etos-pengetahuan-agama-islam

Islam dan Etos Pengetahuan

Albert Einstein pernah berujar “Agama tanpa ilmu adalah buta, ilmu tanpa agama lumpuh.” Apa yang dikatakan Einstein benar adanya. Seorang yang memahami agama tanpa ilmu ia ibarat seorang yang buta. Bisakah seorang buta melihat dengan jelas dan terang?. Itulah perumpamaan ketika kita begitu fanatik terhadap agama, tapi kita lupa mempelajari dan mengkajinya lebih jauh. Agama, sebelum memasuki tahapan praktik, ia melalui proses terlebih dahulu. Salah satu proses orang beragama adalah berakal. Karena itulah, agama sering menegaskan bahwa orang tak berakal tak wajib beragama. Begitu pula orang yang beragama tanpa menggunakan akal, ia tak dianggap bernilai di mata Tuhan.

Islam sendiri adalah agama yang datang sesuai fitrah manusia. Artinya, akal menjadi jalan dalam memahaminya. Orang Islam tentu tak lupa kisah pencarian Tuhan Ibrahim. Ibrahim bukan hanya menjadi simbol yang disejajarkan dengan Nabi Muhammad SAW, tapi juga diangkat kedudukan di mata Tuhan dengan meletakkan dasar-dasar agama melalui praktik agama yang dijalankan Ibrahim seperti kurban maupun ibadah haji. Ibrahim sendiri tak bakal mengalami dan menjalankan apa yang diperintah Tuhan dalam mimpinya. Apakah Ibrahim tak menalar sebelum menjalankan perintah Alloh kala itu?. Tentu ia melakukan dialog batin maupun akal terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menjalankan perintah Tuhan menyembelih Ismail.

Pada Muhammad SAW, kita justru melihat kisah tentang bagaimana akal menuntun Muhammad SAW lebih detail saat menjelang beliau menerima wahyu. Sebelum menerima wahyu, nabi sendiri memikirkan apa yang dialami oleh masyarakatnya, lingkungannya, dan sebagainya. Barulah kemudian ia merenung, berfikir, menyepi ke dalam gua Hira. Disanalah kelak kita semakin memahami, bahwa peranan akal dan perintah untuk menggunakan akal, mempertajam dan membuat ia tunduk pada Tuhan lebih dipertegas.

Dalam Al-qur’an sendiri, cara Tuhan menyeru manusia untuk terus memantik akalnya sering diawali dengan pertanyaan sindiran. “Apakah manusia tidak memperhatikan?”, “Apakah tidak ada bedanya antara orang yang berfikir dengan orang yang tidak berfikir?”. Dalam sebuah hadis, Nabi pernah bersabda “Satu jam bertafakur lebih baik daripada setahun beribadah.” Karena bingung, kita bertanya, “ Dan, bisakah Alquran bermanfaat tanpa ilmu?” ‘Ali (w.40 H/661M), murid dan sahabatnya lalu menyatakan, “Tuhan tidak memberikan sesuatu yang lebih berharga kepada hamba-hambaNya ketimbang intelegensi.” (El Fadl, 2001 : 23).

Apa yang ditulis El Fadl mempertegas konsepsi islam tentang pentingnya memahami agama dengan ilmu pengetahuan. Dari pengetahuan dan ilmu, seorang manusia bukan hanya bertambah yakin dan mantab, melainkan telah meletakkan fondasi dan sendi yang kokoh dalam kehidupan kemanusiaan dan keagamaan. Sebaliknya, bila manusia menjalankan agama hanya ikut-ikutan semata tanpa pengetahuan, ia akan rentan dan penuh kebimbangan, serta keraguan.

Kita jadi ingat bagaimana sejarah Al-quran dibukukan kala itu. Alquran dibukukan saat umat islam memahami bahwa lisan pada akhirnya harus ditopang dengan tulisan. Selain membantu dalam mendokumentasikan berbagai pengetahuan tentang agama kala itu, tulisan ikut pula memajukan sejarah peradaban manusia di masa mendatang. Kita mendapati kisah ini dari buku Ziauddin Sardar (1988) berjudul Tantangan Dunia Islam Abad 21; Menjangkau Informasi : “ Selama abad pertama islam, tradisi lisan mendominasi dan sarana utama dalam menyebarkan informasi. Tetapi, segera menjadi jelas bahwa ingatan tak dapat diandalkan sepenuhnya; dan catatan tertulis pun mulai berlaku diantara penuntut ilmu pengetahuan. Saad Ibnu Jubair (wafat pada 714 Masehi) berkata : ” Pernah di suatu kuliah Ibnu Abbas, aku biasa mencatat pada lembaran; bila telah penuh aku menuliskannya pada kulit sepatuku dan kemudian di tanganku”; dan “Ayahku sering berkata kepadaku : Hafalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, maka tulislah. Dan jika kau memerlukan atau tak ingat lagi, maka bukumu akan membantumu.”

Cerita Ibnu Jubair amat tepat bila ditarik dengan kondisi abad ini. Meski kita telah banyak diskusi atau dialog, bahkan berdebat, kalau tak ada dokumentasi tertulis, maka orang akan terganjal pada faktor ingatan yang tak sempurna. Disinilah, catatan dan buku menjadi pembantu sekaligus jalan kemajuan peradaban. Dari situlah kita faham bahwa kemajuan peradaban dimulai dari kemajuan buku-buku dan kemajuan ilmu pengetahuan yang menopangnya.

Persoalan ilmu pengetahuan dan semangat kemajuan inilah yang menjadi salah satu problem kemunduran umat islam pada khususnya. Fondasi ilmu pengetahuan umat islam kemudian tak dibangun kokoh, sehingga umat terombang ambing oleh ketidakpastian, keraguan, bahkan perpecahan.

Seorang pemikir Islam Indonesia Sidi Gazalba di bukunya Sistematika Filsafat (1987) menulis : “Banyak yang tidak mengira, bahwa masalah utama kita sebagai bangsa dan nasion dalam kurun ini adalah sesungguhnya soal filsafat.” Di negeri kita sendiri, kita turut prihatin, utamanya di sekolah-sekolah berbasis islam, pelajaran filsafat, justru tak menjadi mata pelajaran pokok sebelum anak-anak mengenal fiqih. Anak dijejali langsung praktik sholat tanpa lebih dulu mengenal Tuhan mereka.

Inilah yang menjadi ironi relasi antara islam dan etos pengetahuan saat ini. Islam belum menjadi spirit yang sejajar dengan etos pengetahuan, sehingga, meski terlihat atau nampak menonjol, tapi rapuh dan keropos bangunan spiritualnya. Mari sejenak menengok kisah kejayaan seratus tahun pertama setelah datangnya islam yang ditulis oleh Ziauddin Sardar (1988) : “ Industri buku maju pesat sedemikian, sehingga kaum Muslimin menjadi “ahl al-kitab” dalam arti sebenar-benarnya; dan membaca, bukan saja Bacaan Mulia (Al-qur’an) menjadi salah satu kesibukan utama. Hubungan antara membaca dan Al-qur’an adalah penting: ia mempraktekkan gagasan bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan ibadah, dan bahwa ‘ilm dan ibadah merupakan dua sisi dari satu sisi mata uang logam.”

Tentu saja kita merindukan masa itu kembali hadir di tengah-tengah kita. Saat buku-buku bukan saja menjadi perabot dan pelengkap semata, tapi sudah menjadi kebutuhan, dan nafas pengetahuan setiap rumah tangga muslim seperti di masa lalu.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo

*) Sumber Gambar  : duniaperpustakaan.com

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan