… Saya pun adalah orang Islam, maaf beribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati islam.”
(Pidato 1 Juni 1945 dalam Sidang BPUPKI).
Agama seringkali menjadi samar saat ia di ruang publik, walaupun agama menuntut laku/praktik. Seseorang sering dipandang sebagai seorang yang taat melalui simbol-simbol sekaligus praktik ibadahnya. Agama di mata Soekarno adalah ibarat pohon, ia tumbuh dan berkembang. Keyakinan pada Islam di mata Soekarno melalui proses panjang.
Masa kecil Soekarno memang tidak kental dengan adegan-adegan atau pendidikan agama Islam dari keluarganya. Maklum, ibunya adalah keturunan Bali. Sebagaimana pengakuannya : “Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu.” Sedang ayahnya adalah penganut theosofi.
Setelah ayah dan ibunya kawin lari, maka ayahnya mengajak ibunya pindah di Surabaya. Di Surabaya inilah ia kelak tinggal bersama H.O.S Tjokroaminoto. Bersama Tjokroaminoto itu pula ia juga belajar tentang Islam dan pergerakannya bersama Sarekat Islam. Di usianya yang sangat muda, tepatnya di tahun 1916 bulan Juni ia sudah mengikuti Kongres Nasional pertama Sarekat Islam. Pergaulan dan proses perkembangan islamnya lebih banyak ia dapati melalui buku-buku dan kawan perjuangannya. Melalui buku-buku itulah kelak ia pun bertemu Agus Salim dan tokoh-tokoh Sarekat Islam yang lain.
Meski demikian, masa-masa perenungan dan pencapaian kematangan terhadap Islam dicapai saat ia berusia tiga puluhan. Di masa pengasingan dan kesepian, ia justru merasakan menemukan Islam di pulau Ende. Bernhard Dahm menulis bab tersendiri mengenai islam Bung Karno dengan tajuk Tahap Islamis (1934-1941) di bukunya berjudul Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (1987). Tepat pada tanggal 1 Desember 1934, ia meminta dikirimi buku-buku agar ia dapat mempelajari masalah-masalah islam lebih mendalam kepada A. Hassan.
Melalui buku-buku yang ia baca dan pelajari, ia berbagi pikiran dan mengirim surat-suratnya. Kita bisa membaca pikiran-pikiran Soekarno tentang Islam, sebagai Islam yang berkemajuan. Islam yang dinamis. Pada surat yang ia kirim pada tanggal 18 Agustus 1936 (DBR, h.340) ia menulis : “Tetapi apa yang kita “cutat” dari kalam Allah dan Sunnah Rasul itu?. Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flame-nya, tetapi abunya, debunya, asbesnya… abunya yang bersifat Islam mulut, dan Islam ibadat-zonder taqwa, abunya yang Cuma tahu baca Fatihah dan tahlil saja,—tapi bukan apinya yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain.”
Soekarno mengalami masa-masa yang disebut oleh Bernhard Dahm sebagai “pertobatan”. Bernhard Dahm melukiskan dengan indah bagaimana corak pemikiran Islam Bung Karno. “Kiranya perlu ditegaskan bahwa Soekarno tidak memasuki barisan umat Islam Indonesia sebagai orang munafik. Ia percaya kepada Allah, menunaikan ibadah shalat dan ibadah puasa dengan keyakinan yang sesungguhnya bahwa itulah “Islam”.
Tetapi ia juga didorong oleh ajaran tentang kemajuan sosial, dan kesadaran itu tidak memberikan kepadanya ketenangan dan bahkan tidak memberikan pilihan lain kecuali memainkan peran Nabi dan bertentangan dengan semua ortodoksi, mempermaklumkan keselamatannya sendiri—bahwa Islam adalah kemajuan.”
Pada tahun 1940, Soekarno juga menulis di Pandji Islam, berjudul Me-“muda”-kan pengertian Islam. Pada tulisan itu kita melihat kritik serius kepada pemikiran golongan tua di kalangan Muhammadiyah yang disenggol oleh tulisan K.H. Mas Mansur di Madjalah Adil yang berjudul “Memperkatakan Gerakan Pemuda”.
Soekarno menyinggung generasi atau kaum tua di masa itu yang disinggung di tulisan Mas Mansur dengan mengatakan “tjungak-tjinguk”. Soekarno kemudian mengajak pembaca berkelana mengamati dan melihat Islam dari sisi perkembangan dunia mulai dari Turkey, Mesir, Palestina, hingga kembali kepada kritiknya kepada Islam di Indonesia. “Merdekakanlah Islam Indonesia dari tradisi fikiran Ash’ariisme itu sama sekali, kasihlah lapangan merdeka kepada Rasionalisme jang lama telah terbuang itu. Marilah kita teruskan adjakannja pahlawan-pahlawan “rethinking of Islam” di negeri asing itu ke tengahnja padang perdjoangan Islam di negeri kita.
Dengan kembalinya Rasionalisme sebagai pemimpin pengertian Islam, maka barulah ada harmoni jang sedjati antara otak dan hati, antara akal dan kepertjajaan, dengan kembalinja Rasionalisme itu maka berobahlah sama sekali kita punja outlook jang merdeka, satu ideologi jang merdeka. Maka Islam lantas benar-benar mendjadi satu pertolongan satu tempat—pernaungan, satu djalan keluar, dan bukan satu pendjara.”
Islam yang dianut oleh Soekarno bukanlah Islam yang kaku, kolot dan hanya terpaku pada praktik keagamaan dan fikih semata. Islam yang dianut oleh Soekarno adalah Islam yang berorientasi pada kemajuan. Islam Soekarno adalah Islam yang modern. Ia tidak mau terpancang pada pemikiran kuno yang hanya kembali kepada masa yang lampau. Soekarno memahami Islam adalah dinamis. Sehingga akan selalu dan tetap relevan dengan kemajuan zaman. “Pokok tidak berobah, agama tidak berobah, Islam sedjati tidak berobah, firman Allah dan sunnah nabi tidak berobah, tetapi pengertian manusia tentang hal-hal inilah jang berobah. Pengkoreksian pengertian itu selalu ada, dan musti selalu ada. Pengoreksian itulah hakekatnja semua idjtihad, pengkoreksian itulah hakekatnja penjelidikan jang membawa kita ke lapang kemadjoean.”
Pada masa menjelang kematiannya, ia menuliskan renungan yang indah tentang sisi religiusnya. Ini bisa kita jumpai dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1988): “Kawan-kawan menyatakan, bahwa pidatoku akhir-akhir ini seperti membayangkan kepada saat, pada waktu mana aku akhirnya akan meninggalkan mereka. Secara sadar, atau tidak aku mempersiapkan mereka dan mempersiapkan diriku sendiri menghadapi detik ketentuan itu, di saat setiap ummat manusia dipanggil ke hadirat Yang Maha Kuasa.”
“Aku sangat percaya kepada akhirat, hari kemudian setelah ini. Aku pun percaya, bahwa setiap saat ada malaikat-malaikat yang tidak kelihatan dekatku. Malaikat sebelah kanan mengumpulkan amalku. Apabila sampai di hari perhitungan, maka ia akan berkata,” Ini, inilah segala iman dan “amalmu”. Perhatikanlah”. Kemudian malaikat sebelah kiri akan melirik, “Aaahhh.. Pak, akhlakmu yang buruk, dan dosa-dosamu yang besar menyebabkan daftar yang lebih panjang lagi. Melihat kenyataan ini saya kuatir, kalau-kalau tidak ada jalan selain menuju ke Neraka.”
Bung Karno telah menunjukkan Islam lewat amal dan praktik ibadahnya. Ia juga telah membuktikan melalui laku dan perjuangan hidupnya. Kita mengenang Islam Bung Karno tidak hanya Islam pepesan, bukan hanya Islam dalam gestur, tetapi Islam yang merasuk dalam batin, yang rasional dan dinamis terhadap perubahan zaman.
Belum ada tanggapan.