tantangan-demokrasi-era-digital

Kembang Kempis Demokrasi Era Digital

Adakah yang berbeda dengan demokrasi era digital ini? Demokrasi pada hakekatnya adalah berbicara seputar kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks Indonesia perjalanan kelam demokrasi masa orde lama dan orde baru akhirnya mengantar bangsa Indonesia untuk kini masuk dalam demokrasi era reformasi.

Demokrasi di masa reformasi ini ditandai dengan adanya kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap proses penyelenggaraan negara. Masyarakat tidak hanya dilibatkan dalam demokrasi lima tahunan berupa peran sertanya dalam suksesi Pemilu atau Pemilukada. Lebih jauh dari pada itu masyarakat juga diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya berhadapan dengan berbagai realitas persoalan bangsa.

Partisipasi politik dan demokrasi adalah dua hal yang tidak dapat dilepaspisahkan. Demokrasi terwujud ketika adanya partisipasi langsung masyarakat dalam proses politik itu sendiri. Dengan adanya keterlibatan seluruh elemen dalam sebuah proses politik maka demokrasi itu sendiri menegaskan juga hakekat dari pada politik itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Hanah Arentd bahwa politik itu terjadi ketika manusia itu berbicara dan berkomunikasi dan mengandaikan adanya faktum pluralitas.

Dalam kaitan dengan demokrasi dengan pendewaan pada kebebasan ini, patutlah disadari bahwa proses demokratisasi itu adalah proses yang tidak sekali jadi. Setelah tahapan menuju demokrasi era reformasi, kini bangsa kita juga digiring dalam era baru yaitu era digital. Dalam era digital ini tentunya pandangan demokrasi  pun mestinya ditempatkan dalam era baru ini. Dengan masuknya demokrasi di era digital ini pembicaraan tentang partisipasi dan komunikasi politik pun berubah.

Demokrasi Era Digital dan Perubahan Pola Komunikasi

tantangan-demokrasi-era-digitalDalam era manual demokrasi, komunikasi dalam politik antara semua pihak dalam ruang publik itu terjadi secara langsung. Antara organisasi politik dan warga itu tejadi komunikasi secara langsung atau terwakilkan tanpa adanya mediasi media sosial. Organisasi politik dalam hal ini antara lain berupa kelompok kepentingan seperti partai politik, organisasi publik, kelompok penekan (oposisi) dan pemerintah dapat berkomunikasi langsung dengan para warga atau antarkelompok. Organisasi politik dapat mempengaruhi warga dengan jalan mediasi dan provokasi berupa kampanye, diskusi publik, permainan retorika demi mencapai kepercayaan dari publik dan demi pencapaian kekuasaan. Kelompok warga juga dapat menyampaikan kepentingannya secara langsung melalui kelompok kepentingan yang sama dalam hal ini melalui organisasi kemasyarakatan atau kelompok penekan yang adalah representasi dari suara warga kepada penguasa.

Berbeda dengan demokrasi era manual, demokrasi era digital ini ditandai dengan kehadian media sosial sebagai sarana komunikasi dan partisipasi politik. Dalam pembicaraan tentang media sosial ini mestinya dibuat distingsi antara media massa pada umumnya dan media sosial. Media massa umumnya seperti surat kabar, majalah atau siaran televisi dapat dikendalikan oleh sebuah kelompok tertentu sehingga adanya kemudahan dalam proses pengendaliannya. Sementara media sosial seperti facebook, twiter dengan bantuan internet sangat memungkinkan kebebasan dari semua pihak untuk bersuara dan bersiur dalam dunia politik terbuka lebar. Seiring dengan kehadiran media sosial ini tentu adanya pergeseran model komunikasi politik dalam era digital ini.

Kehadiran media sosial di era digital ini pada tempat pertama menghadirkan suatu model komunikasi yang lebih partisipatif. Kelompok warga dapat secara langsung berpartisipasi dalam proses politik melalui media sosial. Berbagai opini publik dapat secara langsung tersalurkan lewat berbagai media sosial kepada penguasa tanpa harus melalui pihak perwakilan. Kelompok kepentingan dalam hal ini partai politik, pemerintah dapat dengan mudah memediasi warga pada suatu maksud dan kepentingan tertentu melalui media sosial yang mudah diakses oleh warga.

Berbagai iklan dan kampanye melalui media sosial yang mudah diakses juga dapat mempermudah publik untuk mengenali figur atau partai tertentu yang menjadi bahan pertimbangan mereka dalam proses politik. Kelompok penekan dan publik juga dapat dengan mudah mengawasi seluruh proses penyelengaraan negara berupa kritik dan aspirasi melalui media sosial. Dengan demikian proses komunikasi politik itu terjadi dalam satu ruang politik baru yaitu dunia maya (cyberspace). Cyberspace ini sejalan dengan konsep ruang publik (öffentlichkeit) menurut Jüergen Habermas sebagai keadaan yang dapat diakses oleh semua orang.

Simbiosis antara media sosial dan demokrasi tentunya sejalan dengan spirit demokrasi itu sendiri yaitu menekankan kebebasan, anti-otoritarisme, dan keterbukaan. Namun demikian simbiosis antara demokrasi dan media sosial ini juga bukan tanpa bahaya. Penekanan berlebihan pada kebebasan ini juga dapat menggeser paradigma demokrasi yang sebenarnya bertujuan untuk memediasi kelompok kepentingan ini justru menjadi model manipulasi dan rekayasa. Maraknya hoax adalah jawaban dari bahaya dalam demokrasi era digital ini. Dugaan pengendalian isu melalui UU ITE dan juga penggiringan opini melalui tim buzzer di media massa menjadi tantangan lain dalam berdemokrasi era digital.

Lonceng Bahaya Demokrasi

Pertanyaannya mengapa bahaya ini muncul? Jawaban atas pertanyaan ini coba dikembalikan dalam  model komunikasi antar pelaku politik dan para warga dalam cyberspace. Bahaya yang muncul dalam cyberspace ini disebabkan oleh beberapa faktor dalam komunikasi politik era digital.

Pertama adalah faktor degradasi daya kritis warga atau publik dalam demokrasi era digital. Memang demokrasi era digital juga sangat memungkinkan partisipasi dari para warga ini dapat terbangun dengan baik. Namun patut dicatat bahwa era digital dengan pendewaan pada internet yang menyajikan berbagai informasi secara cepat ini menciptakan warga terjebak dalam mental serba cepat dan serba aktual. Sebagai contoh, untuk dapat memperoleh sebuah informasi, publik tidak perlu direpotkan dengan mencari koran atau majalah. Cukup dengan mengklik di google atau melalui berbagai media online, informasi dapat dengan mudah tersajikan. Hal ini justru menciptakan tergerusnya daya kritis masyarakat akan berbagai informasi yang disajikan karena mental siap saji.

Kedua adalah model komunikasi politik yang terjebak dalam mekanisme pasar. Ketika masyarakat mengalami degradasi daya kritis karena mental siap saji, para pelaku politik justru mempergunakan kesempatan ini untuk menjual kepentingan politik mereka dalam cyberspace dengan berbagai informasi yang kebenarannya bersifat subyektif. Hal ini bertujuan untuk menggaet warga yang mudah dimanipulasi ini agar masuk dalam kelompok kepentingan tertentu. Di sana proses komunikasipun berubah. Komunikasi dalam demokrasi yang bertujuan untuk memediasi kelompok kepentingan dan publik justru berubah menjadi komunikasi pasar untuk mencapai keuntungan yang sepihak.

Ketiga adalah terjadinya instrumentalisasi media sosial. Ketika para warga sudah terjebak dalam degradasi daya kritis, maka persaingan politik dalam rupa persaingan pasar ini memungkinkan kelompok kepentingan untuk memperalat media sosial demi mencapai pengakuan dari pihak warga kepada tujuan kepentingan para pelaku politik. Di sana pesan politik yang disampaikan bukan memediasi kepentingan para warga, melainkan terjebak dalam manipulasi dan pengeditan demi mencapai tujuan dan pengakuan dari publik. Kebebasan yang terjadi dalam ruang media sosial memungkinkan untuk komunikasi itu terjadi dengan kekuatan manipulasi tanpa adanya spirit etika komunikasi timbal balik.

Dengan demikian komunikasi yang terjadi dalam demokrasi era digital ini terjebak dalam spirit instrumentalisasi. Media sosial diinstrumentalisasi untuk tujuan kepentingan pelaku politik sehingga demokrasi terjebak pada idola dan pencitraan belaka. Instrumentalisasi media sosial ini berujung pada instrumentalisasi demokrasi. Demokrasi era digital yang menghadirkan kebebasan yang besar ini justru diperalat oleh kelompok kepentingan untuk mencapai tujuannya yang sepihak. Maraknya hoax adalah juga bias dari model komunikasi dalam cyberspace yang diwarnai oleh proses instrumentalisasi ini.

Menjaga Spirit Demokrasi

Kenyataan ini mestinya membangkitkan kesadaran dari semua pihak untuk kembali menghadirkan spirit dari demokrasi dalam demokrasi era digital ini. Demokrasi pada dasarnya adalah sistem yang menekankan persuasi dan bukan manipulasi. Ketika spirit itu bergerak dari manipulasi kepada persuasi atau mediasi sudah seharusnya media sosial adalah ruang ampuh untuk sampai pada taraf persuasi ini. Namun jika yang terjadi adalah hegemoni, maka massa akan mencoba mencari saluran baru, yang mungkin tidak pernah kita perhitungkan agar demokrasi tidak mati.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan