Oleh: Elvan De Porres (Maumere, Flores)
“Seseorang yang setelah 17 Agustus 1945 nasibnya tak jadi lebih baik, bahkan memburuk, bertanya: “Kapan merdeka selesai?” Jika kita lihat “merdeka” adalah sebuah laku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu-yang berlangsung dalam sejarah sebagai proses-tak punya titik yang tetap di depan untuk dituju. Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputuskan kembali.” (Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, 16 Agustus 2012).
Lelucon kemerdekaan dalam catatan pinggir Goenawan Mohammad Origami itu sejatinya merupakan sebuah refleksi kritis atas perjalanan bangsa ini dalam euforia kemerdekaan. Sastrawan dan budayawan ini menegaskan bahwa merdeka bukanlah sesuatu yang terpatok mati, tergurat pagan, ataupun tergores kokoh sehingga tak perlu dibicarakan dan ditilik lagi. Baginya, merdeka berarti proses dan dengannya, aksi itu akan berlangsung terus-menerus. Kemerdekaan sebagai proses tak membutuhkan pertanyaan kapan selesainya. Sebab, kemerdekaan itu sama seperti hidup yang pada gatranya mesti direvitalisasi nilai-nilainya. Realitas bangsa ini menunjukkan keadaan demikian. Bahwasannya, membicarakan kemerdekaan konteks masa kini bukanlah tentang membebaskan diri dari penjajah asing, melainkan menyingkapkan diri dari selubung situasi minor bangsa sendiri. Dan, ini merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus.
Momen kemerdekaan 17 Agustus merupakan kesempatan berharga merefleksikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak dapat dipungkiri terdapat berbagai macam refleksi dan juga perspektif dalam etalase kemerdekaan itu. Nah, pada tataran ini berbicara tentang kaum muda adalah momen tampan untuk menegaskan ragam refleksi termaksud. Ini karena peristiwa 17 Agustus tujuh puluh tahun lalu itu tak luput dari pengaruh golongan muda yang dengan api semangat nasionalismenya mendesak kaum tua memproklamasikan kemerdekaan. Adapun kumpulan/perhimpunan kepemudaan dari berbagai macam daerah, bersatu padu membela kepentingan rakyat Indonesia. Keberperanan kaum muda pada masa kolonialisme sungguh tampak nyata dalam semangat persatuannya untuk kemerdekaan Indonesia itu.
Selanjutnya, mari berbicara mengenai makna kemerdekaan masa kini dalam konteks kaum muda. Satu hal yang menyeletup dan layak dibahas ialah kebebasan berekspresi kaum muda itu sendiri. Artinya, kemerdekaan masa kini bagi kaum muda adalah soal pengaktualisasian dirinya. “Merdeka” berarti “berekspresi” dan sepakat dengan Goenawan Mohammad, merupakan seni berproses. Bukan sekali jadi, bukan pula hal instan sebab membicarakannya pada masa sekarang butuh banyak batasan perspektif kritis. Jika tidak, ini hanya akan menimbulkan tilikan pesimistis dan bisa jadi cenderung dipandang negatif.
Robert Dahl dalam karyanya Polyarchy (1971:1-3) menyodorkan delapan jaminan konstitusional sebagai syarat perlu untuk sebuah demokrasi. Salah satu poin yang diutarakan Dahl dan menjadi basis argumentasi tesis tulisan ini ialah kebebasan berekspresi. Saya kira Dahl cukup jeli melihat konstelasi sebuah demokrasi. Bahwasannya, kebebasan berekspresi merupakan hal penting dalam derap langkah perjalanan bangsa. Inilah yang harus disadari oleh setiap komponen bangsa ini, karena membatasi ataupun melenyapkan kebebasan berekspresi seseorang hanyalah merupakan perompalan terhadap demokrasi itu sendiri. Tak pelak, situasi bangsa tentunya menjadi rigid/kaku dan lumpuh.
Sebenarnya istilah “kebebasan berekspresi” itu sendiri telah ada sejak zaman kuno, setidaknya semenjak masa Polis Athena di Yunani sekitar 2400 tahun yang lalu. Akan tetapi, jenis kebebasan berekspresi pada saat itu masih amat terbatas dan hanya diberikan kepada sekelompok kecil masyarakat. Semenjak saat itu, istilah “kebebasan berekspresi” digunakan dengan amat luas dan dikonseptualisasikan (juga direkonseptualisasikan) oleh berbagai kelompok masyarakat (bdk. UNESCO, 2013). Kebebasan berekspresi ini merupakan suatu hak bagi kaum muda untuk mengaktualisasikan potensi dirinya, berupa kreativitas-kreativitas yang ada. Karena masa muda merupakan momen tampan penemuan jati diri, kebebasan berekspresi merupakan bagian dari proses itu. Kaum muda mesti mendapatkan dimensi locus dan tempus yang mantap.
Harus ada kemerdekaan riil masa kini berkaitan dengan ini. Balutan optimisme pun menjadi harga mati tak tanggung-tanggungnya. Bahwasannya, membiarkan kebebasan berekspresi itu tumbuh, mekar, dan harum mewangi mesti juga diiringi keyakinan dan kepercayaan penuh. Keyakinan dan kepercayaan penuh termaktub akan menggring segala kreativitas dan itikad baik kaum muda pada sebuah hegemoni rasa. Hegemoni rasa pada tataran ini merupakan suatu kepuasan dan kebanggaan kolektif atas pengembangan diri itu.
Terdapat banyak hal berkenaan dengan kebebasan berekspresi. Pada intinya, itu mesti merupakan item positif yang memberi penegasan akan hakikat kemanusiaan manusia. Hal-hal semacam penyaluran ide dan kreativitas dalam bidang kesenian; musik, literer, lukis, dll, aspek pengembangan kualitas akademis, kebebasan menyuarakan pendapat secara lisan ataupun tulisan, dan lain sebagainya mestilah bernuansa positif. Idealnya, pengaktualisasian potensi dan kreativitas diri bermakna bagi kehidupan itu sendiri. Ini tentunya menjadi sebuah harapan yang mesti terwujudnyatakan, sepakat dengan komentar David Hume, filsuf abad pencerahan, bahwa kebebasan merupakan prasyarat untuk menciptakan kondisi yang makmur. Atau dengan kata lain sebagai bagian dari pencerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang notabene merupakan fungsi negara dalam mukadimah UUD 1945.
Namun, bangunan kebebasan mengekspresikan diri ini akan menunjukkan taji maknanya, jika dan hanya jika dibarengi basis tanggung jawab. Kebebasan tanpa tanggung jawab itu mubasir. Kesadaran semacam ini menjadi penting bagi setiap diri anak muda. Sebab, seringkali perkembangan zaman yang tak menentu menjadikan generasi muda larut dalam pusaran arus negatifnya. Di sini, kebebasan (baca: kemerdekaan) berekspresi mungkin dilihat miris sebab hanya menelurkan kesia-siaan. Akan tetapi, apabila ada kontrol dan bimbingan yang tepat, maksud baik dari pengaktualisasian diri itu dapat tercapai.
Dengan demikian, anak muda zaman sekarang patut dan pantas mendapat perhatian nyata. Perhatian ini datang dari tiga komponen penting, yakni orang tua, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Orang tua mesti berpegang teguh pada prinsip kebebasan yang bertanggung jawab, sehingga ruang dan waktu yang diberikan kepada generasi muda sungguh berkualitas. Hal yang sama juga mesti dimiliki oleh setiap lembaga pendidikan dan komponen masyarakat. Segala kreativitas yang ada harus diberi dukungan nyata. Pada level ini, apresiasi menjadi bagian penting. Jangan sampai kreativitas anak muda malah dikekang karena adanya sikap pesimistis. Bukankah eksistensi ketiga institusi sosial itu adalah untuk memberikan bimbingan kepada para anak muda? Dengan demikian, apabila dalam pengembangan dirinya itu terdapat kesalahan-kesalahan, mereka dapat diberi teguran dan nasihat konstruktif. Hematnya, kebebasan berekspresi kaum muda akan tergiring baik bila dibarengi dampingan proporsional dari pihak orang tua, lembaga pendidikan, dan kelompok masyarakat. Ini mampu menepis segala asumsi negatif yang seringkali menghinggapi diri kaum muda.
Pada akhirnya, kebebasan berekspresi kaum muda merupakan sesuatu yang penting dalam tonggak kehidupan berbangsa dan bernegara. Masa depan bangsa ini terletak pada pundak kaum muda yang cerdas, kreatif, dan bermutu. Oleh karena itu, setiap pengembangan dirinya harus didukung secara nyata supaya tidak terjerumus ke dalam gerowong aksi destuktif. Dengan demikian, makna kemerdekaan mesti berindikasi juga pada kehidupan kaum muda. Jangan sampai Indonesia boleh merayakan kemerdekaannya, tetapi gerak-gerik anak muda kita selalu direpresi dan dipersepsi negatif. Akhirukalam, saya yakin apabila kaum muda kita dibimbing dengan baik dan benar, merdeka sebagai laku akan tetap berproses dalam poros kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin baik.
Editor: Willy Wonga
Belum ada tanggapan.