Pada tempat pertama harus diakui bahwa dalam kaitan dengan upaya mengatasi masalah intoleransi dan radikalisme, pemerintah Indonesia saat ini kelihatan cukup serius dengan soal ini. Pembubaran ormas-ormas yang mengusung ideologi yang bertendensi ke radikalisme, serta penindakan hukum secara tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran adalah bukti keberpihakan pemerintah dalam menegakkan prinsip toleransi di negeri ini. Namun demikian, wacana seputar upaya penegakkan toleransi dan mengatasi persoalan radikalisme tidak hanya berhenti pada soal penindakan belaka.
Jika yang dikedepankan adalah hanya pada penegakan hukum positif dan belanjut pada penindakan terhadap setiap aksi intoleran, maka upaya penegakan toleransi itu sendiri juga seperti sebatas doktrin paksaan yang datang dari luar kesadaran masyarakat. Ketika toleransi itu sendiri hanyalah sekadar sebuah doktrin paksaan yang datang dari luar, tidak heran jika aksi toleransi yang kerap ditampilkan di ruang publik dengan fakta keanekaragaman itu adalah hanyalah sebatas ungkapan rasa takut belaka. Ketika ada kelonggaran dalam hal penegakkan hukum, tidak menutup kemungkinan bahwa aksi-aksi intolernasi itu akan kembali muncul secara masif. Untuk itu mesti ada upaya untuk menciptakan kesadaran bersama dalam masyarakat untuk tetap menjaga kebersamaan dan toleransi di tengah fakta keberagaman. Kesadaran semacam ini mestinya pertama-tama lahir dari rahim kesadaran masyarakar akar rumput yang kesehariannya menghidupi fakta keberagaman ini agar tidak terjebak pada toleransi semu.
Berbicara tentang toleransi yang mengakar pada masyarakat akar rumput ini, penulis ingin membagikan pengalaman belajar toleransi yang sudah dan terus dihidupi oleh masyarakat NTT hingga kini. Perlu diketahui bahwa NTT merupakan salah satu provinsi yang dikenal sebagi provinsi paling toleran di Indonesia. Hal ini berdasarkan pada hasil survey Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2019 yang menempatkan NTT sebagai provinsi dengan indeks kerukunan umat beragama mencapa angka 81,11% dengan dimensi tolerasinya mencapai angka 79,13% atau berada pada urutan kedua setelah Provinsi Papua Barat (Sila dan Fakhruddin, 2020: 30-31). Pertanyaannya adalah, apa kekuatan yang dihidupi oleh masyarakat NTT hingga memungkinkan toleransi tetap terpelihara di provinsi ini. Pertanyaan ini lalu kembali kepada konsep toleransi yang dihayati dalam masyarakat setempat. Berbeda dengan paham toleransi dan kebersamaan yang dimaknai sebagai sebuah doktrin paksaan yang datang dari hukum positif negara, masyarakat NTT justru memaknai toleransi dan kebersamaan sebagai kekuatan yang telah mengakar dalam masyarakat akar rumput.
Kesadaran semacam ini lahir dari realitas masyarakat akar rumput NTT yang sudah terbiasa hidup dalam perbedaan. Dalam perbedaan tersebut ada kesadaran untuk saling melengkapi dan berdialog. Sebagai contoh, penulis mengangkat kembali salah satu kebiasaan masyarakat dalam salah satu wilayah di NTT yang telah menghidupi toleransi dengan bermula dari aktivitas keseharian. Saya kira ada juga masyarakat di wilayah lain di NTT yang juga mempunyai kebiasaan khas yang menunjang toleransi dan kebersamaan. Namun salah satu kebiasaan ini juga sekiranya menunjukkan bahwa toleransi dan rasa kebersamaan di NTT justru berakar dari masyarakat akar rumput.
