Kehadiran media sosial memberi warna tersendiri dalam kegiatan intelektual di Indonesia. Tidak jarang kita melihat terjadi diskusi dalam kolom komentar antara tokoh intelektual besar tentang suatu isu yang sedang marak. Tapi, kekecewaan sering terjadi karena diskusi intelektual itu malah berubah jadi debat kusir. Argumentum ad hominem mendominasi. Kalau dicermati, komentar dengan cacat logika itu terkadang masih penuh dengan kutipan-kutipan pemikir besar. Walau debat kusir, diskusi itu terlihat masih bercorak “intelektual”.
Adakah sesuatu yang bisa menjelaskan situasi ini? Richard Hofstadter, sejarawan dan intelektual AS di pertengahan abad 20 memberi kita penjelasan menarik tentang fenomena ini dalam esainya, “Anti-Intelektualisme: Kasus Amerika” dalam buku, “Menggugat Pendidikan”.
Anti Intelektualisme: Defenisi dan Sejarahnya
Belum ada defenisi yang ketat tentang istilah ini. Anti-intelektualisme, yang biasa digunakan seseorang kepada yang tidak disukainya, naik daun ketika gejolak politik dan kontroversi pendidikan di AS tahun 1950. Ketidakjelasan defenisi inilah yang membuat anti-intelektualisme jadi lebih enak dipakai sebagai julukan untuk dialamatkan kepada lawan.
Anti-intelektualisme harus dibedakan dengan anti-rasionalisme dan non-intelektual. Anti-rasionalisme tidak berwatak anti-intelektual dalam arti sosiologis dan politis. Anti-rasionalisme sejenis metode berpikir seperti yang dikembangkan oleh Nietzsche dan para pemikir beraliran romantisme. Sementara non-intelektual adalah mereka yang bersikap sangsi terhadap intelek dan kaum intelektual. Mereka mengembangkan suatu cara berpikir yang tidak konsisten dan “melompat-lompat” dalam menyikapi satu wacana ke wacana yang lain.
Richard Hofstadter memberi rumusan umum anti-intelektual sebagai pelecehan, ketidaksetujuan, kecurigaan yang terus menerus terhadap alam pemikiran beserta semua orang yang dianggap mewakili alam pemikiran itu. Orang yang anti-intelektual adalah orang-orang yang sangat mendalam keterlibatannya dengan gagasan-gagasan, seringkali secara obsesif menekuni gagasan-gagasan tertentu yang sudah lama diserang atau ditolak. Mereka adalah orang terdidik, serius, dan punya tujuan tertinggi dalam memperjuangkan sikap mereka. Mereka bukanlah ciptaan orang-orang yang secara kategoris (mutlak) bersikap menolak dunia gagasan. Justru sebaliknya: sama seperti musuh paling efektif bagi manusia terpelajar mungkin adalah manusia yang setengah terdidik (bukan manusia yang tak terdidik).
Hofstadter menambahkan, para juru bicara anti-intelektualisme hampir selalu mengabdi pada gagasan-gagasan tertentu. Mungkin mereka sangat membenci kaum intelektual yang sezaman dengan mereka – tapi kebencian itu sering sama besar dengan kesetiaan mereka terhadap kaum intelektual yang sudah lama almarhum, seperti Adam Smith, Aquinas, John Calvin, bahkan Karl Marx. Mereka memusuhi intelektualisme kontemporer, tapi mereka loyal pada intelektualisme masa silam.
Bisa dikatakan, kelompok anti-intelektualisme itu populer dalam masyarakat kita. Kenapa? Karena mereka sering kali dikaitkan dengan kebaikan atau sedikit-dikitnya dihubungkan dengan kasus yang dianggap baik. Mereka selalu beranggapan kalau intelek selalu berbahaya. Kalau dibiarkan bebas semaunya, semua akan dijungkirkannya, dianalisisnya, dan digugatnya.
Kelompok anti-intelektualisme sering menuduh sifat intelektual sebagai subversif dan selalu berada dalam perjalanan melawan sesuatu. Kelompok anti-intelektualisme ini akan selalu bertentangan dengan kelompok intelektual dengan antagonisme-antagonisme yang fiktif dan sepenuhnya abstrak. Intelektual diperlawankan dengan perasaan, kepraktisan, demokrasi, dsb. Padahal, intelektual adalah sesuatu yang tidak bisa lepas dari semua yang mereka perlawankan itu.
Perjalanan pertama menapak tilas jejak anti-intelektualisme membawa kita ke kerangka sejarah keagamaan. Selalu ada ketegangan historis antara rasionalisme dan kepercayaan religius. Urusan agama yang selalu dicap sebagai “urusan hati”, menempatkan pikiran rasional dianggap tidak relevan. Kualitas-kualitas intuitif pemikiran yang diagungkan agama membawa hal-hal rasional adalah hampa dan bahkan berbahaya.
Oleh karena itulah, sifat primitifisme menjadi khas anti-intelektualisme. Primitifisme adalah daya perkasa dalam tulisan-tulisan historis yang diwarisi turun-temurun. Primitifisme memelihara otoritas pemikiran berabad-abad lampau dalam kesenjangan konteks dan relevansi isinya. Pemujaan terhadap “dokumen-dokumen kuno” hampir-hampir membawa kelompok anti-intelektualisme pada transendentalisme – pemujaan pada sesuatu yang “jauh di sana”.
Ditambah situasi ekonomi yang bercorak bisnis membutuhkan kecepatan. Perilaku bisnis yang menggerogoti masyarakat memaksanya mengambil keputusan-keputusan tanpa jeda yang menyebabkan mapannya kebiasaan berpikir serba dangkal, serba kilat, dan langsung caplok saja. Situasi demikian menjadi lahan yang subur untuk tumbuh kembangnya anti-intelektualisme.
Studi Kasus
Salah satu kasus yang paling kental dengan corak anti-intelektualisme di Indonesia adalah kasus LGBT. Tulisan ini tidak akan menentukan sikap terhadap wacana LGBT. Tulisan ini sebatas menunjukkan wacana anti-intelektualisme hadir dalam polemik yang ada.
Pada tahun 1973, The American Psychiatric Association (APA) mengeluarkan pernyataan bahwa LGBT bukanlah penyakit. Hal senada juga diikuti oleh The American Pscychological Assosiation (APA) pada tahun 1975. Keputusan ini juga diikuti oleh WHO pada 17 Mei 1990. Kemudian, 24 September 2014, Komisi HAM PBB menyatakan dukungan dan pengakuan terhadap LGBT. Dua organisasi pertama adalah sebuah lembaga riset. Artinya ada penelitian yang ilmiah dibalik pernyataan mereka.
Sontak saja temuan ini menghasilkan dua respon yang berbeda. Kaum LGBT menyambut baik keputusan ini. Mereka yang selama ini diperlakukan diskriminatif, akhirnya punya legitimasi untuk mempertahankan haknya. Apalagi karena dasar pertimbangan ilmiah di atas, beberapa negara di dunia akhirnya melegalkan pernikahan sejenis.
Tapi di sisi lain, kecaman dan penolakan keras datang dari mereka yang anti pada LGBT. Mereka biasanya datang dari kelompok agamawan (walau ada juga yang bukan). Fitrah manusia digunakan sebagai alasan utama. Tuhan, kata mereka, tidak pernah menciptakan orientasi seksual yang lain selain hetero. Oleh karena itu LGBT harus dikutuk karena melawan ajaran agama.
Contoh pertama ini menunjukkan kepada kita ciri anti-intelektualisme. Penemuan ilmiah justru diresponi dengan dogma agama. Dihadapan agama, penemuan ilmiah yang demikian adalah hampa dan bahkan berbahaya. Alih-alih menjawab secara ilmiah, argumentasi penolakan LGBT justru dihadapkan dengan keyakinan agama. Sementara, khususnya dalam konteks Indonesia, agama memiliki otoritasnya sendiri. Agama tidak bisa bertarung “head to head” dengan sains seperti yang lazim di Eropa.
Ada situasi kedua yang jauh lebih menarik. Sesuatu yang bisa dikatakan “head to head” yaitu perbedaan tafsir kitab suci dari intelektual agama terkait LGBT. Mereka pecah, antara pro dan kontra.
Saya akan menunjukkan polemiknya dari perspektif agama Kristen, agama yang saya yakini. Dalam wacananya, intelektual yang menyatakan bahwa LGTB bukan dosa berangkat dari metode tafsir kontemporer yang disebut historis-kritis. Historis-kritis adalah sebuah metode tafsir yang memperhitungkan fakta-fakta sejarah Alkitab yang diteliti secara ilmiah. Tentu saja ini menggugat keyakinan yang dipegang Gereja selama ribuan tahun.
Sementara para penolaknya, yang mayoritas berasal dari kalangan konservatif, menolak temuan ini dengan dasar argumentasi dari keyakinan literal pada Alkitab dan dokumen-dokumen dogmatika Gereja. Seperti yang dikatakan oleh Richard Hofstadter, ini adalah ciri primitifisme.
Yang sangat disayangkan dari kelompok anti LGBT, alih-alih memberi argumentasi penolakan yang ilmiah, mereka malah menuduh bahwa para teolog yang pro LGBT sebagai “intelektual pesanan”. “Semua tergantung donor” adalah komentar sinis yang berseliweran di media sosial.
Namun, walau hasil tafsir intelektual Kristen yang mendukung LGBT muncul dari kajian riset yang metodenya bisa dipertanggungjawabkan, mayoritas umat Kristen menolak pandangan ini. Umat Kristen lebih berpihak pada pandangan yang bersandar pada keyakinan literal kitab suci dan dogma Gereja. Alasannya, menyatakan LGBT sebagai dosa adalah sesuatu yang dianggap “baik” di masyarakat.
Perbedaan pandangan secara intelektual adalah wajar dan perlu, bahkan penting. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah agar sang intelektual itu mengajukan kritik secara murah hati, dengan belas kasihan, dengan anggun dan bermartabat, dengan tepat dan tidak keluar jalur. Pertukaran wacana intelektual harus dilatih ke arah yang lebih santun. Nasehat J. Sumardianta dalam buku, “Habis Galau Terbitlah Move On” menarik untuk disimak, “Anda tidak akan menjadi lebih penting dengan meremehkan orang lain.”
Belum ada tanggapan.