Padmosusastra lahir di Kampung Sraten. Meski lahir di kalangan abdi dalem srati—pawang gajah—, tak lantas membuat dirinya tumbuh sebagai penjinak gajah. Ia keluar dari gua garba ibunya pada Jumat Pon, 21 Mulud, Tahun Alip 1771 atau 1843 M padmosusastra dilahirkan dengan nama Suwardi.
Padmo kecil tidak mengenyam pendidikan formal. Ia justru digembleng oleh pendidikan dari tangan ayahnya sendiri. Melalui didikan bapaknya itulah, justru di usia 6 tahun telah menunjukkan tanda-tanda sebagai ‘bocah pinter’. Ia mudah menangkap apa yang telah diberikan bapaknya. Bapaknya mengajarinya sastra, baca tulis aksara jawa.
Usia 9 tahun Suwardi ia telah menaklukkan baca tulis aksara jawa dan melayu. Bapaknya ingin anaknya tumbuh menjadi anak mandiri dan menjadi ‘satria pinilih’. Di usianya ke-9 tahun ini, ia diberi tanggungjawab menjadi Mantri Gehong Kiwa. Ia mendapatkan julukan Ngabehi Kartadirana, atau sering dipanggil sebagai Gus Bei.
Tepat di usia ke-19 tahun, ia naik pangkat menjadi Mantri Sadasa (Panewu Jaksa nem), dan mendapat gelar Ngabei Bangsayuda. Berkat ketekunan dan kepiawaiannya, karirnya melesat hingga mendapat tugas di Kepatihan. Padmosusastra kemudian menjadi Panewu Jaksa Gedhong Kiwa dengan gelar Ngabei Kartopradata. Di usia 42 tahun, Padmosusastra undur diri dari jagat birokrasi Istana karena masalah utang dengan Cina Mendring. Ia memilih jalan sebagai orang merdeka, dengan sebutan Ki Padmosusastra dengan memproklamirkan diri sebagai “Wong mardika kang marsudi kasusastran Jawa ing Surakarta.”
Selepas dari Keraton, jiwanya terbukti lebih merdeka. Sebagai pembelajar yang tekun, ulet dan telaten ia diajak oleh Van der Pan untuk mengajar di sekolah Belanda di Batavia. Pergaulannya dengan orang Belanda di Batavia meluaskan pergaulannya dengan kaum Belanda yang ingin belajar Jawa. C.F.Winter, Roorda, sampai dengan H.A.De Nooy pejabat pemerintah Belanda yang mengurusi urusan pendidikan pribumi. De Nooy kagum akan kepandaian Padmosusastra lalu membawanya ke negeri Belanda.
Karir dalam bidang tulis-menulis Ki Padmosusastra justru tumbuh subur dan berkembang setelah ia lepas dari Keraton. Pergaulannya dengan intelektual Belanda membuatnya berada dalam persimpangan antara kembali kepada karya sastra Jawa bercorak lama atau mengambil bentuk baru. Bandung Mawardi (2020) menulis, “ Ki Padmosusastra bergerak ingin menapaki jalan modern, tak lagi terlalu bergantung pada sastra lama. Pilihan itu dibuktikan, tapi pengaruh lama sulit ditiadakan. Ki Padmosusastra tetap saja sadar, ada pijakan-pijakan kokoh dari masa lalu yang memang harus diakui menentukan arah dan bobot kesusasteraan di Jawa.”
Dasar tubuh tua renta yang tidak kuasa menahan siksa musim dingin di Belanda, Padmosusastra akhirnya pulang ke tanah air. Ia menjadi juru warta di surat kabar Jawikandha. Selain menjadi wartawan, ia juga menjadi penulis di surat kabar. Kebanyakan karya Padmosusastra pada masa itu berupa prosa.
Kepergiannya di Belanda telah ikut membawa pengaruh pada karya-karyanya. Dhanu Priyo Prabowo (2010) menerka bahwa orang Belanda berniat “menguras” pengetahuan Padmosusastra yang jarang dimiliki oleh orang Jawa. Dalam aspek paedagogi, bangsa Belanda lebih berpengalaman mengenai metode pengajaran, maka mereka menyedot kawruh di sekujur tubuh Padmosusastra sekuat mungkin. Pengetahuannya dibagikan, ditata, dicetak, dan dijadikan bahan utam dalam mengajar di Universitas Kesusasteraan di Belanda.” (Priyatmoko, Heri, 2020).
Padmosusastra sadar akan kelemahan orang Jawa sendiri. Ia justru merasa heran mengapa yang lebih berniat mempelajari Jawa justru orang Eropa. Ia mengatakan “Dan sekarang, pakar-pakar terbesar dalam sastra Jawa berasal dari bangsa lain, kembali ke sini untuk mengajar kembali orang-orang Jawa.” (Mawardi, Bandung, 2020).
Lakon Padmosusastra belum selesai. Ketika KRA Sasradiningrat hendak mendirikan bibliotik di Surakarta tahun 1889, maka Ki Padmosusastra mendapat mandat sebagai mantri. Ia masuk kembali ke dalam lingkaran abdi dalem dengan sebutan Ngabehi Wirapustaka. Kerja-kerja kreatif pun ditelorkan oleh Ki padmosusastra. Museum Radya Pustaka pun menerbitkan majalah Jawa seperti : Sasadara, Candrakanta, dan Waradarma.
Berkat kerja dan ketekunannya ia naik pangkat di tahun 1920, sebagai Abdi Dalem Panewu Garap dengan sebutan Ngabehi Prajapustaka. Raga yang semakin ringkih dan tiada berdaya membuatnya diizinkan bekerja dari rumah. Tahun 1924, ia menderita sakit dan dipensiunkan oleh pihak Keraton.
Ia tutup usia pada hari Senin Wage, 1 Februari 1926. Karya-karyanya tak semoncer gurunya Ranggawarsita. Namun kerja dan ketekunannya telah merintis dan membuka pintu bagi kesusasteraan Jawa modern. Meski di simpang jalan modernitas dan lampau, Padmo susastra seperti lelakonnya sendiri telah merdeka dalam karya dan telah mempersembahkan hidupnya bagi sastra Jawa.
Totok Yasmiran (2020) setidaknya mencatat ada kurang lebih 41 karya yang dianggit Padmosusastra dan dibagi dalam tiga kategori besar. Pertama, dalam bidang bahasa, Paramabasa, Madubasa, Urap Sari, Warna Basa, Pathi Basa, Kawruh Basa, Layang Basa Sala. Kedua, dalam bidang sastra, Serat Kandhabumi, Rangsang Tuban, Prabangkara, dan Kabar Angin. Terakhir dalam bidang kebudayaan, serat tatacara, serat hariwara, serat prabangkara.
Padmosusastra meski mengalami kejatuhan dan pukulan mental saat terlilit hutang pada Cina Mindring, ia justru keluar dari lingkungan Istana menjadi manusia merdeka. Sikapnya yang berani dan sastria itu telah mendidik diri dan mentalnya sebagai pembelajar tekun, dan ulet dalam dunia sastra Jawa. Pergumulannya dengan intelektual kolonial memberi pengaruh pada karyanya yang berada di persimpangan yang modern dan lampau. Pilihannya pada sastra Jawa modern bukan hanya membuat namanya terpinggirkan oleh nama besar gurunya Ranggawarsita. Namun jalan yang dirintisnya telah membuka pintu lebar bagi sastrawan Jawa modern untuk mengembangkan model baru sastra Jawa sebagai bagian penting sastra Indonesia yang tidak melulu berupa puisi tapi bergeser pada prosa.
Padmosusastra dengan begitu telah membuktikan sebagai pembelajar merdeka, dan membuktikan kerja ketekunannya sebagai pencinta sastra Jawa dengan karya, kerja bahasa, dan kerja intelektualnya melalui sastra Jawa.
Belum ada tanggapan.