Di kabupaten Sikka misalnya, kebiasaan merawat toleransi ini justru diawali dari kegiatan keseharian masyarakat di pasar. Di salah satu pasar yang terkenal di Kabupaten Sikka yaitu Pasar Geliting (Regang Bajo dalam penyebutan masyarakat asli setempat), contoh kebersamaan dan upaya merajut toleransi ini mulai ditanam lewat tradisi selung (barter) yang masih kuat dihidupi masyarakat setempat. Dalam aksi barter ini bukan hanya sebatas mempertemukan masyarakat yang memiliki kepentingan ekonomi, tetapi lebih dari itu juga sebagai tempat dimana masyarakat dari dua kultur dan agama yang berbeda dapat saling berjumpa dan berdialog.
Pada umumnya, umat muslim di Kabupaten Sikka berasal dari keturunan yang berbeda dengan masyarakat asli setempat. Mereka pada umumnya berasal dari wilayah Sulawesi yang datang ke Kabupaten Sikka untuk berdagang sejak sekitar abad ke XVI. Oleh masyarakat setempat mereka sering dikenal sebagai ata goan, tidung buton. Selanjutnya sebutan ata goan ini juga menjadi ungkapan bahasa daerah Sikka untuk menyebut agama islam. Secara demografis umat muslim di Kabupaten Sikka umumnya mendiami wilayah pesisir pantai dan daerah kepulauan sekitar.
Umat muslim yang rata-rata mendiami wilayah pesisir ini juga kerap membangun komunikasi dengan penduduk asli setempat yang rata-rata adalah masyarakat beragama katolik, berprofesi sebagai petani dan hidup dari hasil alam. Komunikasi ini justru dibangun dalam aktivitas ekonomi yang disebut selung (barter). Masyarakat muslim yang pada umumnya nelayan dapat menukarkan ikan dengan hasil alam berupa buah-buahan dan hasil pertanian lain seperti ubi dan jagung yang dihasilkan dari hasil alam masyarakat asli yang pada umumnya katolik.
Dalam kegiatan barter semacam ini sebuah pemandangan indah akan toleransi dan kebersamaan itu justru kuat ditemukan. Ada komunikasi yang dibangun antarwarga tanpa ada sekat atau pengkotakan yang berbasiskan pada identitas kultural atau agama. Tidak ada pula pembicaraan soal halal dan haram dari hasil kerja tangan masyarakat yang berbeda latar belakang agama ini. Padahal setelah kembali dari pasar, mereka-mereka adalah orang islam yang saleh dan orang katolik yang taat. Yang kuat tertanam dalam diri masyarakat adalah saling membantu dan melengkapi meskipun mereka berbeda. Dari hal yang sederhana dan sudah menjadi kebiasaan inilah masyarakat justru menjadi biasa dengan yang namanya perbedaan .
Hal-hal semacam inilah yang menjadi dasar kekuatan toleransi dan kebersamaan dalam masyarakat. Toleransi yang berakar dari masyarakat akar rumput ini juga mestinya dihidupi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Keberadaan yang lain dalam perbedaan bukanlah kesempatan unuk saling mendiskrimnasi dan menciptakan perpecahan. Perbedaan adalah sebuah anugerah untuk saling melengkapi. Akhir-akhir ini model toleransi dan kebersamaan semacam ini nyaris dicampakan dari jiwa masyarakat Indonesia karena kepentingan politik dan kekuasaan yang kerap dimainkan oleh segelentir orang yang tidak bertanggungjawab.
Masyarakat mestinya kembali menyadari kenyataan kehidupan harian yang sudah membuka jalan pada toleransi dan serentak menjadikannya sebagai kekuatan dalam membangun toleransi. Perbedaan adalah hal yang wajar dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam perbedaan tersebut, tidak dapat menutup dimensi kemanusiawian sebagai makhluk sosial yang terarah untuk selalu saling berinteraksi dan saling melengkapi. Tidak ada satu identitas masyarakat pun yang dapat berdiri secara tertutup dan mandiri. Keinginan untuk menutup diri hanya mengantar pada perlambatan perkembangan sutu kelompok atau golongan masyarakat. Hal ini tentunya bertentangan dengan kodrat peradaban sebuah kelompok masyarakar yang selalu mau bergerak maju. Keinginan untuk bergerak maju dan serentak membuka diri terhadap kelompok yang lain ini biasanya terealisasi dalam kenyataan hidup harian dan mestinya dijadikan sebagai kekuatan dalam menunjang toleransi.
Belum ada tanggapan.