Berita Buku – Seorang pemuda imigran gelap datang ke Amerika ketika dia malah belum selesai lulus SMA. Semula, sewaktu diberangkatkan ke sana dia sama sekali tidak tahu bahwa kehadirannya di sana tidaklah legal. Tetapi, beruntungnya dia memiliki jiwa petualang yang membuatnya terus bertahan hidup baik sebagai imigran gelap maupun sebagai seorang pemuda yang setiap hari harus berhadapan dengan bermacam-macam geng dari satu lantai apartemen ke lantai apartemen lainnya. Agar isi perutnya tidak terburai di tangan para gangster dia mau tidak mau harus tahu bahasa sapaan dan bahasa basa-basi; Spanyol, Rusia, Korea dan Italia
Alfa Sagala tidak pernah mati. Dia mendapat beasiswa penuh dari universitas yang dia ajukan, lalu tanpa diduga Tom Irvine merekrutnya sebagai pegawai di Wall Street. Dari anak kampung yang diganggu mimpi buruk sejak bocah, dia berubah menjadi pemuda Amerika (yang fasih ngomong Inggris beraksen Amerika bukan Asia) dengan pesona kecerdasan dan berbau uang di Wall Street.
Tetapi, di balik semua yang dia capai sekarang, ada satu hal penting yang tidak dimiliki orang lain; insomnia langka yang membuatnya menghabiskan banyak buku dan memenuhi memori otaknya dengan bacaan. Orang bisa tebak, dia menjadi cerdas karena banyak membaca. Namun, tidak banyak yang tahu kalau alasan dia begitu rajin membaca adalah karena kelebihan jam terjaga (karena berkurangnya jam tidur).
Demikianlah, Dee Lestari menghidupkan tokoh gelombang di seri ke lima Supernova-nya. Dia menghadirkan sosok Alfa Sagala yang takut tidur selama 11 tahun terakhir karena setiap kali tertidur dia akan mimpi buruk. Bukan mimpi buruk orang kebanyakan. Mimpi itu begitu kelam, sampai-sampai setiap mimpi selalu mengancam nyawanya; dia seakan diburu dan ingin dibunuh oleh sesuatu di dalam mimpinya sendiri.
Selama 11 tahun, sejak bocah sampai dewasa, dia kucing-kucingan dengan rasa kantuk. Dia menghindari tidur dengan cara biasa, sebagai gantinya dia mengambil waktu di antara kegiatannya untuk tidur dalam durasi yang singkat; mencicilnya dari waktu ke waktu dan selalu menjaga agar tidurnya tidak sampai bermimpi. Aneh memang ada manusia semacam ini. Tetapi Dee menulisnya dengan baik sehingga kita menjadi yakin bahwa manusia macam Alfa Sagala memang ada. Dia adalah sebuah representasi dari hal-hal yang mementahkan ketentuan yang dianggap lazim, yang dalam kasusnya tentu saja menyangkut TIDUR.
Membaca novel ini, saya melihat satu mitos yang terpatahkan; manusia sebenarnya tidak perlu tidur selama delapan jam setiap harinya. Selama 21 tahun Alfa Sagala hidup dengan cara itu; tidur selalu kurang dari delapan jam per hari. Dia tidak mati karena kurang darah, justru imbalannya dia mendapat tambahan waktu untuk belajar sehingga bertambah pintar sehingga tembus Wall Street sehingga menghasilkan banyak sampai hutang keluarganya terlunasi.
Lucu memang, namun saya ingin melihatnya dengan cara demikian. Saya ingin mengganti perspektif saya tentang hal-hal yang berlaku umum di dunia ini. Jika Alfa Sagala melakukannya pada “tidur” maka saya bisa melakukannya pada hal lain; misalnya makan tidak perlu tiga kali sehari. Katakan sekali saja cukup. Dengan kurang makan, saya yakin saya tidak bakalan mati kurus. Justru sebaliknya, saya akan melakukan penghematan dari sektor konsumsi yang tidak pernah dilakukan orang lain sebelumnya.
Sama halnya dengan Alfa Sagala yang mengadaptasi tubuhnya sendiri terhadap waktu tidur yang kurang, saya pikir, orang lain pun mampu beradaptasi terhadap hal lain yang dianggap orang kebanyakan sebagai sebuah kejanggalan. Selain soal makan sekali sehari, yang patut dicoba misalnya adalah menarik napas sekali dalam semenit, begitu pun berkedip, mandi menggunakan pasir dll. Konyol memang, namun bukankah kita harus berani bertanya; mungkinkah hal-hal yang kita tahu di dunia ini hanyalah sebuah mitos? seperti misalnya tidur harus delapan jam per hari? atau makan tiga kali sehari?
Belum ada tanggapan.