Dalam dunia ini, jika ada hal yang lebih menarik dari cinta, ya itu Sepak Bola.
–Andrea Hirata
Kata-kata Andrea di atas mungkin terdengar ganjil, agak hiperbolis atau bagi sebagian orang tampak mengada-ada. Namun, jika dikonfrontasikan dengan realitas kehidupan manusia global, kata-kata ini tampak bisa memperoleh pijakan legitimasinya. Sepak bola memang telah merangsek masuk ke dalam hampir tiap insan manusia di bawah kolong langit ini. Dari kota Metropolitan hingga pelosok-pelosok kampung dan desa, roh sepak bola tampak telah merasuk ke dalam setiap penduduk. Orang muda maupun orang tua, anak-anak hingga orang dewasa, selalu melek jika begadang nonton pertandingan bola atau sekadar bincang-bincang tentang bola. Pelbagai klub papan atas Eropa dihafal lengkap dengan para pemain Starting Eleven dan pelatihnya, bahkan hingga nama stadion yang menjadi markas besar para klub tersebut. Nama Leo Messi Dan Cristiano Ronaldo misalnya, niscaya lebih populer dibanding artis papan atas dunia lain atau presiden di salah satu negara berkembang. Sepak bola tampaknya bukan saja menjadi hiburan yang menyenangkan di kala penat atau stres, melainkan telah menjadi gaya hidup global. Tidak tahu bola bisa sinonim dengan kolot dan kurang gaul. Meminjam bahasa G.W.F Hegel, sepak bola boleh jadi telah menjadi semacam “roh universal” yang merasuki dunia saat ini. “Roh universal” ini menjadi fenomena menarik karena telah menguasai hampir tiap orang di dunia ini.
Filosofi Sepak Bola
Fenomena menarik ini kemudian memantik pertanyaan-pertanyaan: mengapa manusia bisa suka bola? Mengapa bola demikian begitu dipuja dan bahkan di beberapa negara (Brazil dan Argentina) diperlakukan layaknya agama? Mudji Sutrisno, melalui artikel ‘Homo Ludens dalam Bola’ dalam bukunya Oase Estetis (2006:115-118) berpendapat bahwa sepak bola disenangi karena sifat dasar manusia yang senang hiburan atau permainan-permainan. Ia menulis, “Bola amat menyatu dengan pathos, gelora hati manusia untuk bermain-main.” Akan tetapi, mengapa di antara olahraga lain, sepak bola justru secara kasat mata tampak paling banyak diminati? Mengapa di zaman teknologi ini sepak bola justru secara mondial ditonton oleh milyaran orang di seluruh dunia? Apa unsur paling intrinsik dari permainan sepakbola secara kemanusiaan eksistensial?
Mudji menjawab, bola sangat digemari karena ia sekaligus membahasakan tidak hanya permainan ciri hakikih manusia, tetapi juga permainan yang melibatkan dirinya sebagai homo rationalis (manusia berbudi yang dengan kelihaian budi dan ketrampilan olah budi cerdas menggiring bola), dimana sang pemain melakukan praksis kecerdasan untuk mengecoh lawan dengan kegesitan gerak kaki dan lari untuk memasukan bola ke gawang. Semua energi bermain dengan hati dan kombinasi cerdas diramu untuk sebuah pencapaian tujuan pertandingan yakni gol. Dengan demikian, kecerdasan, teknik, permainan yang brilian inilah yang menggerakan manusia untuk menyukai sepak bola.
Bertolak dari gagasan ini, sepak bola in se, sejatinya memiliki filosofinya tersendiri. Secara kasat mata, selain sebagai permainan yang membutuhkan kecerdasan dalam mengolah dan mengalirkan bola, sepak bola juga merupakan sebuah permainan kolektif. Ia misalnya berbeda dengan renang atau atletik yang mengabsolutkan kemampuan individu. Dalam sepak bola, demi meraih kemenangan, kolektivitas, soliditas dan kerja kolektif tim sangat dibutuhkan. Percuma kita punya pemain hebat dalam tim jika ia egois dan tidak pernah mau bekerja sama dengan rekan setimnya. Sepak bola secara eksplisit menggambarkan ciri manusia yang lain sebagai ens sociale atau sebagai homo homini socium. Kesosialan manusia sangat tampak dan kentara dalam permainan ini. Dengan demikian, tampak sepak bola pun mempunyai nilai filosofis yang khas. Permainan ini bukan sekadar permainan murahan untuk hiburan sesaat. Dengan sepak bola, aspek kecerdasan seorang anak manusia dapat ditonjolkan, sosialitas pun dapat diperlihatkan. Kerja sama, soliditas, sportivitas dan kolektivitas dapat kita petik dari olahraga ini.
Menggandeng Nasionalisme
Secara kolektif, sepak bola boleh menjadi sebuah kultur baru bagi banyak bangsa. Sejak ditemukan di Inggris ratusan tahun silam, sepak bola telah menjadi sarana untuk mempertemukan banyak bangsa serentak mengangkat gengsi dan citra bangsa. Dengan kata lain, sepak bola telah bertransformasi dari sebuah olahraga atau permainan hiburan menjadi permainan yang menggandeng nasionalisme bangsa.
Piala Dunia 1930 menjadi awal bagaimana sepak bola kemudian dipersandingkan dengan nasionalisme sebuah bangsa. Sejarah kemudian membuktikan bahwa perang antar bangsa di lapangan bola tidak kalah sengit dengan perang dunia kedua. Pelbagai trik, tips, bahkan dengan kecurangan sekalipun rela dilakukan demi mengharumkan nama bangsa di jagat persepakbolahan dunia. Masih segar dalam ingatan kita Thierry Henry, pemain asal Prancis yang mengunakan tangannya untuk membawa Prancis lolos ke Afrika Selatan pada World Cup 2010. Tindakan itu, tentu tidak kalah heboh dengan “gol tangan Tuhannya” Diego Armando Maradona saat World Cup 1986 di Meksiko. Yang pertama menyisakan tragedi dan konflik bagi publik Prancis. Namun, sosok yang kedua justru dianggap sebagai pahlawan negaranya, karena telah mengalahkan musuh bebuyutan mereka di piala dunia dengan sebuah “kenakalan ala remaja jalanan.”
Drama dalam panggung sepak bola antar bangsa tentu selalu menarik perhatian publik. Di sini sisi nasionalisme sangat ditonjolkan. Citra dan gengsi bangsa diadu di lapangan. Bahkan ada anekdot yang sempat terujar bahwa 11 pemain yang berlaga di lapangan hijau selalu merupakan miniatur dari bangsa yang dibelanya. Sebuah penilaian yang terlalu hiperbolis tentunya. Namun tentu saja mengandung sedikit kebenaran. Dalam 11 pemain, kita bisa mengenal bangsa yang bersangkutan. Proses pengenalan itu, bukan saja terjadi secara fisik seperti warna kulit, postur atau tinggi badan; tetapi juga secara rohani melalui semangat juang, aksi heroik atau aksi pantang menyerah yang diperlihatkan oleh para pemain. Sebagai misal, para pemain Asia seperti Jepang, Korea Selatan atau China cenderung selalu memperlihatkan mental dan semangat juang dan semangat pantang menyerah yang tinggi. Para pemain dari negara Eropa cenderung memperlihatkan kecerdasan teknik yang tinggi dan agak sedikit menampilkan arogansi, berlawanan dengan para pemain Afrika yang mengandalkan otot dan fisik mereka yang memang besar dan kuat. Sementara itu, para pemain dari Amerika Latin seperti Argentina dan Brazil selalu memperlihatkan gaya main cerdas, penuh kolektivitas, dan indah. Memang, penilaian-penilaian ini hanya merupakan generalisasi kasar. Di lapangan, yang terjadi selalu sangat kompleks. Namun, kekhasan tiap negara, sadar atau tidak pasti dipertunjukan di lapangan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam hal sepak bola, 11 pemain timnas Indonesia yang merumput di lapangan sebenarnya sangat merepresentasikan karakteristik bangsa kita. Para pemain yang berasal dari pelbagai daerah seperti batak, Jawa, Sunda, hingga Papua memperlihatkan pluralitas suku dan budaya serta agama di Indonesia. Fakta bahwa kita mampu bersatu dengan damai membentuk suatu bangsa (atau “komunitas citra yang dibayangkan” seturut yang dikatakan Benedict Anderson) bernama Indonesia juga diperlihatkan di lapangan melalui para pemain kita yang menampilkan kerja sama dan kekompakan tim yang menawan. Pada tataran ini, melalui sepak bola, seluruh ikatan primordial dirobohkan. Sepak bola secara tak langsung mengajarkan kita tentang indahnya keberagaman dan kekayaan kultural yang dimiliki bangsa kita. Kekayaan itu semakin indah jika ditampilkan dalam sebuah semangat kekeluargaan dan kekompakkan di atas lapangan hijau. Kekayaan itu juga akan semakin lengkap jika kemudian tim nasional kita dapat mengharumkan nama bangsa dengan meraih kemenangan dalam pertandingan.
Namun, sayangnya, dunia sepak bola kita telah terlalu terkontaminasi dengan dunia politik yang identik dengan kebusukannya itu. Polemik PSSI yang berujung pada boikot FIFA, kompetisi Liga Super Indonesia (LSI) yang mandek menambah luka pada tubuh sepak bola kita. Alhasil, akibat pelbagai kasus ini, tim nasional kita pun terkena getahnya. Padahal, momen ketika tim kita bertanding mungkin merupakan satu dari sekian sedikit momen bagaimana nasionalisme kita menggebu-gebu dalam dada. Teriakan dukungan, walaupun mungkin hanya dari layar kaca selalu terdengar kencang jika Indonesia bermain. Kemenangan Boas Salosa dan kawan-kawan atas Malaysia beberapa waktu lalu dianggap sebagai sebuah kemenangan dan hiburan yang menggembirakan di tengah pelbagai hiruk-pikuk isu-isu politik yang terus menghujani negri ini.
Sepak bola memang bisa merekatkan semangat integrasi dan nasionalisme kita. Melalui sepak bola, kita sebagai bangsa bisa bersatu hati, bangga jika tim nasional kita menang dan menundukan kepala jika ternyata tim kita kalah. Api sepak bola turut membakar gairah nasionalisme kita yang kian redup akibat pelbagai persoalan yang terus menyerang negeri tercinta. Karena itu, kita berharap, dunia sepak bola kita secepatnya berbenah. Membenahi sepak bola sangat urgen karena dapat juga berarti serentak membenahi rasa nasionalisme kita terhadap negara.
Belum ada tanggapan.