Melihat Hubungan antara Budaya Literasi, Kemiskinan, dan Agama

Agama merupakan satu elemen penting di negara kita. Pancasila, dengan sila pertama, menjamin bahwa ideologi Indonesia diawali dengan pengakuan pada Tuhan Yang Maha Esa. Di Indonesia, agama bukan hanya bagian dari identitas, tapi juga sumber ajaran moral dan etika. Singkatnya, bisa dikatakan agama merupakan struktur dasar dari cara pandang masyarakat Indonesia. Agama adalah falsafah hidup.

Penelitian Pew Research Center

Pada medio Desember 2015, Pew Research Center mengeluarkan sebuah hasil penelitiannya bertajuk, “Americans are in the middle of the pack globally when it comes to importance of religion”. Secara garis besar, penelitian itu bertujuan untuk melihat pentingnya agama dalam kehidupan masyarakat di suatu negara.

Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia duduk di peringkat tiga dengan 95% masyarakat mengakui bahwa agama sangatlah penting dalam kehidupan. Itu artinya, sembilan dari sepuluh orang masyarakat Indonesia meyakini agama adalah sesuatu yang vital. Saya tidak tahu bagaimana sikap Anda terhadap hasil penelitian ini. Apakah ada rasa bangga atau tidak?

Korelasi dengan Budaya Literasi

agama-dan-budaya-literasiProgramme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 menempatkan Indonesia sebagai negara terburuk kedua dari 65 negara dalam hal budaya literasi. Bandingkan dengan, Vietnam yang menduduki peringkat delapan, dan Singapura di posisi nomor tiga dalam hal budaya literasi.

Jika membandingkan dua hasil survei dari Pew Research Center dan PISA, kita akan melihat sebuah kesimpulan yang menarik. Indonesia dengan posisi budaya literasi nomor 64, menduduki peringkat nomor 3 sebagai negara yang menganggap penting agama. Sementara Vietnam dengan budaya literasi peringkat 8, berada pada posisi 27 sebagai negara yang menganggap penting agama. Kontrasnya adalah China sebagai nomor 1 dalam studi PISA, malah menduduki nomor buncit dalam studi Pew Research Center itu.

Jika hitung-hitungan saya benar, maka ada korelasi berbanding terbalik antara tingkat budaya literasi dengan pengakuan pada pentingnya agama dalam kehidupan. Sederhananya, semakin suka orang membaca, maka semakin tidak penting agama dianggapnya. Sebaliknya, semakin tidak suka orang membaca, maka semakin penting dianggapnya agama.

Ini Mengindikasikan Apa?

Ada hal menarik lainnya dari hasil penelitian Pew Research Center. Di bagian akhir, Angelina E. Theodorou menunjukkan bahwa negara-negara yang menganggap bahwa agama penting dalam kehidupan justru merupakan negara-negara miskin – kecuali Amerika Serikat. Sepuluh besar negara yang menganggap penting agama tersebar di kawasan Sub Sahara Afrika dan Asia.

Artinya ada tiga faktor menarik yang bisa dicermati; budaya literasi, kemiskinan, dan anggapan tentang pentingnya agama dalam kehidupan.

Negara dengan tingkat budaya literasi yang rendah, cenderung merupakan negara miskin. Negara dengan tingkat budaya literasi rendah, cenderung menganggap agama sebagai sesuatu yang penting. Sementara, negara dengan tingkat budaya literasi tinggi, cenderung merupakan negara yang mapan dari segi ekonomi. Kemudian, negara dengan tingkat budaya literasi tinggi, merupakan negara yang menganggap agama bukan sesuatu yang penting dalam kehidupan.

Sederhananya, negara miskin dengan tingkat budaya literasi rendahlah yang menganggap agama menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan. Sebaliknya, negara kaya dengan tingkat budaya literasi tinggi adalah negara yang tidak menganggap penting agama dalam kehidupan.

