Kata-Kata

Saya pernah merasa jengkel kepada seorang teman, yang suatu waktu berasumsi bahwa seorang penulis setidaknya bertanggungjawab terhadap penggunaan bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar. Waktu itu kami sama-sama baru setahun tinggal di Yogyakarta, sama-sama datang dari Indonesia Timur dimana buah durian kami sebut jelas-jelas du-ri-an bukannya du-ren dan cabai kami sebut ca-ba-i bukan ca-be, maka dia bertanya mana menurut saya yang benar sesuai KBBI; “Durian atau duren? Cabai atau cabe?”

Di lain waktu, teman saya itu, ketika memesan minuman di warung berkata kalau kebiasaan orang Yogya menyebut ‘es teh’ itu salah karena tidak sinkron dengan penyebutan pada teh panas. Ketika menyebut es teh maknanya tidak jelas, antara es yang diberi teh atau teh yang diberi es. “Coba bandingkan; kopi yang diberi arang disebut kopi arang bukan arang kopi. Maka seharusnya teh yang diberi batu es disebut teh es.”

Dia mengingatkan saya, jika saya menulis maka saya harus memperhatikan baik-baik hal-hal semacam itu. Saya merasa jengkel karena saya bukan ahli bahasa, sekali lagi seorang penulis atau orang berpikir bahwa dia penulis bukanlah ahli bahasa yang harus memberi koreksi terhadap hal-hal lumrah yang menurutnya salah. Memang pada waktu itu, saya merasa akan sia-sia mengubah sesuatu yang sudah amat biasa dalam masyarakat yang masif. Bahasa adalah media komunikasi, ketika sebuah bahasa mampu menjelaskan maksud dari wujudnya maka apa lagi yang diperlukan?

Di Flores, khususnya di tempat saya tumbuh, kondektur atau kenek sudah lazim disebut sebagai konjak. Pernah pulang seorang pemuda dari rantauan di Jawa ke kampung kami, dalam bualannya dia berkata kalau konjak itu sebenarnya sebutan untuk kondektur Jakarta tetapi apakah dia mampu membuat perubahan di tengah masyarakat yang sudah amat biasa dan nyaman?

Lalu, anak-anak kampung di sana pikir buah kakao adalah bahasa daerah. Setiap kali ada orang dari kota datang maka kami menyebut kepada mereka buah kakao sebagai buah coklat. Tidak lama muncul pula merek permen bernama cacao dan anak-anak kampung menyebutnya permen ca-ca-o; “Om, beli permen cacao!” Itulah masalahnya, cacao tidak disebut sebagai kakao, sementara buah kakao kami bilang buah coklat.

Ada lagi, di kampung kami menyebut pasta gigi sebagai odol. Apa pun merek pasta gigi yang hendak kami beli di kios, lazimnya kami bilang; “Bu, mau beli odol pep****nt!”. Hal yang sama berlaku pada deterjen, merek apa pun selalu disebut sebagai rinso, “Ada rinso Daia?”

Kata oto berlaku bagi semua jenis kendaraan roda empat, kami tidak tahu membedakan mana yang bis/bus, truk, sedan, pick up. Saya pulang libur ke kampung beberapa tahun lalu dan ceplos menyebut kata ‘bus’ saat hendak menunggu ‘oto’, lantas ibu saya mengkerutkan kening sementara adik-adik saya mengulangi kata bus dengan nada tidak percaya.

Saya bayangkan jika ada orang dari Jakarta yang tersesat di sana maka dia pasti geleng-geleng kepala mendengar orang kampung berbicara dan tentu saja orang-orang kampung pun akan melongo mendengarnya bicara. Maka hingga hari ini, saya akan tetap menyebut durian sebagai duren dan cabai sebagai cabe (belah durian?? Cabai-cabaian??) supaya tidak kelihatan bodoh; hahaa!!.

Ilustrasi: google

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan