Bukan permainannya yang membuat saya penasaran, -meski setiap kali mencoba main game ini selalu tidak mampu melewati level tiga. Saya lebih penasaran pada penamaannya; kenapa angry birds? Kenapa tidak lovely birds, funny birds atau smilley birds?
Memang pada awalnya, yang membuat saya mencoba main game ini adalah seperti apa seekor burung yang ngamuk. Saya mencoba me-reka-reka burung terjahat yang mungkin ngamuk dan sulit bagi saya menemukan citraan yang mendekati ngamuknya seekor burung. Paling pol ayam ngamuk, -klabruk sana klabruk sini. Karena kebetulan saya tidak suka adu jago, hal semacam ayam ngamuk itu tidak terlalu menarik saya. Lalu saya mencoba main game itu, sebenarnya lebih tepat didorong ketakutan; jangan-jangan game ini dapat membentuk karakter anak menjadi pemarah. Dan hasilnya, saya selalu gagal melewati level tiga.
Herannya, permainan ini amat populer, tidak saja bagi anak-anak namun juga orang dewasa. Kegiatan melontarkan burung, menghajar batu, es balok, babi dan entah apalagi itu, kadang menemani beberapa orang di bandara atau stasiun yang sedang menunggu. Beberapa lainnya menggunakan game ini untuk membunuh waktu di ruangan kerja. Kadang mereka tersenyum puas ketika lontaran burungnya menghancurkan semuanya, semacam ada kenikmatan yang mengalir tiba-tiba dan meletupkan kegembiraan.
Tentu saja orang boleh berpendapat bahwa kepuasan dari penghancuran itu adalah semata karena memenangkan permainan. Bukankah manusia itu ‘homo ludens‘, mahkluk yang senang bermain? Dan boleh juga kita berspekulasi bahwa ketika orang memainkan game ini, mereka membayangkan bagaimana seekor burung melampiaskan kemarahannya untuk menghajar yang didepannya. Sambil kadang mengeluarkan suara ‘ih! ih! sembari memencet tombol lontar, secara tidak sadar si pemain semacam mendapat penyaluran kemarahan yang barangkali terkubur diam-diam.
Lantas saya berspekulasi, barangkali nama angry birds terinspirasi sebuah upaya menyalurkan kemarahan secara positif. Di tengah-tengah orang yang gampang marah,-saya pernah baca entah di mana yang konon menyebut bangsa ini bangsa pemarah, tampaknya permainan ini menemukan tempatnya. Jadilah ia permainan yang cukup digemari baik sebagai game dewasa maupun anak-anak. Bahkan anda juga bisa main game online.
Sialnya, sepertinya kesuksesan memainkan kemarahan orang ini ditiru mentah-mentah oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab. Kita bisa menyimak banyak berita surat kabar yang provokatif, siaran radio dan televisi yang menonjolkan urat leher dan kadang diikuti mata mendelik-delik. (Padahal sebenarnya sayang wajah cantik tapi urat lehernya menonjol dan matanya mendelik).
Tak jarang status-status di jejaring sosial berisi saling membully, provokatif, cenderung fitnah serta menyebarkan kebencian pada pihak-pihak yang dianggap berseberangan. Sepertinya melampiaskan kemarahan dengan membuat orang lain juga marah menjadi sebuah permainan yang mengasyikkan. Namun jika Anda sependapat, hal semacam itu dapat dikatakan bukan penyaluran kemarahan secara positif. Seperti si burung marah yang nekad melabrak batu, kemarahan yang lalu menjelma tindakan saling hantam menghantam, baku pukul dan hanya berbuah pada kedua belah pihak babak belur. Coba kemarahannya dijadikan semangat menulis cerpen atau fiksi min, malah lebih produktif.
Dan saya senang melihat anak bermain lego. Ia pantas marah ketika rumah yang ia bangun dengan susah payah dihajar begitu saja oleh ‘manuk-manukan‘ atau entah apa lagi hanya sekedar ‘membenarkan’ homo ludens. Bermain-ya bermain tapi kayaknya ndak perlu memainkan kemarahan orang lain. Atau mungkin saya salah?
Belum ada tanggapan.