Emha, hanyalah salah satu dari berbagai julukan. Ada yang memanggil ustadz, kiai, budayawan, sastrawan, penulis, penyair. Cak Nun, Ia memang manusia pembelajar. Meski tak purna merampungkan pendidikannya di bangku formal. Karyanya bertebaran baik buku puisi, esai maupun makalah-makalahnya di berbagai seminar. Apa yang ia suarakan seperti gending dalam gamelan jawa. Ada nada yang teratur, irama yang merasuk ke jiwa, musik yang dalam.
Kiai Kanjeng, ia menamainya kelompok musiknya demikian. Bersama Kiai Kanjeng, ia mendakwahkan islam, mendendangkan Indonesia. Ia tak pernah merencanakan sebelumnya sebagai pendakwah. Ia hanya menyampaikan menurut yang ia terima, renungkan, pelajari dan ia tangkap dari pesan Al-quran dan Sunnah. Jangan percaya siapapun, jangan percaya Emha, percayalah pada Allah dan Rasul-Nya, pada kitab dan sunnahnya.
Hidupnya punya riwayat panjang. Ia tak hanya mengenal era Soeharto hingga Era Gus Dur. Ia hidup dari era Soekarno sampai dengan Jokowi. Sebagai pendakwah islam di Indonesia, ia memiliki cara atau metode yang lain dari yang lain. Ada yang menilai ceramahnya hanya guyonan semata, ada yang menilai dakwahnya nyleneh(aneh), ada pula yang rajin mengikuti pengajiannya dari daerah ke daerah, bahkan rela menyimak khusyuk meski berdesak-desakan.
Dendang musik menemani dari pengajian-pengajiannya. Solawat, hingga lagu religi bernafaskan jawa tak pernah ketinggalan untuk didendangkan oleh Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Seburuk apapun orang menilai pengajiannya, seramai apapun orang membincangkannya, Cak Nun tetap bergerak, berjalan. Ia seperti tetap tegak, tegap, menempuh dakwah islam dengan jalan kebudayaan, dengan dialog. “Saya bikin acara Maiyah di mana-mana untuk mengajak agar Anda selalu yakin. Jalan saja terus. Yakinlah apa yang Anda yakini akan terjadi. Perkara ternyata tidak terjadi, ah sudah biasa begitu sajalah. Yang penting shalawatan lagi, istighatsah lagi, rabbana atina fiddunya hasanah amin ya robbal alamiin. Tidak terkabul, tidak apa-apa. Berdoa terus, terus dan terus, dan jangan pernah berhenti.”
Pikirannya terus menerus memikirkan Indonesia. Ia resah saat melihat perpecahan antara umat, apalagi sesama umat islam. “Bangsa Indonesia sekarang adalah Adam yang didatangi iblisdibujuk oleh kenikmatan palsu. Dan iblis seorang diplomat, seorang juru kampanye yang ulung sampai pengikutnya banyak sekali. Dakwahnya adalah mengajak orang untuk terus belajar, terus melakukan inovasi, terus maju ke depan tanpa menafikkan yang telah lewat. Ia berbicara tentang demokrasi, tentang sejarah, tentang wayang, tentang kebudayaan, tentang Indonesia. Jamaahnya beragam, ada orang islam, ada orang NU, ada orang Muhammadiyah, ada pula orang beragama lain.
Ia sepakat bila orang mencintai Islam, ia juga mencintai Indonesia. Merawat dengan segenap daya upaya dan usaha. Memberinya cinta sedalam dan seluas yang bisa ia beri. Menurutnya, cara mencintai Indonesia adalah dalam keadaan apapun, hujan atau kemarau, gelap atau terang, ekonomi krisis atau sejahtera, tetap berlaku baik, tetap berlaku lembut, tetap berlaku penuh kasih sayang, tetap berlaku untuk menciptakan keseimbangan satu sama lain. Sebenarnya itu cukup untuk apa yang kita lakukan menjadi bangsa Indonesia.
Dalam Maiyah yang menarik selalu ada tanya jawab, dialog. Dalam dialog ini, kita tak sepenuhnya disalahkan, dibenarkan. Kita diajak untuk memikirkan apa yang kita tanyakan dengan sungguh-sungguh. Kita diajak untuk merenungi Indonesia, mencintai Indonesia, dengan begitu kita diajak pula untuk mencintai islam, menyayangi islam. Dengan kasih sayang, dengan menebar rahmat, dengan menebar cinta dan welas asih. Bukan dengan saling mengkafirkan, saling tuding menyesatkan, dan saling membenci.
Perbedaan mahzab yang selama ini dianut oleh umat islam seringkali menimbulkan gesekan, hingga perpecahan. Padahal mahzab adalah bagian dari cara orang menafsirkan islam. Bila dalam menafsirkan saja kita sudah berpecah belah, maka bagaimana mungkin orang bisa sampai kepada kebenaran islam itu sendiri?. Inilah yang layak kita renungkan bersama, bahwa semua orang islam sedang berproses mencari jalan kebenaran. Dan dalam proses pencarian itu, kita tak boleh atau dilarang untuk saling menghakimi dan membenci satu sama lain.
Islam, sebagai sebuah ajaran mengajarkan kita untuk rahmatan lil alamin. Harus bisa memberi manfaat, kesenangan, ketenangan pada liyan. Bila orang islam tak bisa memberikan kenyamanan, ketenteraman pada orang lain, berarti dia belum utuh islamnya. Nilai-nilai islam yang penuh cinta, penuh kasih, dan memberi tempat kepada kebudayaan adalah islam yang coba didakwahkan oleh Emha Ainun Najib. Jauh dari kesan membenci, menghakimi, saling tuding dan saling serang antar kelompok islam.
Emha bersama Kiai Kanjeng telah membawa islam yang sejuk dan toleran. Sehingga ia pun kerapkali diundang bersama Kiai Kanjeng untuk menyampaikan dan mendakwahkan islam sampai ke negeri manca. Islam bila didakwahkan dengan lembut, penuh kasih sayang, dan penuh kearifan, akhirnya pun bisa diterima dimana-mana, bahkan seluruh dunia.
Dengan memahami islam secara luas, secara rasional, secara arif, islam Indonesia pun akan tetap diterima sampai kapanpun. Sebab sejatinya islam Indonesia sudah begitu pengalaman dengan perbedaan dan heterogenitas masyarakatnya. Emha telah menyuarakan kembali islam dengan dialog, dengan akal, dengan tetap diiringi dengan kelembutan dan nada-nada yang segar, tak monoton, dan membawanya jauh dari kebencian dan saling mencaci.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo
Belum ada tanggapan.