beginikah-pendidikan-kita?

Anak dan Obsesi Pendidikan Kita

         Orang-orang di masa lalu mendamba pendidikan dengan angan-angan pengetahuan. Pribumi di masa lalu mengangankan pengetahuan dan juga ingin tahu lebih jauh dunia Eropa dengan segala kemajuan dan peradabannya. Langkah dan keinginan itu kemudian mendapatkan perhatian dan dukungan dari orang-orang di Belanda. Sejak saat itulah lahir politik etis. Semenjak itu kolonialisme menjadikan pendidikan di negeri ini berpola barat. Ada hasrat yang besar bagi pihak kolonialisme untuk mengenalkan, dan membawa cara-cara barat ke negeri ini. Hal ini terlihat tatkala sekolah-sekolah yang ada di masa kolonialisme mengalami pertentangan mengenai bahasa.

Bahasa menjadi perdebatan penting di masa itu, apakah menggunakan bahasa Belanda atau bahasa melayu. Belanda jelas menginginkan bahasa Belanda menjadi bahasa di sekolah-sekolah yang mereka bangun. Melalui bahasa itulah, imajinasi tentang barat kemudian memperoleh tempat di hati orang Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana adalah salah satu tokoh di negeri ini yang ikut memberikan imajinasi dan angan-angan ke barat. Kebudayaan kita mesti mengarah pada kemajuan, barat diharapkan bisa menuntun dan mendidik kita ke arah yang lebih baik. Melalui bahasa itulah, kemudian pendidikan kita dibedakan antara yang modern dan yang tradisional, antara yang lokal dan internasional. Angan-angan mengikuti pendidikan berbau internasional di masa lalu tak seheboh sekarang. Pendidikan dimaknai sebagai ajang untuk khazanah pengetahuan, dan alat untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan.

Tokoh-tokoh di masa lalu jelas bukan seorang yang mengejar karir dan angan-angan menjadi teknokrat. Sebaliknya, mereka justru tak terlalu menggubris urusan kemajuan dan kekayaan. Mereka justru hanya disibukkan untuk mendalami dan memahami keilmuan yang ada melalui pendidikan mereka dan berfikir tentang bagaimana suatu ketika mereka bisa merasakan kemerdekaan. Melalui pendidikan itulah pelan-pelan mata mereka terbuka dan sadar akan posisi mereka sebagai bangsa yang terjajah. Kesadaran akan nasionalisme dan persatuan kemudian muncul melalui buku-buku dan informasi yang mereka peroleh ketika mereka mengalami pendidikan di luar negeri. Tak heran Mohammad Hatta, Syahrir, maupun Ki Hajar Dewantara yang sempat mengalami pendidikan di luar negeri kemudian membagikan apa yang mereka peroleh melalui media dan brosus-brosur kepada kaum pergerakan di Indonesia.

            Melalui pendidikan dan pengetahuan yang mereka dapat, mereka mengartikulasikan dan mengungkapkan gagasan mereka tentang keadaan di negerinya melalui tulisan. Sangat mengejutkan dan tidak pernah di sangka-sangka pihak kolonial  di waktu itu, bahwa seorang Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara) menuliskan kritik yang sangat keras mengenai pesta ulang tahun Belanda di Hindia Belanda pada waktu itu. Pendidikan telah membawa mereka pada tahap kesadaran kritis dan menyadarkan mereka akan nasib bangsanya. Imajinasi tentang kemerdekaan, kedaulatan dan kemajuan di segala bidang dan perubahan nasib bangsa itulah yang kemudian membuat mereka sadar bahwa keilmuan yang mereka peroleh harus berguna bagi bangsanya. Pada akhirnya mereka memilih jalan yang susah, yang penuh dengan cobaan dan kesengsaraan. Pilihan ini jelas menghindar dari pilihan sebenarnya ketika mereka melihat teman-teman mereka menjadi tehnokrat  dan abdi kolonial dengan janji kekayaan dan karir mereka. Potret pendidikan berbau internasional di kala itu jelas berbeda dengan imajinasi pendidikan internasional saat ini.

            Imajinasi dan obsesi pendidikan internasional sekarang lebih merupakan angan-angan untuk menggapai prestise, gengsi, dan orientasi kerja dan harta. Dengan pendidikan berbau “internasional” itulah mereka menginginkan anak-anak mereka lebih cakap, tanggap dan menjadi seorang yang tahu perkembangan dan secara sosial dipandang sebagai seorang yang maju dan modern. Orang-orang kemudian berlomba untuk menjadi lebih “modern” dan maju dengan jalur pendidikan bertaraf internasional. Bila di masa lalu pembedaan yang modern dan tradisional adalah terletak pada perbedaan bahasa, kini, pendidikan internasional pun juga dibedakan dari persoalan bahasa. Tidak hanya itu, konon dengan pendidikan internasional itu, model pembelajarannya lebih menyenangkan ditambah dengan kurikulum dan perangkat pembelajaran yang lebih memadai dan menggunakan teknologi yang canggih. Tak heran, sekolah dengan standar internasional mengutamakan kemampuan bahasa asing yang cukup untuk masuk kesana. Dari sisi muatan kurikulum dan pengenalan kebudayaan, jelas pendidikan internasional tak menekankan tradisi dan kebudayaan lokal. Apa yang mereka pelajari adalah kebudayaan luar dan peradaban asing (Eropa).