Jika kesimpulan ini benar, saya teringat pada buku yang ditulis oleh Pippa Norris dan Ronald Inglehart, “Sekularisasi Ditinjau Kembali – Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini”. Di dalam buku itu disebutkan, melalui penelitian 80 masyarakat dunia ditemukan bahwa kelompok masyarakat dunia yang hidup sehari-hari anggotanya dipengaruhi oleh ancaman kemiskinan, penyakit, dan kematian dini, tetap religius sekarang sebagaimana mereka religius seabad yang lalu. Artinya, masyarakat dengan tingkat keamanan eksistensial yang rentan atau rendah, merupakan masyarakat yang setia pada nilai-nilai keagamaannya. Sama seperti penelitian Pew research Center, penelitian ini juga menempatkan AS sebagai pencilan (outlier-red).

Sebaliknya, untuk negara-negara yang kaya, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa sekularisasi sedang berlangsung. Artinya agama mulai digeser. Pemujaan pada yang “sakral” tidak lagi diutamakan.

Bagian yang paling menarik lagi adalah negara-negara miskin dengan tingkat  keamanan eksistensial yang rendah, merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cepat. Sebaliknya, negara yang kaya, justru tingkat pertumbuhan penduduknya rendah.

Dengan begitu, jika mengombinasikan antara pertumbuhan penduduk yang tinggi dari negara miskin dengan pertumbuhan penduduk yang rendah dari negara kaya, maka dunia, secara mayoritas, akan semakin religius. Sekularisasi yang diturunkan dari negara kaya, kalah jumlahnya dibandingkan dengan kehidupan religius yang diturunkan pada generasi negara miskin.

Hasil riset ini  menunjukkan bahwa agama ternyata sangat dekat dengan realitas negara miskin. Agama menjadi begitu vital di tengah masyarakat dengan tingkat keamanan eksistensial yang rentan.

Jika kesimpulan ini benar, maka saya teringat lagi pada tulisan Karl Marx, “A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right”. Dalam pendahuluan buku inilah, ungkapan yang paling terkenal dari Karl Marx muncul, “Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa … Agama adalah candu rakyat.”

Agama dijadikan candu, karena agama dalam konteks berfilsafat Marx (bahkan sampai sekarang), selalu menawarkan kebahagiaan di kehidupan nanti. Penderitaan sekarang ini, kata agama, akan berkesudahan ketika digantikan kebahagiaan di surga. Marx tidak mengkritik agama secara inheren – apalagi konten. Marx mengkritik praktik-praktik agama yang dilihatnya seolah melanggengkan penghisapan dan penindasan. Agama membuai manusia miskin dan menderita agar melupakan penderitaan yang sedang dialaminya. Agama memalsukan kesadaran masyarakat miskin agar sabar dan tetap tabah menanti kehidupan yang penuh sukacita kelak di surga.

Mungkinkah agama yang mampu mengalihkan perhatian dari kemiskinan (sekarang) ke surga (nanti) menjadi daya pikat tersendiri oleh masyarakat dengan tingkat budaya literasi yang rendah? Entahlah.

Beberapa Pelajaran

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa agama “populer” di negara miskin, menjadi sebuah kritik tersendiri pada agama. Agama, dalam prakteknya, ternyata tidak mampu berperan aktif dalam memerangi kemiskinan. Kesimpulan ini seharusnya menjadi sebuah peringatan pada agama agar mau berpartisipasi dalam usaha-usaha penyelesaian masalah sosial. Agama dituntut untuk tidak hanya bicara “langitan”, karena agama itu untuk manusia, bukan untuk burung-burung di udara.

Agama juga ternyata “populer” di tengah masyarakat yang malas membaca. Ini ironis karena hampir semua agama mengajarkan agar umat menghargai ilmu pengetahuan. Kegiatan membaca (iqra) adalah kegiatan penting dalam semua ajaran agama. Namun, kenyataan justru tidak berbicara demikian. Negara-negara yang memeluk agama dengan ketat, justru adalah negara-negara yang tidak bersahabat dengan buku.

Jika kita membaca “Sosiologi Agama” tulisan Max Webber, kita akan melihat bahwa embrio agama datang dari kemampuan dia dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Agama selalu menjadi pemecah kebuntuan. Agama selalu jadi solution maker, bukan problem maker.

Namun, bukankah itu jadi kontras dengan kenyataan di kita sekarang?

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan