Alkisah, Prometheus sedang gelisah. Sang dewa kebingungan karena Zeus dan para dewa pongah lainnya tak mengizinkannya untuk membawa api kepada manusia di bumi. Para dewa telah sepakat untuk menyimpan api itu di nirwana.
Prometheus pun bertanya-tanya, mengapa api itu harus berdiam di surga? Mengapa para manusia tak berhak memperoleh api itu? Lantas, dengan berani ia mengambil keputusan. Ia pun mencuri api dari kungkungan tangan para dewa dan membagikannya kepada manusia.
Demikianlah, perbuatan berisiko itu pun berimbas pada angkara murka para dewa. Prometheus telah membagikan harta karun berharga kepada manusia. Prometheus yang berani itu pun dihukum: dipancang di gunung karang agar burung ganas merenggutkan jantungnya — yang tiap kali akan tumbuh lagi dan direnggutkan lagi, selama-lamanya. Siksaan kejam bagi seorang pahlawan para insan, tapi juga setimpal bagi pengkianat dan pemberontak otoritas para dewa.
Ratusan tahun silam, seorang anak muda yang progresif ingin mengambil alih peran Prometheus. Karl Marx, pemuda itu, memang lahir dan besar di Jerman, yang jauh dari tanah Yunani, negri bapa-bapa leluhur filsafat dan mitologi dari mana narasi Prometheus berasal. Namun, Marx dikenal suka membandingkan dirinya dengan tokoh mitologi Yunani tersebut. Seperti yang ditulis oleh Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999), komparasi ini adalah buah dari kritik Marx terhadap Hegel, ahli filsafat yang menjadi tren di Jerman kala itu. Marx mengklaim, Filsafat pengetahuan absolut Hegel terlalu teoritis dan dogmatis. Pernyataan Hegel bahwa “yang real itu rasional dan yang rasional itu real” oleh para filsuf hegelianisme kanan menjadi sebagai basis legitimasi seluruh aktivitas politis dan invasi negara Prusssia. Namun, Marx membaca filsafat idealisme Hegel itu secara lain. Prussia semakin reaksioner dan karena itu jelas tidak rasional dan karena itu pula harus dikritik. Bagi Marx, kontradiksi antara pikiran (Hegel) dan kenyataan (Prussia) itu hanya bisa berarti bahwa pikiran harus keluar dari alam teori menjadi kenyataan praktis. Dalam tesis 11 tentang Feuerbach, Marx berseru, “para filosof hanya memberi interpretasi terhadap dunia. Yang perlu ialah mengubahnya!”
Atas dasar itulah, Marx mengkritik Hegel dan berseru: Sudah waktunya agar filsafat menjadi praktis. Seruan ini, oleh Marx dianggap sebagai sebuah seruan emansipasi yang menggetarkan. Seruan ini serupa api yang dibawa Prometheus ke manusia. Api filsafat pasca Hegel menurut Marx tidak bisa tinggal dalam teori saja. Api itu harus dikirim ke kelas-kelas masyarakat agar dapat mewujudkan emansipasi manusia, praxis pembebasan dan perubahan masyarakat. Filsafat Hegel memang merupakan puncak rasionalitas, tetapi masih tinggal dalam dimensi pikiran dan belum menyentuh realitas sosial politik. Kesalahan Hegel inilah yang menjadi dasar segala ulasan filosofis Marx dan membawanya ke usaha inti untuk membebaskan manusia dari alienasi dan penderitaan; dari kebusukan kapitalisme dan ikatan nafsu kekuasaan.
Oleh Marx, api filsafat itu mendapat aksentuasi dan relevansi baru. Pertama, Melalui filsafat, ia mengkritik wajah agama kala itu yang tampil sebagai candu yang meninabobokan masyarakat. Dengan berinspirasi pada Ludwig Feuerbach, Marx menulis, “Manusia yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia.” (bdk. S. P. Lili Tjahjadi, Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan dalam F. Budi Hardiman (Ed.) Filsafat untuk Para Profesional, 2016, hlm. 65). Agama adalah tanda perealisasian hakikat manusia dalam angan-angan saja, sebagai tanda bahwa manusia belum berhasil merealisasikan hakikatnya. Agama adalah tanda keterasingan manusia dengan dirinya. Ia adalah candu rakyat.
Kedua, Dengan api filsafat pula, Marx membakar semangat kaum buruh untuk bangun dari “tidur dogmatis” mereka oleh kesewenang-wenangan kaum kapitalis. Ia menguraikannya secara sistematis dan berbobot: dari teori mengenai alienasi dalam pekerjaan, kritik ideologi, pandangan materialis historis hingga anjurannya untuk revolusi yang niscaya akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas yang madani dan sejahtera. Marx mengklaim bahwa sosialisme yang dicita-citakannya merupakan sebuah sosialisme ilmiah, artinya sebuah masyarakat yang mutlak harus ada karena kapitalisme yang dikritiknya telah dihinggapi kontradiksi internal yang membawa pada kehancuran. Kebangkitan kaum proletar menurut Marx adalah sebuah keniscayaan logis.
Namun, dari sejarah kita tahu, ajaran Marx tidak selamanya benar, seperti usaha emansipasinya lebih merupakan sebuah cita-cita utopis daripada kenyataan. Perkawinan antara filsafat dan proletariat nyatanya tidak menghasilkan masyarakat tanpa kelas yang adil-makmur seperti yang didambakan Marx. Usaha-usaha pasca Marx lebih banyak menghasilkan korban daripada kemakmuran. Kita ingat insiden revolusi Vladimir Lenin di Uni Soviet dan Mao Tse Tung di Tiongkok yang memakan korban jutaan nyawa para petani dan buruh. Teori Marx tentang revolusi dan masyarakat komunis bersifat ideologis karena atas namanya dalam abad ke -20, jutaan orang telah menjadi korban penindasan atas nama revolusi komunis. Marx keliru ketika api filsafat yang dibawanya ke kaum kecil justru didogmakannya sebagai pemegang kebenaran tunggal. Alih-alih mengemansipasi masyarakat, api filsafat itu justru menghanguskan pemeluk ortodoks teori Marx dan membawa kehancuran pada kalangan luas.
Meskipun demikian, dari sisi usaha perkembangan filsafat, jasa Marx tidak boleh dilupakan. Melalui usahanya, Marx membangun paradigma baru bahwasanya filsafat bukanlah sebuah ilmu teoritis yang usang dan mengawang serta hanya relevan dalam bangku-bangku akademis. Filsafat, sebaliknya adalah api yang niscaya mampu membakar kemapanan struktural sekaligus kemapanan berpikir masyarakat luas. Filsafat oleh Marx telah menjelma menjadi alat untuk mengubah nasib banyak orang; membuat orang sadar dan kritis terhadap realitas. Dari tangan Marx, api filsafat itu tidak bertahta di atas menara gading sebagai ilmu bagi orang-orang khusus, tetapi jatuh dan membakar banyak kalangan dan masyarakat luas.
Semangat Prometheus dan Karl Marx adalah semangat filsafat. Api yang dibawa Prometheus kepada manusia diterjemahkan oleh Marx sebagai filsafat yang menjelma sebagai ilmu praktis untuk emansipasi dan perubahan hidup yang lebih baik bagi manusia. Kini, banyak “dewa-dewa baru” yang ingin agar api itu lekas redup dan padam. Api filsafat itu terancam oleh keegoisan dan keserakahan manusia sendiri. Budaya anti-intelektualisme dan otoritarianisme yang menafikan kritik dan mendewakan kebenaran tunggal merupakan produk antitesis dari filsafat. Seperti Prometheus yang jadi korban ketika berani membangkang pada otoritas dewa; dan Karl Marx yang karena ajarannya harus lari ke Paris dan akhirnya ke London hingga hari-hari penghabisan hidupnya, demikian pun api filsafat itu akan mendapat banyak tantangan dari pelbagai pihak. Memperjuangkan api filsafat berarti memperjuangkan kebenaran dan sinonim dengan mendendangkan permusuhan dengan para pemegang otoritas dan pemangku kepentingan. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan jika banyak orang akan niscaya berjuang dengan sekuat tenaga agar api filsafat itu lekas redup dan padam.
Menjadi “Marx” dan “Prometheus” di zaman yang serba kacau ini memang tak mudah. Namun, panggilan untuk menjaga nyala api filsafat itu adalah panggilan universal kepada semua orang demi kepentingan peradaban manusia sendiri. Untuk itu, seyogianya semua manusia memang dipanggil untuk menjaga api agar tak lekas redup dan padam. Tugas kita yang paling sejati ialah membuat api itu, berpijar abadi.
*Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Belum ada tanggapan.