mendidik-bukan-menghardik

Mendidik Bukan Menghardik, Mengasuh Bukan Mengeluh

Anak-anak kita di masa sekarang jauh berbeda dengan anak-anak kita di masa lalu. Begitupun anak-anak kita di masa yang akan datang, akan jauh lebih berbeda dari anak-anak kita di masa kini. Kemajuan zaman, dan faktor sosial kemasyarakatan yang berubah begitu cepat ikut pula mempengaruhi bagaimana kondisi anak-anak didik kita.

SS (inisial nama seorang murid) barangkali tak mau diperlakukan sama dengan gurunya di masa itu. Boleh jadi, apa yang dialami SS dicubit gurunya adalah hal yang biasa dialami oleh Sambudi (Guru SS) ketika menjadi murid di masa sekolahnya dulu. Boleh jadi cubitan adalah hukuman paling ringan di masa itu, bahkan tamparan, hingga pukulan adalah wajar.

Tetapi Pak guru tak boleh lupa, anak-anak kita bukanlah anak yang lahir di jaman dimana kita lahir. Ia memiliki latar belakang yang jauh berbeda dari kita dulu. Mereka hidup dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, sementara mereka tak melihat figur atau sosok panutan yang tepat di rumah, di masyarakat. Mereka menemukan lingkungan yang cocok ketika mereka bertemu dengan kelompoknya, teman-temannya yang memiliki kesamaan minat dan hobi yang sama. Apa yang dialami Sambudi ketika disidangkan oleh orangtua murid, Yuni Kurniawan, tentu menjadi pelajaran berharga di dunia pendidikan kita.

Menjadi guru di masa sekarang jauh lebih sulit dan makin banyak tantangannya. Selain ia memerlukan keterampilan pedagogis yang cukup baik, guru sekarang juga perlu memiliki modal pengetahuan psikologi anak dan psikologi remaja. Mereka harus belajar bagaimana keadaan jiwa si murid.

Guru sering cenderung merasa menang sendiri, bisa menghukum dan memperlakukan siswa atas nama kebaikan. Tentu saja hal ini tak bisa dibenarkan, guru mesti bijak dan memahami kondisi murid. Karena itulah, tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara sering mengatakan bahwa Guru itu adalah pamong, seorang yang bisa momong yang mampu menerapkan sistem Among.

Para guru harus memiliki sikap asih, asah, asuh. Artinya guru tidak hanya punya sifat pengasih kepada murid, tetapi juga mampu mengasah akal dan pikiran si murid, dan mengasuhnya dengan baik.

Hukuman

Sekolah-sekolah saat ini memang cenderung dihiasi dengan aturan. Aturan bukan malah semakin membuat siswa menjadi semakin terdidik, tetapi sebaliknya justru membuat jiwa mereka menjadi takut dan merasa terancam. Akibatnya, anak patuh karena terpaksa, bukan karena kesadaran. Yang lebih parah lagi, anak kemudian memberontak melanggar aturan yang dianggapnya mengekang.

Orang dewasa, termasuk para guru tak banyak memahami aspek ini. Sehingga ketika mereka menerapkan aturan, jarang sekali anak-anak mereka, murid-murid cenderung diajak untuk berdialog dan berdiskusi.

Untuk anak Sekolah Dasar barangkali dialog  kepada murid masih bersifat latihan. Tetapi, untuk anak usia SMP dialog tentu saja bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan di sekolah-sekolah mereka.

Tentu saja kita faham, aturan dan upaya sekolah untuk mendidik anak, tetapi kita tak bisa menafikkan psikologis anak, yang memerlukan tahapan atau proses untuk menjadi sadar dan memahami apa yang ada di lingkungan mereka. Dan proses ini tentu saja berbeda-beda di setiap anak. Sebab anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda pula.

Dalam kasus SS dan pak Guru Sambudi, kita tak boleh menghakimi secara utuh apa yang dilakukan oleh orangtua SS. Kita pun tak bisa menganggap upaya Sambudi mencubit SS sebagai bagian dari cara mendidik anak yang sudah sempurna.

Bila dilihat dari kronologi kasus tersebut, shalat dhuha tentu saja merupakan perbuatan baik, tetapi ketika cara yang ditempuh Sambudi dengan mencubit, saya rasa hal ini juga perlu dikoreksi bersama.

Rasanya tak bisa kita melakukan pemaksaan terhadap anak untuk melakukan shalat sunnah. Selama ini yang muncul dan mencuat di media sosial dan media massa, seolah Sambudi adalah korban yang perlu dibela. Kita belum melihat sampai sejauh ini, cara-cara atau  dialog yang dilakukan oleh pak guru kepada muridnya.

Tentu saja cara-cara pemaksaan, gertakan, sampai ancaman kepada murid tak bisa dibenarkan. Sekolah mestinya memiliki cara yang arif dalam mendidik anak, apalagi dalam urusan ibadah. Agar bisa arif dalam mengajak murid beribadah, kita perlu memahami psikologi anak didik kita.

Boleh jadi, anak kelelahan, sehabis bermain, boleh jadi anak sedang malas, boleh jadi anak sedang ingin membaca buku dan sebagainya. Kondisi-kondisi seperti ini mesti diperhatikan betul oleh guru. Bila anak sekadar diancam dan dipaksa, maka tentu saja anak akan mengikuti kita pada awalnya, tetapi jiwanya yang memberontak.

Persis seperti yang dialami oleh SS. Bisa jadi murid berontak jiwanya terhadap gurunya setelah dicubit. Rasanya hukuman fisik di masa sekarang sudah tak relevan dengan kondisi anak-anak kita di masa sekarang.

Mereka memerlukan banyak teladan, bimbingan, dan contoh dari gurunya daripada sekadar paksaan dengan memaksa mereka dengan hukuman fisik. Mereka lebih banyak memerlukan “teman”, “tokoh” atau “idola” yang bisa dijadikan mereka figur agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Sebab anak-anak kita sekarang cenderung kurang memiliki figur yang asyik diajak untuk menumpahkan curahan hati, permasalahan yang dialami oleh murid.

Guru, cenderung tak dianggap sebagai teman, kawan, tetapi lebih dianggap sebagai sosok yang seram dan menakutkan. Bila guru semakin kukuh dengan menerapkan hukuman fisik kepada anak tanpa upaya dialog, musyawarah, dan komunikasi dengan murid, maka jangan harap anak-anak kita akan patuh kepada kita dari hati mereka yang paling dalam.

Anak-anak jaman sekarang memang memerlukan didikan, tetapi tidak dengan kekerasan, tetapi dengan kelembutan dan kasih sayang. Di tengah semakin terkikisnya dan berkurangnya waktu mereka dengan keluarga, gurulah harapan satu-satunya yang diharapkan bisa memberi kasih sayang kepada mereka.

*) Penulis adalah Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Guru di MIM PK Kartasura, Penulis Buku Mendidik Anak-Anak Berbahaya

twitter  : @arifsaifudin

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan