“kalau kita, orang Islam, mengerti benar-benar dan dengan sungguh-sungguh hati mendjalankan perintantah-perintah Islam, maka ta’ boleh tidak, kita mesti menjadi democrat dan djuga menjadi Sosialist jang sebenar-benarnya” (Tjokroaminoto – Dalam Islam Dan Sosialisme Cetakan 1954).
Suatu hari, saya dan Presiden Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Surakarta terlibat diskusi yang hangat tentang Tjokroaminoto. Diskusi itu dimulai dari bercanda ringan dan pertanyaan-pertanyaan konyol. Waktu itu saya bertanya, jika Tjokroaminoto lahir berbarengan dengan Gunung Krakatu meletus, dan Soekarno lahir berbarengan dengan Gunung Galunggung meletus, kamu dilahirkan berbarengan dengan peristiwa apa? Jangan-jangan tidak ada fenomena alam apapun yang menyertai kelahiranmu? Sebab, kata MT Arifin, budayawan kondang asal kota solo, kelahiran, weton dan trah melingkupi keseluruhan garis hidup seseorang. Tapi benarkah itu? Atau itu hanyalah sebatas fenomena mistik yang tak terbukti? Entahlah.
Satu hal yang pasti bagi aku dan temanku yakini saat itu adalah bahwa Tjokroaminoto ialah manusia besar. Tjokroaminoto adalah peletak pertama dari fondasi kebangsaan Indonesia. Sebab, dari rumahnya di gang 7 paneleh surabaya, lahirlah manusia-manusia besar yang kelak mewarnai sejarah kebangsaan Indonesia. Dari rumahnya yang sederhana itu, lahir tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Darsono, Semaoen, Kartosuwirjo, Muso, Abikusumo dan Sampoerno.
Selain itu, Tjokroaminoto juga kami anggap sebagai pemersatu umat Islam. Umat Islam dalam konteks ini berhubungan erat dengan konsep kebangsaan. Hal ini seperti yang diungkapkan Anthony Reid dalam buku Revolusi Nasional Indonesia. Bahwa identitas keIslaman dalam sejarah kebangsaan Indonesia adalah identitas nation bumi putera. Islam digunakan sebagai pembeda dengan identitas kafir – asing penjajah dan digunakan sebagai garis demarkasi antara kaum sana, yang menjajah, dan kaum sini yaitu wong slam (orang Islam) yang dijajah. Dibawah bendera Sarekat Dagang Islam, yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, umat Islam disatukan Tjokroaminoto dalam upaya membentuk masyarakat dan bangsa yang mandiri dan beradab.
Latar Belakang HOS Tjokroaminoto
Tjokroaminoto, dikenal juga sebagai Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto, lahir pada tanggal 16 agustus 1882 di desa Bakur, Ponorogo, Jawa Timur. Tjokroaminoto adalah seorang yang mewarisi darah priyayi dan santri. Kakek buyutnya, Kyai Bagus Kasan Besari merupakan seorang ulama terkenal di jawa timur. Sedangkan nenek buyutnya merupakan Puteri Susuhunan II Surakarta. Pernikahan antara kyai Kasan Besari dan Puteri Susuhunan Surakarta itu menandaskan garis keturunan Tjokroaminoto sebagai pejuang, ningrat dan santri.
RM Tjokroamiseno – bapak Tjokroaminoto, sejak kecil sudah memperkenalkan Tjokroaminoto dengan ajaran-ajaran Islam dan ilmu-ilmu umum. Tjokroaminoto diproyeksikan oleh keluarganya untuk menjadi seorang ningrat baru yang sesuai dengan semangat jaman. Maka tak heran jika Tjokroaminoto muda dimasukkan pada OSVIA (Opleidings School Voor Inlandche Ambtenaren) dan bukan HBS. OSVIA merupakan sekolah yang khusus mendidik kalangan bumi putera untuk menjadi pamong praja.
Daerah jawa timur yang terkenal keras itu menjadi latar belakang pendukung bagi perkembangan mentalitas dan pemikiran Tjokroaminoro. Jawa Timur adalah daerah khas di Indonesia yang rawan konfik. Daerah itu juga dikenal di Indonesia dengan budaya membangkangnya yang sudah mentradisi.
Sebagai seorang Jawa yang secara politik dan budaya telah dikalahkan oleh Belanda, watak sinkretisme-sintetisme terlihat pula dalam diri Tjokroaminoto. Upaya menyatukan Islamisme, Sosialisme dan Nasionalisme merupakan konsekwensi dari idealisasi budaya sinkretis ala masyarakat jawa yang dipandang kalah dan rendah ketimbang kebudayaan barat. Dengan watak khas daerah jawa timur yang suka memberontak, gagasan persatuan (sintesia) dan perlawanan menyatu dalam karakter Tjokroaminoto secara kuat. Hal itu kelak membentuk watak dan pemikiran Tjokroaminoto dalam memandang Islam dan lingkungan sosial.
Watak Islam Menurut HOS Tjokroaminoto
Islam dimengerti oleh Tjokroaminoto dalam dimensi kesejarahan dan ideologi tauhid. Dalam dimensi kesejarahan kajian Tjokroaminoto tertuang dalam buku “Tarich Agama Islam, Riwayat dan pemandangan atas kehidupan dan perjalanan Nabi Muhammad” sedangkan sebagai kajian ideologi tauhid tertuang dalam buku “Islam dan Sosialisme”.
Dalam buku Tarich Agama Islam Tjokroaminoto membagi pembahasan menjadi 28 bab yaitu: 1 Negeri arab dan bangsa arab, 2 Abad yang gelap (zaman jahiliah), 3 Bangsa Quraish dan pendirian kota mekah, 4 Gelombang perubahan dan keagamaan di tanah arab, 5 Nubuah tentang bakal kelahiran nabi Muhammad SAW, 6 Kelahiran Nabi Muhammad SAW, 7 Sebelum turuh wahyu ilahi yang pertama, 8 Orang-orang terdahulu masuk Islam, 9 Rintangan dan penganiyayaan, 10 Hijrah ke habshi, 11 Usaha akan menindas Islam, 12 Zaman Mekah yang akhir, 13 Hijrah kemadinah, 14 Zaman baru, 15 Perang badar, 16 Perang Uhud, 17 Kabilah-kabilah arab dan kaum muslim, 18 Perhubungan dengan orang yahudi dan perang azab. 19 Perjanjian dan perhentian perang hudaibiyah. 20 Perselisihan kepada para loji. 21 Takluknya mekah. 22 Perang hunaimah. 23 Islam tersiar umum di negeri arab. 24 Perang tabuk. 25 Kaum munafik. 26 Tahun wufud 27 Haji wada’ 28 Wafat nabi Muhammad SAW.
Sebagai kajian historis mengenai Islam, buku tarich Islam ini berisi tentang riwayat nabi besar Muhammad. Keunggulan buku ini adalah konteks historiografi yang bersifat kronologis hingga mendapat pengakuan dari beberapa ulama terkemuka seperti Sayid Alwi bin Thahrir Al Haddad dan Al Alwawi Al Husaini. Tjokroaminoto juga mengambil referensi dari beberapa buku terkenal antara lain: “The Spirit of Islam karya Amir Ali”, “The ideal Prophet karya Kwoja”, dan “The Prophet karya Muhammad Ali”. Hal ini menunjukan keluasan wasasan Tjokroaminoto dalam melakukan riset sejarah terutama yang terkait dengan kritik sumber dalam metodologi historiografi modern. Buku ini merupakan sarana pencerdasan rakyat yang didesain oleh Tjokroaminoto agar rakyat mampu mengenali nabinya hingga bisa meneladani sikap-sikap patriotik nabi dalam membangun peradaban yang hak.
Dalam perkembangan pemikiran Islam, pemahaman ideologi tauhid Tjokroaminoto dikontektualisasikan dengan kondisi sosial, hingga melahirkan keyakinan Islam sosialis. Tjokroaminoto menulis dalam risalahnya:
“beragama Islam adalah menyenangkan hati sesama manusia, memberi makan pada orang-orang lapar, menolong orang yang susah, meringankan keduka-citaanya orang-orang yang berduka cita, dan menghilangkan barang yang tidak adil yang diderita oleh orang-orang yang bersusah karenanya” (Islam sosialis hal 74)
Konsepsi sosialisme Islam merupakan rujukan dan kata kunci dalam memahami pemikiran tahuhid Islamiyah ala Tjokroaminoto. Tjokroaminoto meyakini hanya sosialismelah yang mampu melahirkan masyarakat yang adil dan makmur. Nabi Muhammad, menurut Tjokroaminoto merupakan nabi yang mengajarkan nilai-nilai dasar sosialisme, jauh sebelum ajaran sosialisme dipopulerkan oleh Karl Marx. Maka, menurut Tjokro, masyarakat Islamlah-bukan masyarakat barat, yang menciptakan tonggak awal sejarah sosialisme. Ajaran sosialisme Islam ini meliputi tiga hal, meliputi; kemardikkaan, persamaan dan persaudaraan. Konsep sosialisme Islam itu tertuang dalam pernyataan deklaratifnya: “sosialisme Islam ialah tidak merusakkan nafsu keradjinan orang dan tidak pula menggoda keniatan orang akan menjtari kemadjuan, tetapi ditengah dan dipantangkan seseorang mendjadi kaya lantaran merugikan atau memakan hatsil pekerdjaan dan hatsil usahanya lain orang”.
Penerimaan Tjokroaminoto pada konsep sosialisme Islam mendorongnya untuk membuat dikotomi vis a vis dengan kapitalisme. Namun, yang unik dari pemahaman dan pertentangannya pada kapitalisme adalah pembagiannya dalam memahami kapitalisme . Tjokroaminoto membagi kapitalisme menjadi dua yaitu kapitalisme yang bersifat jahat dan kapitalisme yang bersifat baik. Kapitalisme jahat adalah kapitalisme asing yang menjajah kaum kromo sedangkan kapitalisme baik adalah kapitalisme bumi putra yang sama sekali tidak menindas kaum kromo.
Konsepsi pembagian kapitalisme menjadi dua bagian ini menimbulkan polemik yang hangat di negeri ini. Semaoen dan Darsono sebagai bagian tak terpisahkan dari golongan kiri Indonesia mengkritik pembagian kapitalisme tersebut. Menurut Semaoen CS, kapitalisme merupakan faham kemodalan yang bersifat objektif. Tidak ada kapitalime baik dan jahat sebab, kapitalisme adalah sistem dan bukan manusia. Tolak ukur kapitalisme dalam bingkai sifat kemanusiaan seperti baik dan jahat akan menimbulkan bias moralitas sehingga menimbulkan kekacauan dalam berpikir. Pemahaman kapitalisme yang bersifat baik dan jahat dianggap orang-orang kiri tidak ilmiah dan tidak objektif.
Kristalisasi dan polemik-polemik pemikiran Tjokroaminoto diyakini banyak peneliti berakibat pada pecahnya sarekat Islam menjadi dua yaitu sarekat Islam putih dan sarekat Islam merah. Namun perpecahan Sarekat Islam kala itu bukanlah disebabkan oleh Tjokroaminoto seorang. Agus Salim adalah tokoh yang lebih sentral dalam pecahnya persatuan SI. Agus Salim merupakan penggagas program yang bernama disiplin partai yang berupaya mencegah anggota organisasi melakukan rangkap jabatan dan keanggotaan organisasi. Agus Salim menginginkan satu orang bumi putera hanya memiliki satu organisasi. Hal itu kemudian dipuji Agus Salim sebagai suatu sikap disiplin dalam berorganisai. Mungkin itu pula yang mennyebabkan Agus Salim menamai program kebijakanya dengan nama disiplin organisasi.
Tjokroaminoto tak sempat menyelamatkan organisasi yang membesarkan namanya. Pasca program disiplin partai yang digagas Agus Salim berjalan, keretakan dan perpecahan SI tidak bisa lagi diobati. Mimpi Tjokroaminoto untuk menyatukan Islam dan sosialisme dalam tubuh SI dipaksa berakhir. SI saat itu bukanlah rumah Tjokroaminoto yang mampu menampung dan mengkombinasikan pikiran-pikiran pemuda berhaluan islam dan sosialis. SI ibarat penumpang kendaraan dan kereta api. Setiap penumpang kendaraan hanya boleh memiliki satu tiket kendaraan dan satu jenis kereta api untuk ditumpangi. Itulah babakan akhir dari cita-cita tokoh pengukir sejarah bernama Tjokroaminoto. Ia dan mimpi persatuan Islamnya dipaksa kalah dan menyerah. Namun, hal itu hanya bersifat sementara, sebab, Soekarno – salah satu dari sekian banyak muridnya, akan memahami islam dalam perspektif sosialisme dan berusaha menyatukan orang-orang islam dengan orang-orang sosialis.
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.