pernikahan-dan-perceraian-dalam-novel-leo-tolstoy

Leo Tolstoy; Menggugat Pernikahan

Pernikahan.

Di dalam sebuah kereta, seorang pria mendengar seorang wanita berbicara tentang cinta dan perkawinan lantas bertanya tentang hal apa kiranya yang menguduskan sebuah pernikahan? Pria itu tidak sepakat dengan pengetahuan si wanita yang membawa nama ‘cinta’ sebagai jawabannya. Dia sama sekali menolak teori bahwa pernikahan terjadi karena dua individu saling mencintai.

pernikahan-dan-perceraian-dalam-novelDalam novelnya berjudul “The Kreutzer Sonata” Leo Tolstoy mengkritik keras pernikahan. Tolstoy, menurut beberapa sumber, berangkat dari pengalaman pribadi atas pernikahannya yang gagal untuk menulis novel ini. Keruhnya rumah tangga pribadi membentuk perspektifnya tentang pernikahan. Melalui tokoh pria bernama Pozdnyshev, Leo Tolstoy menilai pernikahan tidaklah sesakral yang dikira orang malah justru menjebak baik pria maupun wanita hingga keduanya sampai pada satu titik saling mengekang lalu saling membenci.

Leo Tolstoy mengajak pembacanya berpikir realistik tentang pernikahan. Dari setiap pemikiran yang tertuang dalam novel ini, Tolstoy tidak percaya bahwa karena cintalah orang menikah. Orang menikah karena berbagai alasan, dan hanya segelintir saja yang merasa mereka menikah karena murni perasaan cinta. Orang bisa menikah karena alasan moral, ketika seorang wanita telah hamil sehingga si pria terpaksa menikahinya. Ada tujuan lain lagi, misalnya untuk status sosial dan untuk mendapatkan kehidupan yang layak sehingga tidak heran bangsawan hanya boleh dinikahkan dengan bangsawan, pejabat malu menikah dengan pelacur, orang biasa harus tahu diri sehingga hanya menikah dengan orang biasa pula.

Cinta.

Lalu soal cinta. Sejauh mana manusia tahu tentang perasaan mereka didefenisi sebagai cinta? Dari Spanyol Ibnu Arabi, seorang Sufi, berkata bahwa cinta tidak mempunyai defenisi. Dia yang mendefenisikan cinta, berarti tidak mengenalnya. Sebab cinta adalah minum tanpa hilang haus. Cinta adalah sebuah pilihan baik bagi pria maupun wanita, tanpa ganggu gugat dan bersifat eksklusif. Karena cinta adalah sebuah pilihan bebas, yang mana bisa terus berubah-ubah dan tidak absolut, maka berapa lama sebuah pernikahan bisa bertahan jika didasarkan pada cinta? Mungkin sejam. Setahun. Atau sepuluh tahun selama cinta itu terus bertahan. Namun, Leo Tolstoy meragukan ada cinta yang bisa bertahan begitu lama.

Perceraian.

Kita bisa menebak, realitas pernikahannya sendiri yang berujung pada perceraianlah yang membuat Tolstoy tidak percaya lagi akan sakralnya sebuah pernikahan. Tolstoy meneriakan kemuakannya terhadap pernikahan dan ritual-ritualnya yang dianggap sakral. Di dalam novel, Pozdynshev curiga, orang-orang sudah terlanjur mengkuduskan pernikahan sehingga tidak sanggup memungkiri situasi yang keruh dalam hubungan pernikahan.

Leo Tolstoy menghantam kepala kita dengan pemikirannya yang vulgar, namun benar adanya. Ketidakpercayaan terhadap pernikahan, saya pikir tidak cuma Tolstoy. Hari ini televisi swasta tanah air nyaris setiap pekan menayangkan berita tentang perceraian para selebriti. Jika hari ini sepasang artis muncul di tv untuk mendeklarasikan percintaan mereka dan mengumumkan tanggal pernikahan, maka bisa jadi sebulan atau setahun mendatang satu per satu dari mereka akan nongol lagi untuk mewartakan bahwa pernikahan mereka gagal, ternyata tidak cocok dan lebih baik bercerai.

Seharusnya orang sadar, ada yang tidak beres dalam konsep pernikahan. Jika yang menjadi alasan bercerai adalah tidak cocok maka yang menjadi landasan pernikahan bukanlah cinta. Bila ada yang berkata bahwa mereka bercerai karena merasa sudah tidak cinta lagi maka, maka kata ‘cinta sejati’ hanyalah akal bulus belaka. Untuk jenis hubungan semacam ini, bila pernikahan tetap dilangsungkan, manakah yang masih dianggap sakral? Belum pantaskah jika pernikahan dianggap sebuah kemunafikan saja? Karena apabila pernikahan memang sakral, perlakukan hal itu dengan pantas.

Pernikahan bukan puncak dari cinta.

Kita semua, termasuk Tolstoy hidup dan dibesarkan melalui cara hidup artifisial belaka termasuk pernikahan. Bagaimana mungkin sebuah pernikahan menjadi sakral jika misalnya seorang pejabat menikahi pelacur menjadi bahan cemoohan? Bagaimana mungkin, pernikahan bisa berlandaskan cinta jika cinta-cinta mereka yang beda agama, sesama jenis kelamin, berbeda kultur dan strata sosial ditentang dan tidak dianggap?

Pernikahan lebih bekerja atas dasar kesetiaan, bukan cinta. Maka pernikahan dua orang yang bertujuan untuk membagi keuntungan bisnis bisa berlangsung lebih lama (selama bisnis terus menguntungkan) ketimbang pernikahan atas dasar cinta. Pernikahan bukanlah sebuah puncak perayaan dari rasa saling mencintai, sikap percaya satu sama lain, persamaan misi, kecocokan dan kesetiaan yang besar. Justru, sebaliknyalah pernikahan menjadi pintu gerbang untuk menguji elemen-elemen tersebut yang mana jika tidak tepat orang bisa keluar lagi melalui pintu perceraian.

Pernikahan hanya untuk menghindari seks yang haram

Jika pernikahan hanyalah sebuah pintu masuk kepada hubungan seksual yang legal, maka tidak salah bila Djenar Maesa Ayu pernah berkata bahwa seorang istri adalah pelacur yang paling murah. Pernikahan perlahan bergerak menjadi bisnis ketika orang membangun lembaga yang mengontrolnya. Keberadaan lembaga yang meresmikan pernikahan telah menciptakan pula jalan legal untuk perceraian. Dengan mengontrol pernikahan, maka seks juga diatur. Jadi, lelaki yang tidur dengan istrinya sama saja dengan yang pergi ke tempat pelacuran. Sementara wanita yang menikah yang kebanyakan untuk mendapatkan perlindungan, harta, rumah dan kebebasan finansial tidak bedanya dengan wanita yang bekerja sebagai pelacur; keduanya sama-sama menawarkan tubuh untuk pria.

Cemburu bukan tanda cinta.

Pozdnyshev, diujung kisah membunuh istrinya sendiri lantaran cemburu. Dia anggap wanita itu telah berselingkuh. Tepat di sini, Leo Tolstoy menohok. Dia memberikan gambaran tentang bagaimana pernikahan tidak mengakui lagi hakikat cinta yang bebas memilih. Ketika seseorang menikah maka kebebasannya untuk mencintai telah diringkus. Orang dituntut hidup dalam standar moral yang pada akhirnya tidak mengakui lagi keberadaan cinta, maka ketika seorang istri merasa (berpikir) telah jatuh cinta kepada pria lain cinta semacam itu dianggap hina, zinah dan tak senonoh.

Pozdnyshev telah membunuh istrinya sendiri bukan lantaran dia begitu cinta sehingga takut kehilangan, lebih karena dia merasa cemburu saat cinta istrinya diberikan kepada pria lain. Di sini jelas; Pozdnyshev cemburu, tidak disebabkan karena cintanya kepada sang istri tetapi karena cinta istrinya kepada selingkuhannya.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan