Membicarakan sastra Jawa memang tak ada habisnya. Sastra Jawa mempunyai berbagai macam bentuk, mulai dari prosa, puisi, pantun–yang mempunyai sebutan berbeda dengan apa yang ada dalam sastra Indonesia, meskipun mempunyai beberapa kemiripan unsur. Di samping bentuk-bentuk itu, dalam sastra Jawa juga dikenal adanya bentuk pertanyaan tradisional. Danandjaja (2007: 33) menyatakan bahwa pertanyaan tradisional dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama teka-teki. Pertanyaan ini bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang juga bersifat tradisional.
Bentuk teka-teki ini juga dijumpai dalam sastra Jawa. Seorang sarjana Belanda, Ranneft (1983), menyatakan bahwa teka-teki dari Jawa Tengah ini dapat digolongkan menjadi dua, yakni yang berbentuk puisi dan yang berbentuk prosa. Selanjutnya, teka-teki dalam bentuk prosa dibedakan menjadi 4 macam, yakni (1) Teka-teki yang mengharapkan satu kata atau satu ide sebagai jawaban, (2) Teka-teki yang terbentuk dari permainan kata-kata (pun) yang biasa dikenal sebagai cangkriman, (3) Teka-teki akronim; teka-teki yang berupa singkatan dari beberapa kata, dan (4) Teka-teki yang terbentuk dari huruf, angka, gambar, atau bentuk-bentuk geometris (Danandjaja, 2007: 43).
Namun, ada pula yang menyatakan bahwa semua bentuk teka-teki dalam bahasa Jawa disebut cangkriman. Teka-teki dalam bahasa jawa ini harus ditebak atau dalam istilah bahasa jawa dibatang. Karena itu, seringkali ada ungkapan jawa cangkriman iki batangane apa?
Perhatikan contoh cangkriman berikut ini:
Lawa lima, kalong telu dadi pira?
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya begini: ada kelelawar lima, dan ada kalong (sejenis kelelawar) berjumlah tiga, jadi jumlahnya berapa. Jawabannya tentu saja delapan, dan bukan dua karena kalong yang dimaksud bukan kelong (yang berarti kurang).
Dalam Kawruh Basa Jawa Pepak yang biasa digunakan sebagai sumber belajar anak-anak sekolah, cangkriman dibagi ke dalam tiga jenis, yakni cangkriman wancah, cangkriman pepindhan, dan cangkriman wujud tembang.
Yang pertama, wancah. Wancah berarti juga tugel, atau dalam bahasa Indonesia patah. Sesuai namanya, cangkriman wancah ini berupa patahan-patahan dari beberapa kata, dijadikan dalam satu atau dua kata, dan terkadang membentuk kalimat. Dalam pembagian oleh Ranneft, teka-teki jawa ini masuk ke dalam kategori teka-teki akronim. Contohnya: Pak lawa. Tebakannya adalah tepak ula dawa. Karena ular itu panjang, maka tepak (bekas jalan) ular juga panjang.
Yang kedua pepindhan. Pepindhan adalah tiruan dalam bahasa Indonesia. Sesuai namanya, cangkriman pepindhan ini berupa pertanyaan yang terdiri dari deskripsi suatu benda menggunakan benda-benda lain yang dianggap tiruannya. Tetapi bisa juga berupa deskripsi menggunakan kalimat biasa yang memang berupa pertanyaan seperti teka-teki dalam bahasa Indonesia. Dalam pembagian oleh Ranneft, teka-teki ini masuk ke dalam golongan pertama, yakni teka-teki yang mengharapkan satu kata atau satu ide sebagai jawaban. Misalnya: Dikethok malah dhuwur (dipotong malah jadi tinggi). Tebakannya adalah kathok (celana); Ibune dielus-elus anake diidak-idak (ibunya dielus-elus, anaknya diinjak-injak). Tebakannya adalah tangga dari bambu/kayu.
Yang ketiga wujud tembang. Sesuai penggolongan Ranneft, teka-teki wujud tembang ini dapat dimasukkan ke dalam golongan teka-teki berbentuk puisi, karena tembang itu sendiri hakikatnya adalah puisi tradisional Jawa yang bisa dinyanyikan. Tembang yang biasa digunakan sebagai teka-teki misalnya tembang macapat Pucung. Perhatikan contoh tembang berikut ini.
Bapak pucung rentang-renteng kaya kalung
dawa kaya ula
pencokanmu wesi miring
sing disaba si pucung mung turut kutha
Terjemahan bebas: Bapak pucung berentengan seperti kalung, panjang seperti ular, tempatmu hinggap besi yang sempit, yang dicari si pucung hanya berjalan sepanjang kota. Apakah si Pucung yang dimaksud dalam tembang itu? Tentunya jawabannya mudah sekali, yaitu kereta.
Lalu, apa guna cangkriman? Menurut Alan Dundes (Danandjaja, 2007: 45), teka-teki dapat berguna untuk: (1) menguji kepandaian seseorang, (2) untuk meramal, (3) sebagai bagian dari upacara perkawinan, (4) untuk mengisi waktu pada saat bergadang menjaga jenazah, dan (5) untuk dapat melebihi orang lain. Cangkriman juga mempunyai fungsi seperti itu; meskipun kenyataannya, di kehidupan masyarakat Jawa sekarang, orang sudah jarang menggunakan cangkriman. Cangkriman biasanya hanya ditemui dalam dialog-dialog pementasan drama Jawa. Semoga ke depannya masyarakat Jawa menjadi lebih melek dengan budaya sendiri. Tentunya kita tidak ingin unen-unen wong Jawa ilang jawane benar-benar terwujud, bukan?
Sumber:
- Danandjaja, James. 2007. Cetakan VII. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
- Daryanto, S.S. 1999. Kawruh Basa Jawa Pepak. Surabaya: APOLLO.
Belum ada tanggapan.