Terbukanya skandal mega korupsi proyek e-KTP mengejutkan banyak pihak. Di tengah usaha bersama untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia, kasus dugaan korupsi e-KTP menjadi sebuah langkah mundur yang menyakitkan hati masyarakat luas. Publik kian miris dan terhenyak karena aliran dana dalam jumlah besar itu berputar di tangan segelintir elite berkuasa dan anggota DPR terhormat di Senayan. Dalam surat dakwaan yang disusun jaksa KPK, ada puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 yang disebut menerima fee dari uang yang dianggarkan dalam proyek e-KTP. Aliran dana juga diduga diterima oleh beberapa Perusahaan dan sejumlah pejabat publik di antaranya yang cukup familiar adalah Gamawan Fauzi (mantan mentri dalam negri), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah sekarang) dan Melcias Marchus Mekeng (Anggota DPR). (Kompas.com 09/03/2017).
Kasus korupsi dalam jumlah besar, masif dan sistemik bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Sejumlah kasus lain seperti korupsi Wisma Atlet Hambalang, Bank Century, Proyek Simulator SIM juga merugikan negara triliunan rupiah. Sayangnya, seiring berganti rezim, kasus-kasus korupsi ini malah terus terjadi. Bahkan ranah kasus korupsi kini juga bergeser yakni tidak hanya di tingkat pusat atau provinsi atau kabupaten/kota, tetapi juga meluas hingga ke desa/kelurahan. Korupsi seolah telah menjelma menjadi tumor ganas yang menyebar ke tiap-tiap lini kehidupan masyarakat.
Berhadapan dengan fenomena memprihatinkan ini, pertanyaan lawas tetapi sering berulang-ulang ditanyakan dan tetap sulit terjawab ialah: mengapa kasus korupsi ini terus saja terjadi? Mengapa para elite politik kita hampir selalu jatuh dalam jurang korupsi? Persoalan korupsi adalah persoalan yang kompleks dan rumit dan karenanya mempunyai sebab yang beragam pula. Ada banyak ahli yang sudah menganalisis sebab-sebab terjadinya korupsi. Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia misalnya membeberkan tiga alasan utama terjadinya kasus korupsi terutama di kalangan DPR yakni, pertama, proses rekruitmen yang sangat transaksional. Politik uang (money politics) saat rekruitmen disinyalir menjadi benih unggul bagi tumbuh suburnya habitus korupsi. Kedua, regulasi yang ramah terhadap penyimpangan dan ketiga, pembahasan anggaran yang tidak transparan. (Kompas.com 09/03/2017). Dalam bukunya Filsafat Anti Korupsi (2012), Reza Wattimena juga menggarisbawahi faktor-faktor seperti kesenjangan ekonomi, maraknya politik transaksional, hingga praksis suap-menyuap yang sudah berurat akar dalam masyarakat sebagai sebab-sebab utama terjadinya korupsi masif di negara kita.
Tanpa menafikan pelbagai analisis tentang sebab-sebab korupsi yang sudah dipaparkan di atas, hemat penulis, salah satu akar utama maraknya praktik korupsi bisa juga ditelusuri dari perspektif budaya. Korupsi bukan hanya soal hukum atau sistem tetapi juga soal kultur. Kultur atau budaya tertentu yang dihidupi dan berakar kuat dalam masyarakat dapat melegitimasi tindakan korupsi. Tulisan ini berasal dari landasan utama bahwa korupsi berawal dari kontruksi budaya yang dihidupi dalam masyarakat kita yakni budaya malu (shame culture) yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.
Budaya Malu vs Budaya Salah
Ruth Benedict, seorang ahli antropologi budaya Amerika pernah membedakan antara dua aliran kebudayaan yakni budaya malu (shame culture) dan budaya salah (guilt culture). Shame culture adalah kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti hormat, reputasi, nama baik, status dan gengsi sangat ditekankan. Oleh karenanya jika seseorang melakukan kesalahan, untuk menjaga kehormatan dan nama baiknya, kesalahan itu diusahakan untuk ditutup-tutupi. Orang baru akan menyesali kesalahannya jika perbuatannya itu diketahui oleh orang lain. Shame culture mendapat antitesisnya pada guilt culture. Secara sederhana, budaya salah (guilt culture) merupakan kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti dosa (sin), kebersalahan (guilt) sangat dipentingkan. Pada guilt culture, tidak penting apakah perbuatannya itu diketahui oleh orang lain atau tidak. Jika seseorang melakukan kesalahan, ia akan menyesalinya karena perbuatan itu telah menurunkan martabatnya sebagai makhluk moral yang harus berpihak pada kebenaran dan kebaikan (Sebho, 2017).
Melihat dua perbedaan budaya ini, tak dapat diragukan lagi bahwa arus utama kebudayaan di Indonesia berpayung di bawah budaya malu. Fenomena budaya malu ini paling awal sangat tampak dalam proses formasi dan sosialisasi dalam keluarga-keluarga atau suku-suku, yakni lewat pelbagai perintah atau nasihat untuk menjaga nama baik keluarga atau suku di mana seseorang hidup. Gengsi, reputasi, dan status kehormatan tertentu dapat menjadi alasan untuk membenarkan suatu tindakan tertentu, termasuk tindakan-tindakan yang keliru dan salah secara moral. Contoh konkret lain ialah perilaku menyontek para pelajar yang kerap terjadi saat ujian di sekolah-sekolah. Kecendrungan umum yang terjadi ialah sebagian besar siswa niscaya tidak akan merasa bersalah jika perbuatan menyontek mereka itu tidak diketahui atau dibiarkan oleh pengawas ujian. Namun, jika suatu waktu tindakan itu diketahui, maka dengan sendirinya mereka akan menyesal dan tertekan karena takut mendapat sanksi atau hukuman. Dengan kata lain, perbuatan menyontek itu seolah-olah baru disadari sebagai sebuah kesalahan pada saat perbuatan itu diketahui oleh orang lain.
Korupsi dan Budaya Malu
Praksis hidup menurut shame culture yang terikat dengan budaya Indonesia sekurang-kurangnya bisa menjelaskan mengapa praktik korupsi begitu masif dan sistemik di Indonesia. Sejauh praktik itu tidak diketahui publik, korupsi bukanlah sebuah kejahatan. Dengan lain perkataan, korupsi tidak disadari sebagai sebuah tindakan yang melanggar hukum jika dilakukan secara rapi, tertutup dan di luar pengetahuan masyarakat luas. Kultur budaya malu yang secara luas dihidupi ini juga menjelaskan mengapa korupsi selalu sulit diberantas karena selalu ditutup-tutupi dengan menyuap para penegak hukum.
Dalam lanskap ini, kita bisa melihat bahwa bangunan kultural yang dihidupi masyarakat kemudian mampu membentuk sebuah wacana intelektual dan moral. Sayangnya, jika bangunan itu dibangun di atas fondasi yang keliru, maka pemahaman tentang yang benar dan salah pun menjadi kabur. Akibat fondasi budaya malu yang terlalu kuat, sebuah tindakan baru dinilai salah jika sudah diketahui secara publik, sehingga tidaklah mengherankan jika sesuatu yang tersembunyi walaupun itu salah secara moral atau hukum, tetap dianggap benar. Dalam konteks kasus korupsi di Indonesia, penerapan buta budaya malu ini sangat berbahaya sebab dapat menciptakan lingkaran setan korupsi yakni dengan praktik menyuap pihak-pihak tertentu agar tutup mulut terhadap pelbagai fenomena korupsi yang sedang terjadi.
Pada taraf yang lebih akut, relasi antara budaya malu dan perilaku koruptif dapat terlihat dari runtuhnya sikap kritis dan kemampuan berpikir para koruptor. Pada tataran ini, korupsi, meminjam terminologi Hannah Arendt, menjadi sebuah praktik kejahatan yang banal, wajar dan benar sejauh ia tidak diketahui oleh publik. Banalitas kejahatan korupsi itu bisa jadi terlihat secara implisit misalnya dalam birokrasi-birokrasi, parlemen, badan-badan politis di negeri kita, manakala korupsi telah kehilangan cirinya sebagai godaan, yakni sebagai dosa, atau berubah wajahnya menjadi semacam “prosedur lazim’ yang diikuti bersama. Dalam sistem birokrasi yang korup, tidak melakukan korupsi justru adalah “kejahatan” di mata para kawanan korup tersebut. (Hardiman, 2010: 37).
Jika korupsi sudah dirasakan sebagai prosedur yang lazim atau wajar dalam sistem, maka tidaklah mengherankan bila usaha pemberantasannya selalu menemui jalan buntu. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi sejatinya bukan sekadar soal penegakkan hukum, tetapi juga harus menyentuh kultur yang dihidupi masyarakat. Memberantas korupsi yang terjadi secara masif dan sistemik di Indonesia dapat dilakukan dengan cara meredam penerapan budaya malu yang sedang dihidupi dalam masyarakat. Dengan kata lain, usaha menghidupkan budaya salah (guilt culture) bisa menjadi salah satu upaya alternatif untuk membendung tumor ganas korupsi yang kian marak terjadi di sekitar kita.
*
Johan Paji, mahasiwa STFK Ledalero, Ketua KMK Ledalero
Belum ada tanggapan.