            Lalu bagaimana pendidikan bertaraf internasional ini ketika diterapkan pada sekolah tingkat bawah atau bahkan pendidikan pra-sekolah?. Sekolah bocah bertaraf internasional itu sudah marak di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Anak-anak sudah diajari bahasa inggris sebagai bahasa yang akrab dengan keseharian mereka. Pembiasaan bercakap-cakap singkat dan menyebutkan nama-nama benda dengan bahasa inggris diterapkan di sekolahan model seperti ini. Teman saya yang ikut serta mendampingi mereka belajar di rumah jadi heran tatkala anak-anak selalu menanyakan nama-nama setiap benda atau setiap hal yang mereka temui dengan bahasa inggris. Otak mereka seolah terprogram untuk segera menguasai bahasa inggris. Imajinasi bocah jelas tak bisa dilepaskan dari bermain. Pakar filsafat Drijarkara (1969) pernah menuliskan mengenai pentingnya bermain. Menurut Drijarkara permainan adalah penikmatan kebebasan karena dan dalam pembebasan. Artinya dengan permainan, manusia menjadi bebas, manusia menemukan dirinya sebagai manusia. Dengan bermain ia mengalami dirinya sebagai suatu kesatuan, ia menjadi dirinya sendiri. Fuad Hassan mantan menteri pendidikan kita pernah mengatakan bahwa permainan adalah hal yang tak bisa dilepaskan dari dunia anak-anak kita. Di sekolah-sekolah bertaraf internasional, permainan tentu tak asing bagi mereka, tapi di sisi lain dalam bermain itulah mereka dituntut untuk belajar lebih keras lagi menyelesaikan tugas mereka sebagai seorang bocah bertaraf internasional yang harus beda dengan bocah yang sekolah di sekolahan biasa. Hal inilah yang kemudian membuat sekolah bertaraf internasional tak begitu cocok dengan masyarakat kita. Mereka sudah kehilangan dengan hal-hal yang berbau lokalitas, tradisi, lagu daerah dan sebagainya.

            Yang lebih mengejutkan ketika mendengar kasus bahwa di TK bertaraf internasional di Jakarta, anak-anak justru mengalami kekerasan seksual di sekolah mereka. Kejahatan yang menimpa bocah di taman kanak-kanak ini dikelola dan dimanajemen secara berkelompok (Koran Tempo,15/4/14). Mengerikan ketika mendengar kasus kekerasan seksual ini, justru mengenai sekolah bertaraf internasional di tingkat TK. Bocah itu tak hanya kehilangan keceriaan dan keluguannya sebagai seorang bocah, ia pun ikut menanggung sakit yang amat sangat bahkan sampai duburnya membusuk akibat herpes dan terkena infeksi. Kasus itu seolah membuat imajinasi kita tentang sekolah modern menjadi rusak. Sekolah modern yang identik dengan nilai-nilai yang serba global, serba maju, serba menjunjung tinggi profesionalitas menjadi sirna. Di sekolah bertaraf internasional dengan tingkat pengamanan serba ketat pun bobol. Kita jadi heran, di sekolah modern ternyata seorang pedofil bisa lolos dari seleksi manajemen sekolah. Imajinasi sekolah yang identik dengan taman, kebun, dan segala yang menyenangkan jadi hilang. Kita tak tahu nasib anak-anak kita yang lain yang ikut bersekolah di sekolah berkelas internasional di sekolah lain. Obsesi pendidikan yang berbau internasional justru berbuah apes dan nasib tak mujur. Sekolah bertaraf internasional memang membuat imajinasi orangtua kita lebih percaya dan membuat orangtua kita mendamba kemajuan pada anak-anak mereka. Kita memang berobsesi pendidikan kita maju, tapi sekolah modern tak selalu mampu memberi dan mengabulkan harapan-harapan kita. Obsesi pada pendidikan bertaraf internasional itulah yang diam-diam membutakan kita pada makna dan substansi pendidikan yang sebenarnya.

 

*)Penulis adalah Santri BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh di MIM PK kartasura

keterangan gambar : Sekolah international Taman Siswa Jakarta

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan