan dalam memandang.

Begitu pula kompleksitas dunia modern bahkan postmodern (jika itu memang ada). Dunia modern dan postmodern merupakan dunia yang relatif dalam segi nilai. Pandangan yang hanya hitam-putih, baik-buruk, dosa-pahala, dan surga-neraka, tidak cocok dengan gairah dan denyut nadi perkembangan dunia akhir-akhir ini. Jika hal ini dilanjutkan, maka yang terjadi adalah ekstrimisme dan kefanatikan. Dunia modern dan postmodern akan dihidupi, dimiliki, dan dimonopoli oleh orang-orang berbahaya yang hanya punya ambisi memiliki dan bukan menjadi. Akhirnya, penyerderhanaan dari kompleksitas tersebut akan menghasilkan tegangan-tegangan dan gesekan-gesekan sosial.

Untuk mengantisipasi hal-hal negatif tersebut, kita sebaiknya berusaha menghidupi jiwa pancasila kita yang berasas bhineka. Kompleksitas, keanekaragaman, dan dinamitas manusia dan kehidupan modern adalah fitrah. Hal tersebut merupakan modal sosial dan bentuk anugerah. Maka, jangan dianggap sebagai musibah. Anggaplah sebagai hadiah dan kekayaan. Seperti kehidupan Gie yang diisi dengan berbagai tawa, canda, duka, dan bahagia. Gie sering bertengkar tapi tetap bisa berteman. Dia sering bermusuhan tapi tetap bisa saling menghormati. Ia sering marah dan dibuat jengkel tapi tetap bisa saling sapa dan senyum. Begitulah. Komplek, paradoks, tapi tetap terasa menyenangkan.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan