Pendahuluan
Secara luas, dalam fiksi Indonesia dikenal istilah tokoh dan watak, yang lebih lanjut dari kedua kata itu terbentuk istilah tokoh dalam cerita atau penokohan dan perwatakan. Ibarat sebuah koin, tokoh dalam cerita dan watak tidak dapat terpisahkan sebagai dua sisi berbeda yang membentuk satu kesatuan. Sebenarnya saya lebih menyukai istilah karakter dalam cerita sebab istilah itu sekaligus mencakup keduanya. Jadi, karakter dalam cerita sama dengan tokoh dalam cerita dan wataknya.
Kalau ditelusuri, kata character dalam bahasa Inggris itu berasal dari Yunani charaktér yang berarti ‘alat penge-cap-an’, yang dalam konteks figuratif bahasa bermakna ‘cap kepribadian yang unik yang berasal manusia hidup’. Dalam bahasa Prancis disebut personnage yang sejajar dengan bahasa Italia personaggio dan berasal dari bahasa Latin persona yang berari ‘topeng di mana darinya diperdengarkan suara seorang aktor’. Ada pun dalam bahasa Jerman dikenal istilah figur yang berasal dari bahasa Latin figura dengan arti ‘bentuk yang bertentangan dengan latar belakangnya’.[1]
Semua pasti sepakat bahwa karakter dalam cerita merupakan elemen penting dalam fiksi. Tetapi, karakter tidak bisa berdiri sendiri. Tulisan tentang karakter hanya akan menjadi sebuah deskripsi saja. Tidak lebih. Elemen lain yang paling berdekatan dari karakter adalah cerita. Cerita-lah yang menghidupkan dan menggerakkan karakter. Keduanya dapat diibaratkan sebagai kereta api dan jalannya, karakter sebagai kereta apinya dan cerita sebagai jalannya. Jadi, sebenarnya—mungkin ada pendapat lain—karakter dan cerita-lah, inti sebenarnya dari tulisan fiksi.
Karakter dalam Cerita dan Konstelasinya
Dalam fiksi, penulis menghadirkan beberapa karakter dalam cerita. Antara satu karakter dan lainnya dihubungkan oleh cerita. Posisi karakter dalam cerita itu menyebabkan karakter terbagi-bagi, seperti protagonis-antagonis dan tokoh utama-tokoh pendamping. Pembagian itu menjadi mutlak adanya disebabkan adanya keterbatasan-keterbasan dalam dunia fiksi. Tidaklah mungkin semua karakter mendapat porsi yang sama dalam cerita. Pasti ada yang dominan, sebaliknya ada pula yang sekadar lewat. Semuanya bergantung pada konstribusinya dalam cerita. Dan, tentu saja penulis fiksi hanya akan memfokuskan pada satu karakter yang sebabnyalah cerita itu berkembang.
Pada satu kasus tertentu, bisa terjadi, karakter yang punya pengaruh pada jalannya cerita, tidak ditampilkan oleh penulisnya. Karakter itu hanya disebut-sebut dalam perbincangan karakter lain, tetapi secara langsung, pembaca tidak pernah “bertemu” dengannya dalam halaman-halaman fiksi yang tersaji. Kita bisa ambil contoh karakter dalam cerita “Ibu” dalam novel Raumanen karya Marianne Katoppo. Monang tidak bisa menikahi Raumanen sebab Ibunya menjodohkan Monang dengan gadis lain. Pembaca novel itu mengenal karakter Ibu di sana lewat percakapan Monang dan Raumanen. Ibu sendiri tidak pernah tampil di halaman novel tersebut. Tetapi, peranan Ibu sangat dominan dalam cerita tersebut.
Karakter dan Konfliknya
Secara teknis, cerita sendiri berjalan pada alur atau plot. Menurut saya, cerita itu adalah serangkaian peristiwa atau kejadian yang dialami oleh karakter. Rangkaian peristiwa atau kejadian itu akan diletakkan sedemikian rupa agar menarik perhatian pembaca. Peletakan serangkaian peristiwa itu menghasilkan alur cerita atau plot. Sebab itu, kita mengenal adanya alur maju dan alur mundur. Pilihan alur maju atau alur mundur adalah strategi penulis dalam menarik perhatian pembacanya.
Terlepas dari pilihan alur cerita atau plot cerita, karakter dalam cerita itu dihadapkan pada konflik dalam cerita. Ada pendapat bahwa konflik-lah yang menggerakkan cerita. Tanpa konflik, pastinya tidak ada cerita. Konflik itulah yang harus dihadapi karakter utama.
Menurut Ballon (2005), ada tiga tipe konflik dalam cerita, yaitu (1) manusia melawan dirinya sendiri, (2) manusia melawan alam, dan (3) manusia melawan manusia lainnya[2]. Dalam konteks fiksi, manusia yang dimaksud adalah karakter utama. Namun, patut diperhatikan pula, dengan berpusat pada cerita, kita akan temukan konflik utama sebagai konflik yang menjadi tantangan utama karakter, dan konflik-konflik sampingannya yang kurang dominan, tetapi menjadi penyumbang kemenarikan cerita. Kadang pula, konflik sampingan itu menguatkan atau menegaskan tentang watak karakter utama cerita.
Tipe pertama konflik adalah konflik antara karakter utama dengan dirinya sendiri. Mungkin, konflik ini diistilah sebagai konflik batin. Karakter utama dihadapkan, misalnya, pada ketunaan pada dirinya. Penulis fiksi bisa saja bercerita bagaimana karakter utama mengatasi hambatan ketunaan itu untuk meraih tujuan hidupnya. Pun, bisa bercerita tentang bagaimana karakter utama berjuang membebaskan dirinya dari kebiasaan buruknya. Tipe kedua konflik adalah konflik antara karakter utama melawan alam. Penulis fiksi bisa bercerita tentang bagaimana karakter utama berjuang melawan kondisi alam yang tidak menguntungkan. Bencana alam yang terjadi bisa dijadikan tantangan bagi karakter utama untuk “menaklukkan” bencana itu. Dalam film Twister, misalnya, karakter utama berusaha menciptakan alat yang bisa mendeteksi lebih dini kedatangan tornado. Terakhir, tipe ketiga merupakan tipe konflik yang paling sering kita temukan dalam cerita fiksi. Karakter utama yang menjadi protagonis berkonflik dengan karakter lain yang menjadi antagonisnya. Namun, pada dasarnya ketiga tipe konflik itu bisa saja muncul bersamaan dalam satu cerita, tetapi tetap ada satu yang menjadi konflik utama, sedangkan yang lainnya konflik-konflik sampingan yang menjadi bumbu cerita.
Ragunan, 9 Mei 2013
[1] Eder, Jen, Fotis Jannidis, dan Ralf Schneider (ed.). Character in Fictional Worlds: Understanding Imaginary Being in Literature, Film, and Other Media. Berlin: Walter de Gruyter, 2010.
[2] Ballon, Rachel. Blueprint for Screenwriting: A Complete Writer’s Guide to Story Structure and Character Development. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2005.
Belum ada tanggapan.